Oleh Teuku Kemal
Fasya
Antropolog Aceh
BERKAT undangan untuk menghadiri Konferensi Nasional
Jaringan Antariman VI, saya akhirnya menjejakkan kaki ke tanah Papua untuk
pertama kali. Beberapa kali telah menulis Papua, tetapi mata dan hati yang
mengalami perjumpaan langsung membuat keberpihakan semakin mendalam.
Konferensi
dilaksanakan di sebuah hotel hampir bangkrut, Hotel Sentani Indah. Meskipun tak
lagi indah, hotel itu memiliki arti khusus bagi masyarakat Papua. Hampir 12
tahun lalu (September 2002) di tempat yang sama pernah dilaksanakan pertemuan
para tokoh yang menghasilkan rumusan ”Papua Zona Damai”.
Istilah itu kini
berubah menjadi ”Papua Tanah Damai” yang menjadi titik gerakan moral-sosial
untuk menghentikan segala bentuk kekerasan dan manipulasi di bumi Cenderawasih.
Setiap 5 Mei sejak 2005, aksi damai diperingati oleh seluruh umat beragama
melalui event-event sakral dan kesenian.
Konferensi yang
dilaksanakan pada 19-23 Mei 2014 itu juga melahirkan beberapa rekomendasi, di
antaranya mendesak segera dilakukan dialog untuk penyelesaian masalah Papua
secara komprehensif, termasuk tidak mendukung calon presiden yang memiliki
rekam jejak sebagai pelaku kekerasan dan kejahatan HAM di masa lalu.
”Status quo”
Hingga hari-hari
terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, kondisi Papua (termasuk Papua
Barat) masih status quo. Tak banyak perbaikan substansial yang memenangkan hati
dan pikiran rakyat. Pendekatan kesejahteraan melalui proyek ”otonomi khusus”
selama lebih dari 10 tahun malah menjadi distorsi dan memperburuk situasi.
Pernah pemerintahan
SBY mewacanakan komunikasi konstruktif untuk Papua. Pemilihan istilah
”komunikasi konstruktif” mungkin untuk menghindari istilah dialog yang terkesan
”seram”. Sayangnya, sampai hari ini metode dan strategi konstruktif yang mau
dipilih tak pernah nyata.
Pendekatan parsial
dan berbasis pada representasi formal terbukti tumpul. Elite-elite lokal
pemerintahan yang dipilih melalui pilkada dan pemilu legislatif ternyata gagal
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat berpopulasi empat juta jiwa itu (Papua
dan Papua Barat).
Di sisi lain,
suara-suara yang muncul di luar dianggap ilegal. Dapuk rasional yang ditabalkan
adalah Papua terlalu majemuk dan terlalu rumit untuk harus menampung semua
suara. Kerumitan itu bukan saja secara etnografis, melainkan juga secara
kultural dan politis. Padahal, menghindari suara-suara itu sama dengan
mengidolakan pendekatan lama.
Pendekatan pada
basis representasi formal telah gagal bagi masyarakat yang komunalistik itu.
Momentum politik elektoral yang bertubuh liberal-kapitalistik terbukti majal,
tak mampu mengiris representasi yang tepercaya. Pelanggaran dan gugatan Pemilu
9 April 2014 dari Papua termasuk terbanyak di Mahkamah Konstitusi (Kompas.com,
12 Mei).
Di sisi lain,
pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang ingin dijadikan obat representasi
pelan-pelan malah semakin ciut akibat pembentukan kelembagaan adat lain yang
dipaksakan dari atas. Representasi adat pro Jakarta itu menambah runyam dan
membuat suara Papua semakin kabur.
Poskolonial
Salah satu momentum
”ketidaksetiaan Indonesia” terhadap Papua adalah membiarkan banyak kasus
pelanggaran HAM, kultural, dan lingkungan, dan menganggapnya sebagai pilihan
niscaya.
Kasus kekerasan
bahkan masih sering terjadi hingga sekarang. Indonesia Police Watch pada 2013
mencatat sedikitnya 19 orang tewas, baik dari sipil maupun aparat keamanan
(Kompas, 12 Mei).
Salah satu yang
paling diingat adalah kasus pembunuhan ”bapak adat” Dhortheys Hiyo Eluway.
Kasus ditutup dengan menghukum perwira menengah militer dan memutus garis
komando lebih tinggi.
Namun, ingatan
publik tak akan pernah mudah ditutup. Setiap orang dari atau menuju Bandara
Sentani akan selalu melihat makam Theys. Ini bukti pemerintah tidak
sungguh-sungguh memercayai tokoh lokal kritis yang memerahkan telinga.
Belum lagi jika
dihitung kejahatan korporatokrasi. Perusahaan multinasional yang mulai menjamur
sejak awal Orde Baru hanya berhasrat pada bumi dan isi perutnya, tetapi tidak
bagi manusia yang hidup di atasnya.
Simbol Freeport
sebagai ”tuan kemiskinan” (the lord of poverty) —memakai istilah Graham
Hancock— lebih nyata di pikiran masyarakat Papua dibandingkan dengan
keberhasilannya membangun daerah itu.
Meskipun susah,
Pemerintah Indonesia harus mengambil ”jalan poskolonial” untuk menyelesaikan
masalah Papua. Cara itu adalah dengan lebih merendahkan suara Jakarta dan lebih
menghormati suara masyarakat Papua, termasuk nilai-nilai otentik lokal.
Jika Jakarta
mengingat 1 Mei 1963 sebagai hari Papua masuk ke pangkuan ibu pertiwi, bisakah
dengan pikiran terbuka juga menghargai hari kemerdekaan Papua dari
kolonialisasi Belanda 1 Desember 1961? (I Ngurah Suryawan, 2013). Cara beradab
harus dijadikan panglima, menggeser cara kekerasan yang ketinggalan zaman dan
terus gagal.
Dengan mental
bangsa yang makin dewasa, Indonesia seharusnya mampu mengambil jalan tengah
dalam mengonstruksikan kesejarahan, kultural, dan politik Papua tanpa terlalu
didominasi narasi Senayan dan Merdeka Utara.
Kita sebenarnya
memiliki kematangan memperlakukan daerah terluka, seperti kisah sukses periode
pertama Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla yang mengakomodasi tuntutan Aceh
melalui dialog tripartit di Helsinki, Finlandia.
Pertanyaan tulus
kesekian, bisakah pemerintahan SBY-Boediono mengakomodasi dialog bagi
penyelesaian masalah-masalah Papua secara komprehensif? Ini akan menjadi
warisan terakhir yang temalinya akan kokoh bagi perwujudan mimpi Papua tanah
damai.
Sumber: Kompas, 16
Juli 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!