Oleh
Miftah Thoha
Guru
Besar (ret) Ilmu Administrasi Publik UGM
SEJAK
negara ini berdiri, niat para pendiri dan pendahulu kita telah sepakat untuk
mendirikan negara kesatuan. Diakui, walau keadaan negara kita terdiri dari
pelbagai daerah yang berbineka, beraneka budaya, bermacam etnis, pelbagai
bahasa, dan lainnya, negara kita ini berprinsip sebagai negara kesatuan berdasarkan
Pancasila. Bung Hatta menyatakan bahwa negara kita terdiri atas pelbagai aneka
perbedaan, tetapi kita seikat yang berdaulat rakyatnya, bukan tuanku. Sampai
sekarang kita kenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berlandaskan Pancasila.
Prinsip
suatu negara kesatuan amat berbeda dengan negara federalistik yang sering kali
menggoda kita untuk mencobanya, baik oleh gesekan maupun pengaruh dari
perkembangan politik dan manajemen pemerintahan. Pada 1950, kita pernah tergoda
untuk mempraktikkan pemerintahan negara federalistik. Tak terlalu lama, kita
pun kembali lagi ke sistem negara kesatuan. Akhir-akhir ini juga ada suatu
tulisan menimbang kembali praktik sistem federalistik.
Di
awal reformasi, semangat melaksanakan sistem pemerintahan federal merebak.
Banyak kalangan saat itu menginginkan sistem federalistik ini dipergunakan lagi
setelah 32 tahun mengalami suatu pemerintahan negara kesatuan yang sangat
sentralistik. Pemerintahan BJ Habibie menjawab keinginan itu dengan mengenalkan
sistem pemerintahan yang demokratis. Dibukalah koridor demokrasi itu dengan
pertama kali mengesahkan UU No 40/1999 tentang Kebebasan Pers. Rakyat tidak
takut lagi berbeda pendapat. Mimbar kebebasan berpendapat dijamin oleh UU ini.
Koridor kedua demokrasi dibuka dan disahkan tiga UU politik: UU No 2/1999
tentang Partai Politik, UU No 3/1999 tentang Pemilu, dan UU No 4/199 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Berkat UU politik ini, rakyat tidak
lagi takut untuk memilih dan masuk ke serikat politik yang dikehendaki.
Dua
koridor demokrasi kebebasan bersuara dan kebebasan politik merupakan jaminan
pokok dari sistem demokrasi. Berikutnya, di bidang pemerintahan disahkan UU No
22/1999. UU ini dikenal dengan UU tentang otonomi daerah, dengan menekankan
pelaksanaan desentralisasi yang luas kepada daerah. Semua kewenangan
pemerintahan berada di pemerintah daerah, hanya lima kewenangan yang berada di
pemerintah pusat.
Titik
berat otonomi daerah berada di kabupaten dan kota. Partisipasi dan peranan
rakyat daerah dan DPRD diberdayakan. Pemilihan kepala daerah ditentukan oleh
rakyat daerah sendiri melalui perwakilan di DPRD masing-masing dan akhirnya
dilakukan pilkada secara langsung. UU Pemerintahan Daerah ini oleh banyak
kalangan ditafsirkan menyerupai keadaan sistem federalistik. Namun, bukan
sistem federal yang dipilih pemerintah saat itu, melainkan mengenalkan sistem
demokrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem pemerintahan
demokrasi dalam unitary system. Sayangnya, demokrasi yang kita kenal sekarang
lebih banyak mengemuka dan mengutamakan prinsip perbedaan dan mayoritas
prosedural, tanpa dilandasi prinsip musyawarah yang menjadi karakteristik
Pancasila. Lebih banyak menekankan kepentingan sektoral partai politiknya
ketimbang kepentingan negara kesatuannya.
"Unitary
system"
Di
dalam ilmu politik, suatu pemerintahan merupakan suatu bentuk yang sangat
dibutuhkan oleh rakyat atau masyarakat. Lawan pemerintahan adalah anarkisme.
Doktrin anarkisme sebaliknya tidak membutuhkan pemerintahan itu karena setiap
individu memiliki insting untuk mutual cooperation yang tidak membutuhkan
keperluan untuk pengarahan dan pengawasan pemerintah.
Bagaimanapun,
suatu pemerintahan adalah suatu institusi dan proses untuk mengatur pelbagai
macam tujuan, seperti pertahanan, kesejahteraan, dan kedamaian. Dengan
demikian, suatu pemerintahan adalah suatu institusi negara berupa organisasi
dan prosedur di mana hukum ditegakkan, ditetapkan, diterapkan, dan dilaksanakan
secara adil. Ketika NKRI ini didirikan sebagai negara yang kita inginkan,
Pancasila dijadikan landasan bagi suatu kebijakan yang dibuat sehingga bentuk
pemerintahan di pusat dan daerah segaris, senantiasa tidak melupakan Pancasila.
Kepentingan pemerintah pusat ada di seluruh wilayah negara kesatuan.
Dari
perspektif inilah mulai dipertanyakan cara terbaik untuk mengklasifikasi
pelbagai bentuk pemerintahan: mengapa suatu pemerintahan dibutuhkan dan
bagaimana hubungan kekuasaan kewenangan pemerintah dengan rakyatnya. Mulai
dipikirkan distribusi kekuasaan antara pemerintah pusat dan semua pemerintahan
lokal atau daerahnya.
Di
dalam pemerintahan negara kesatuan disepakati semua kewenangan dan kekuasaan
menjalankan pemerintahan berada di tangan pemerintah pusat. Adapun bentuk
kewenangan di pemerintah daerah didasarkan atas prinsip desentralisasi, bukan
otonomi. Sebagian dari kewenangan di pemerintah pusat didelegasikan kepada
pemerintah daerah sehingga tampak sekali kepentingan antara pemerintah pusat
dan daerah segaris.
Posisi
bupati dan wali kota
Seperti
telah dijelaskan, kekuasaan dan fungsi pemerintahan di negara kesatuan berada
di tangan pemerintah pusat, sedangkan kekuasaan dan fungsi yang dijalankan di
dalam pemerintah daerah dijalankan dalam prinsip desentralisasi. Pelaksanaan
prinsip desentralisasi ini sangat bergantung bagaimana pemerintah pusat
melaksanakannya. Selain itu, dalam pemerintahan suatu negara kesatuan
dinyatakan bahwa kepentingan kekuasaan pemerintah pusat itu membentang mulai
dari hierarki pemerintahan di atas sampai di hierarki terbawah tidak bisa
dihilangkan dan dikurangi. Sekecil apa pun bentuk kepentingan tersebut,
kepentingan kekuasaan pemerintah pusat ada dan harus ada di wilayah terbawah
ataupun terpencil dalam wilayah negara kesatuan.
Kewenangan
pemerintah pusat juga berlaku untuk seluruh wilayah negara kesatuan tersebut.
Kewenangan itu dijalankan oleh aparat pemerintah pusat dan aparat pemerintah
daerah di seluruh daerah dari wilayah negara. Sistem yang digunakan untuk
menjalankan kewenangan tersebut didasarkan atas asas atau dasar yang dipakai,
yakni asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan perbantuan (medebewind). Tiga
asas ini dahulu pernah kita gunakan dalam UU No 5/1974. Sekarang pun
dipergunakan, tetapi lain perspektifnya.
Menurut
UU No 22/1999 maupun UU No 32/2004, kewenangan pemerintah pusat hanya diwakili
oleh gubernur dan kantor wilayah yang menjalankan perpanjangan dari enam
kewenangan pemerintah pusat. Akan tetapi, di pemerintah kabupaten/kota —karena
dinyatakan sebagai titik berat otonomi— kewenangan pemerintah pusat tidak
terwakili dalam struktur pemerintahan. Adanya kepincangan struktur pemerintahan
dalam negara kesatuan seperti ini yang membuat bupati/wali kota sebagai kepala
daerah dan orang daerah yang merasa tidak atau kurang terikat oleh
ketentuan-ketentuan pemerintah pusat. Mereka sepertinya mewakili golongan atau
daerahnya, dan mereka seperti personifikasi partai politik yang mengusungnya di
daerah otonom di luar prinsip negara kesatuan.
Saya mengibaratkan kewenangan pemeritah pusat
di daerah itu seperti kayu penjalin kecil dari wayang kulit, yang membujur dari
atas sampai ke bawah. Kayu itu kecil, tetapi efektif sampai ke bawah sehingga
dalang wayang kulit bisa menjalankan wayang yang lemes itu dengan lincah dan
efektif. Desentralisasi dan otonomi yang diikuti oleh UU No 22 /1999 dan UU No
32/2004 membuat kayu wayang kulit itu tidak sampai ke bawah, tetapi sampai ke
lutut yang berada di titik jabatan gubernur tersebut.
Dari
ilustrasi wayang kulit itu, dapat kita amati bahwa pelaksanaan otonomi di
negara kesatuan perlu ditinjau kembali. Mengingat hubungan kekuasaan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan semua
terkonsolidasikan pada level pemerintah nasional, maka kekuasaan yang berada di
pemerintah daerah janganlah hanya dibatasi pada jabatan gubernur dan kanwil
yang belum dihapus, melainkan harus sampai pada tingkatan daerah terbawah.
Dalam sistem federalistik, peranan negara
bagian amat besar. Kekuasaan menjalankan pemerintahan berada di tangan negara
bagian. Pemerintah federal menerima pelimpahan kekuasaan dan kewenangan dari
negara bagian. Namun, kewenangan pemerintah federal yang sudah disepakati oleh
negara-negara bagian itu bisa juga berlaku dan mengintervensi kekuasaan di
semua negara bagian.
Oleh
karena itu, pemerintah daerah yang dipimpin kepala daerah kiranya juga mewakili
kepentingan pemerintah pusat. Janganlah semata-mata menonjolkan dan atau
mewakili partai politik, melainkan orang daerah (yang memahami aspirasi rakyat
daerah) sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Artinya, bupati/wali kota
juga harus paham dan memahami kepentingan pemerintah pusat. Begitu orang
politik yang dipilih oleh rakyat daerah menjadi bupati/kepala daerah atau wali
kota/kepala daerah, ia tidak lagi terkait atau mengutamakan partai politik yang
mencalonkannya.
Bupati/wali
kota bukan lagi kader partai politik, tetapi kader pejabat negara yang
Pancasilais. Seperti halnya yang banyak dikemukakan para pemikir: bahwa
Pemilihan Presiden 2014 ini bukan hanya partai politik lagi yang menjadi
pilihan, melainkan kualitas calon. Banyak kepala daerah yang tidak mendukung
calon dari koalisi partainya, tetapi calon yang disukai rakyat. Pada hakikatnya
bupati/wali kota pantas disebut pejabat negara. Sebutannya adalah bahwa bupati
atau wali kota sebagai nomenklatur untuk jabatan wakil pemerintah pusat,
sedangkan kepala daerah sebagai nomenklatur untuk sebutan jabatan pejabat
daerah. Dengan demikian, kekayaan dan endowment daerah dimanfaatkan untuk
sebanyak-banyaknya kepentingan daerah dan kesejahteraan rakyat daerah atas
keterpaduan secara sinergik dengan kebijakan dan kepentingan pemerintah pusat.
Sumber:
Kompas, 30 Juni 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!