Dosen di STIE Widya
Dharma, Pontianak
Di tengah badai
sosial, ekonomi, dan politik yang tidak menentu, krisis identitas masih melanda
kebangsaan kita. Setelah RMS dan OPM, muncul bendera NDA. Bahkan,
kesetiakawanan sektarian berupa tindakan anarkistis sedang melemahkan
patriotisme kita. Setelah 68 tahun merdeka, kapan Indonesia melahirkan
neopatriotisme?
Peralihan rezim
Orla ke Orba (1966) menyuburkan benih patriotisme hitam. Kepicikan dan arogansi
primordial berupa mentalitas antikritik di kalangan penguasa waktu itu
membentuk watak defensif. Rasa tersinggung mudah disulut. Kritik konstruktif
pun acap dianggap sebagai cambuk, bukan jalan perbaikan sosial. Patriotisme
tanpa identitas kebangsaan didewakan. Ulah Adolf Hitler dan kawan-kawan dalam
Perang Dunia II termasuk cikal bakal patriotisme hitam.
Patriotisme ini
mengandalkan emosi dan sentimen dalam memecahkan isu kebangsaan. Rasionalitas
berbangsa dalam bentuk teriakan dan aksi sesaat seperti "Hidup
Hitler!", "Ganyang Malaysia!", dan "Kembalikan Pulau
Sipadan!" cepat merebut simpati massa. Pemaknaan patriotisme secara fisis
belum menyentuh interioritas patriotisme sejati. Kedangkalan patriotisme ini
mengerdilkan dimensi sosial sebuah bangsa. I sickness sangat kental.
Rangkaian kritik
konstruktif dalam bentuk apa pun ditolak. Harga diri yang terlampau tinggi
sebagai sebuah bangsa tampak dalam sikap serba berkecukupan. Sikap saling
tergantung dan kerja sama antarbangsa tak dirasa penting. Kelompok sektarian
yang dianggap membahayakan dunia digempur habis-habisan. Pelbagai invasi
politik, ekonomi, dan budaya atas nama "perdamaian" menyerbu kawasan
Irak dan Afganistan.
Patriotisme dan
kebajikan
Degradasi makna
patriotisme berlangsung dalam abad ke-19 dan ke-20. Langgam sastra dari
kalangan peminat karya McGuffey pernah menelaah patriotisme sebagai kebajikan,
virtue, yang memungkinkan warga masyarakat melakukan perbuatan dengan benar dan
baik. Yang diprioritaskan: kebaikan melalui internalisasi nilai. Kebajikan ini
bisa dicapai melalui jerih payah manusia. Kesetiaan kepada tanah air tecermin
dalam pola hidup dan pengambilan keputusan penting di tanah air.
Setelah PD II,
terutama sejak tahun 1960-an, patriotisme cenderung ke arah kejahatan, vice,
immoral. Perbedaan ideologi, filsafat hidup, dan cara pandang menghambat
kemulusan kerja sama antarbangsa. Sikap saling curiga, cemburu, dan
pengotak-ngotakan mewarnai sebuah bangsa. Konflik dan pergesekan sosial
meretakkan hubungan individual dan sosial. Perbenturan sosial kerap terjadi.
Perang dingin antarbangsa terjadi. Dunia tak lagi dipandang sebagai kesatuan,
tetapi terdiri dari dunia pertama, kedua, dan ketiga.
Sementara itu,
patriotisme, menurut Alasdair MacIntyre, merupakan salah satu wujud kecintaan
dan kesetiaan pada bangsa tertentu. Kepedulian dan tanggung jawab atas keadaan
dan kemajuan tanah air adalah dimensi konstitutif patriotisme. Keunikan,
kekuatan, dan prestasi tanah air dipelihara. Moralitas dan local wisdom
dijunjung sehingga kepribadian sebuah bangsa disegani dunia.
Patriotisme hanya
tinggal sebagai sebuah paham kalau tidak menyentuh hidup dalam kebenaran,
kejujuran, kesetiaan, dan pembaktian diri. Sikap dan kegiatan yang mengapling
tanah-tanah adat dan meraup kekayaan alam dengan sendirinya bertolak belakang
dengan patriotisme sebagai kebajikan sosial. Patriotisme sebagai kebajikan akan
terwujud kalau setiap warga menyadari tugas, tanggung jawab, dan kewajiban
sebagai warga bangsa.
Umumnya, diskursus
tentang neopatriotisme terpaut dengan lokalitas, nasionalitas, dan
internasionalitas yang kian rumit secara ekonomis, politis, kultural, dan
geografis. Rentetan ideologi, yang konstruktif ataupun destruktif, cepat
merembes ke seluruh tanah air. Orientasi berbangsa mulai membias bahkan
menimbulkan ketakpastian sosial akibat globalisasi ideologi dunia.
Dampak
primordialisme dan sektarianisme seputar etnisitas, budaya, religi, dan masalah
sosial menjadi agenda khusus neopatriotisme. Doktrin asing yang subversif bisa
sistematis dan strategis memadamkan roh persaudaraan, kerukunan, dan kesatuan
bangsa.
Kebaruan
patriotisme ini tidak hanya sebatas kesatuan tanah air, bangsa, dan bahasa,
tetapi mencakup komitmen integral pada idealisme, ideologi, visi, dan semangat
bangsa sejak kemerdekaan. Komitmen ini adalah napas patriotisme baru.
Bagaimanakah patria kita sanggup tampil sebagai negara hukum yang bersih, kuat,
berwibawa, sejahtera, dan tak dibodohi oleh ideologi asing yang menyesatkan dan
menghancurkan patria kita?
Sebagai jiwa bangsa
Indonesia, nilai-nilai dasar dalam Pancasila dan UUD 1945 adalah asas
neopatriotisme. Tanah, gugusan pulau, kekayaan hutan, dan isi perut patria kita
tidak lagi dieksploitasi dan diperjualbelikan sesuka hati tanpa mengingat hak
dasar generasi mendatang. Indonesia tak cukup hanya raya dalam nyanyian, tetapi
raya dalam kenyataan sosial. Kecenderungan belanja, berobat, dan deposit duit
di luar negeri mencerminkan ketakpercayaan rakyat terhadap produk, pengobatan
dalam negeri, dan kepastian hukum negara kita.
Sudah waktunya,
dalam terang neopatriotisme, kita mengevaluasi tanggung jawab utama negara
terkait kepastian hukum, pendidikan, keamanan, dan keselamatan rakyatnya.
Apakah negara kita masih membiarkan anak-anak bangsa mengais sesuap nasi di
negeri orang? Sangat diharapkan, cinta dan setia kepada Tanah Air kian
terpelihara. Inilah langkah awal menuju Indonesia yang raya dalam nada dan
kenyataan.
Sumber: Kompas, 16
Agustus 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!