Headlines News :
Home » » Neopatriotisme

Neopatriotisme

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, August 16, 2013 | 4:28 PM

Oleh William Chang
Dosen di STIE Widya Dharma, Pontianak

Di tengah badai sosial, ekonomi, dan politik yang tidak menentu, krisis identitas masih melanda kebangsaan kita. Setelah RMS dan OPM, muncul bendera NDA. Bahkan, kesetiakawanan sektarian berupa tindakan anarkistis sedang melemahkan patriotisme kita. Setelah 68 tahun merdeka, kapan Indonesia melahirkan neopatriotisme?

Peralihan rezim Orla ke Orba (1966) menyuburkan benih patriotisme hitam. Kepicikan dan arogansi primordial berupa mentalitas antikritik di kalangan penguasa waktu itu membentuk watak defensif. Rasa tersinggung mudah disulut. Kritik konstruktif pun acap dianggap sebagai cambuk, bukan jalan perbaikan sosial. Patriotisme tanpa identitas kebangsaan didewakan. Ulah Adolf Hitler dan kawan-kawan dalam Perang Dunia II termasuk cikal bakal patriotisme hitam.

Patriotisme ini mengandalkan emosi dan sentimen dalam memecahkan isu kebangsaan. Rasionalitas berbangsa dalam bentuk teriakan dan aksi sesaat seperti "Hidup Hitler!", "Ganyang Malaysia!", dan "Kembalikan Pulau Sipadan!" cepat merebut simpati massa. Pemaknaan patriotisme secara fisis belum menyentuh interioritas patriotisme sejati. Kedangkalan patriotisme ini mengerdilkan dimensi sosial sebuah bangsa. I sickness sangat kental.

Rangkaian kritik konstruktif dalam bentuk apa pun ditolak. Harga diri yang terlampau tinggi sebagai sebuah bangsa tampak dalam sikap serba berkecukupan. Sikap saling tergantung dan kerja sama antarbangsa tak dirasa penting. Kelompok sektarian yang dianggap membahayakan dunia digempur habis-habisan. Pelbagai invasi politik, ekonomi, dan budaya atas nama "perdamaian" menyerbu kawasan Irak dan Afganistan.

Patriotisme dan kebajikan

Degradasi makna patriotisme berlangsung dalam abad ke-19 dan ke-20. Langgam sastra dari kalangan peminat karya McGuffey pernah menelaah patriotisme sebagai kebajikan, virtue, yang memungkinkan warga masyarakat melakukan perbuatan dengan benar dan baik. Yang diprioritaskan: kebaikan melalui internalisasi nilai. Kebajikan ini bisa dicapai melalui jerih payah manusia. Kesetiaan kepada tanah air tecermin dalam pola hidup dan pengambilan keputusan penting di tanah air.

Setelah PD II, terutama sejak tahun 1960-an, patriotisme cenderung ke arah kejahatan, vice, immoral. Perbedaan ideologi, filsafat hidup, dan cara pandang menghambat kemulusan kerja sama antarbangsa. Sikap saling curiga, cemburu, dan pengotak-ngotakan mewarnai sebuah bangsa. Konflik dan pergesekan sosial meretakkan hubungan individual dan sosial. Perbenturan sosial kerap terjadi. Perang dingin antarbangsa terjadi. Dunia tak lagi dipandang sebagai kesatuan, tetapi terdiri dari dunia pertama, kedua, dan ketiga.

Sementara itu, patriotisme, menurut Alasdair MacIntyre, merupakan salah satu wujud kecintaan dan kesetiaan pada bangsa tertentu. Kepedulian dan tanggung jawab atas keadaan dan kemajuan tanah air adalah dimensi konstitutif patriotisme. Keunikan, kekuatan, dan prestasi tanah air dipelihara. Moralitas dan local wisdom dijunjung sehingga kepribadian sebuah bangsa disegani dunia.

Patriotisme hanya tinggal sebagai sebuah paham kalau tidak menyentuh hidup dalam kebenaran, kejujuran, kesetiaan, dan pembaktian diri. Sikap dan kegiatan yang mengapling tanah-tanah adat dan meraup kekayaan alam dengan sendirinya bertolak belakang dengan patriotisme sebagai kebajikan sosial. Patriotisme sebagai kebajikan akan terwujud kalau setiap warga menyadari tugas, tanggung jawab, dan kewajiban sebagai warga bangsa.

Umumnya, diskursus tentang neopatriotisme terpaut dengan lokalitas, nasionalitas, dan internasionalitas yang kian rumit secara ekonomis, politis, kultural, dan geografis. Rentetan ideologi, yang konstruktif ataupun destruktif, cepat merembes ke seluruh tanah air. Orientasi berbangsa mulai membias bahkan menimbulkan ketakpastian sosial akibat globalisasi ideologi dunia.

Dampak primordialisme dan sektarianisme seputar etnisitas, budaya, religi, dan masalah sosial menjadi agenda khusus neopatriotisme. Doktrin asing yang subversif bisa sistematis dan strategis memadamkan roh persaudaraan, kerukunan, dan kesatuan bangsa.

Kebaruan patriotisme ini tidak hanya sebatas kesatuan tanah air, bangsa, dan bahasa, tetapi mencakup komitmen integral pada idealisme, ideologi, visi, dan semangat bangsa sejak kemerdekaan. Komitmen ini adalah napas patriotisme baru. Bagaimanakah patria kita sanggup tampil sebagai negara hukum yang bersih, kuat, berwibawa, sejahtera, dan tak dibodohi oleh ideologi asing yang menyesatkan dan menghancurkan patria kita?

Sebagai jiwa bangsa Indonesia, nilai-nilai dasar dalam Pancasila dan UUD 1945 adalah asas neopatriotisme. Tanah, gugusan pulau, kekayaan hutan, dan isi perut patria kita tidak lagi dieksploitasi dan diperjualbelikan sesuka hati tanpa mengingat hak dasar generasi mendatang. Indonesia tak cukup hanya raya dalam nyanyian, tetapi raya dalam kenyataan sosial. Kecenderungan belanja, berobat, dan deposit duit di luar negeri mencerminkan ketakpercayaan rakyat terhadap produk, pengobatan dalam negeri, dan kepastian hukum negara kita.

Sudah waktunya, dalam terang neopatriotisme, kita mengevaluasi tanggung jawab utama negara terkait kepastian hukum, pendidikan, keamanan, dan keselamatan rakyatnya. Apakah negara kita masih membiarkan anak-anak bangsa mengais sesuap nasi di negeri orang? Sangat diharapkan, cinta dan setia kepada Tanah Air kian terpelihara. Inilah langkah awal menuju Indonesia yang raya dalam nada dan kenyataan.
Sumber: Kompas, 16 Agustus 2013
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger