Oleh Komaruddin
Hidayat
Rektor UIN
Jakarta
KETIKA menulis
esai ini, saya membayangkan pada hari Rabu, 9 Juli, ini masyarakat kita tengah
merayakan pesta demokrasi menentukan siapa yang bakalan menjadi presiden dan
wakil presiden periode 2014-2019.
Peristiwa
mencoblos yang berlangsung hanya dalam hitungan menit akan menentukan
perjalanan dan nasib bangsa lima tahun ke depan atau bahkan lebih.
Siapa pun yang
akhirnya terpilih sebagai pasangan presiden dan wakil presiden semoga akan
mengakhiri era transisi reformasi ini serta mendorong bangsa dan masyarakat
berubah menjadi adil dan sejahtera. Jangan sampai agenda reformasi mengalami
setback.
Dalam benak
saya juga bertanya-tanya, apakah mayoritas pemilih ketika menentukan pilihannya
didasari informasi dan pengetahuan yang cukup tentang capres-cawapresnya
ataukah atas desakan luar dan merasa utang budi karena sudah menerima amplop
"serangan fajar" yang sesungguhnya menghina dirinya dan merusak
kualitas demokrasi?
Dibandingkan
dengan Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, pemilu kali ini kualitasnya semakin menurun.
Sewaktu pemilihan anggota legislatif yang lalu, praktik kecurangan dalam
penghitungan suara dan politik uang semakin marak. Dan, semasa kampanye pilpres
sebulan terakhir ini, kampanye hitam sampai fitnah bermunculan sehingga
memanaskan suasana. Jadi, para pengamat dan peneliti menilai Pemilu 2014 ini
merupakan pemilu yang paling buruk.
Keberhasilan
seorang calon wakil rakyat dalam pemilu legislatif lebih ditentukan oleh uang
dan kedekatan elite partai ketimbang prestasi, ideologi, dan gagasan. Dalam pilpres
hari ini pun dikhawatirkan faktor uang dan kampanye hitam akan menggerus
kualitas demokrasi sehingga prinsip jujur, adil, dan transparan tergusur ke
pinggir.
Kebenaran dan
kemenangan
Ada ungkapan
klasik tentang politik yang sesungguhnya tidak benar, tetapi kelihatannya
disetujui banyak orang, yaitu demi menutup kekurangan dan kesalahannya, seorang
politisi tak segan melakukan kebohongan publik demi meraih kemenangan. Panggung
politik penuh dengan pencitraan dan kepura-puraan.
Ini berbeda
dari tradisi keilmuan yang harus mendahulukan kejujuran untuk mengakui
kesalahannya karena kebenaran ilmiah di atas kepentingan pribadinya. Idealnya,
dalam panggung politik pun menyatu antara kebenaran dan kemenangan. Seseorang
menang karena benar atau dia benar, maka dia menang.
Tetapi,
nyatanya tidak demikian dalam pergulatan politik dan kekuasaan. Di sana banyak
wilayah kelabu sehingga kebenaran tidak menjamin sebuah kemenangan. Saya masih
ingat pelajaran di pesantren dulu: Alhaqqu bilaa nidham, qod yaghlibuhul bathilu
binnidhom. Kebenaran tanpa organisasi yang baik kadang kala dikalahkan oleh
kebatilan yang terorganisasi dengan baik.
Jangan
diartikan saya memandang dua pasang capres-cawapres yang kemenangannya
ditentukan hari ini sebagai gerakan kebatilan versus kebenaran. Namun, saya
hanya ingin mengingatkan bahwa dalam pertarungan politik, kelompok mana pun,
selalu saja ada oknum yang agenda utamanya hanya mengejar keuntungan pribadi
sekalipun dengan cara batil untuk meraihnya.
Praktik fitnah
dan kampanye hitam merupakan contoh nyata dari sebuah kebatilan yang dilakukan
secara sistematis (well organized). Dan, ini akan ditemukan sepanjang sejarah
perebutan kekuasaan. Sejarah memberikan catatan terang benderang bagaimana
emosi dan simbol keagamaan dipermainkan untuk memenangi sebuah pertarungan
politik, baik dalam dunia Kristen maupun Islam.
Perseteruan
antara dinasti Abasiyah dan Umayah di abad tengah yang sesama Muslim sangat
kental melibatkan emosi dan simbol agama untuk menjatuhkan yang lain. Begitu
pun akar perseteruan antara kelompok Sunni dan Syiah adalah perebutan kekuasaan
sesama umat Islam di abad tengah yang kini masih berkelanjutan di Timur Tengah
yang sesungguhnya bukan bagian dari sejarah umat Islam Indonesia.
Jebakan
reformasi
Setelah 16
tahun berjalan, prestasi nyata dari reformasi adalah munculnya iklim kebebasan
berpendapat dan pembatasan masa jabatan presiden. Adapun desentralisasi
kekuasaan yang semula diharapkan agar mempercepat dan memperbaiki layanan
birokrasi pada rakyat, ternyata hasilnya sangat mengecewakan.
Kondisi
pembangunan dan pendidikan daerah semakin mundur. Pemerintahan yang dihasilkan
oleh pemilihan umum kepala daerah sebagian besar buruk kinerjanya, bahkan
banyak yang kemudian berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Apa yang
dibayangkan tokoh dan aktivis gerakan reformasi 1998 pada kenyataannya tidak
seindah yang diharapkan. Ibarat kendaraan, perjalanan reformasi menemui banyak
blind spot. Banyak lubang-lubang jebakan yang tidak terlihat sehingga kendaraan
oleng dan tidak nyaman serta merusak kendaraan itu sendiri.
Kebebasan
tanpa disertai penegakan hukum dan etika politik telah menciptakan kekecewaan
dan kemarahan masyarakat. Beberapa survei menyebutkan bahwa rakyat semakin
tidak percaya kepada lembaga perwakilan rakyat dan lembaga tinggi negara. Ini
semua disebabkan maraknya korupsi yang dilakukan para pejabat pemerintah dan
politisi yang ketika masa kampanye menebar janji untuk menciptakan pemerintahan
yang bersih.
Kita semua
ingin sekali Pemilu 2014 ini mampu mengakhiri kehidupan berbangsa yang masih
karut-marut agar bangsa Indonesia lepas landas (take-off) mampu berkompetisi
dengan membanggakan dalam pergaulan dunia berkat kemajuan dan kesejahteraan
rakyatnya.
Namun,
lagi-lagi keinginan itu masih juga disertai pesimisme ketika melihat proses dan
hasil pemilu legislatif yang dicederai dengan maraknya politik uang dan yang
memenuhi kursi wakil rakyat masih juga wajah-wajah lama yang kurang
berprestasi. Kini, harapan masih ada yang dialamatkan pada pasangan capres-cawapres
yang ditentukan hari ini yang memiliki mandat membentuk kabinet untuk memimpin
pemerintahan Indonesia lima tahun ke depan.
Pilpres kali
ini benar-benar merupakan batu ujian, akankah bangsa ini lulus dan naik kelas
atau jatuh terperosok. Kalau kita lulus, harapan ke depan sangat menjanjikan
bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa. Rakyat akan menaruh kepercayaan kepada
negara, parpol, dan demokrasi. Dunia pun akan respek kepada Indonesia.
Oleh karena
itu, mari kita kawal bersama agar pilpres ini tetap berlangsung jujur, adil,
transparan, dan damai. Kalau sampai terjadi keributan atau bahkan bentrokan
berdarah-darah yang akan merusak mata rantai agenda pilpres yang telah menelan
biaya sangat mahal ini, baik material maupun sosial, yang akan menanggung kerugiannya
adalah kita semua. Dunia pun akan melecehkan kita. Investor dalam dan luar
negeri tidak lagi percaya kepada pemerintah. Agenda pembangunan tidak berjalan.
Ujung-ujungnya rakyat yang menderita.
Mengamati
dinamika dan perilaku politik selama ini, saya sendiri tidak menaruh harapan
terlalu tinggi terhadap hasil Pemilu 2014 ini. Namun, minimal menyaksikan
pilpres berlangsung aman dan damai, sekecil mungkin terjadi kecurangan.
Komisi
Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mesti bekerja secara
profesional, sakti dari teror uang dan ancaman pihak-pihak yang akan mengacau
dan merusak kualitas piplres. Rakyat sudah letih mengawal dan mengikuti
rangkaian acara pemilu. Jangan sampai partisipasi dan perngorbanan mereka
disia-siakan, bahkan dibuat lagi kecewa dan marah akibat penyelenggaraan
pilpres yang tidak beres.
Rekonsiliasi
nasional
Seperti
dikemukakan oleh para pengamat, pilpres yang diikuti dua pasang capres-cawapres
dengan mudah menciptakan keterbelahan masyarakat. Akan berbeda jika pasangan
yang berkompetisi lebih dari dua sehingga tidak menciptakan suasana
berhadapan-hadapan, head to head secara frontal.
Tidak bisa
diingkari bahwa di sejumlah daerah dan lapisan masyarakat suasananya memanas
untuk saling mengunggulkan jagonya dengan merendahkan yang lain. Bahkan, ada
yang disertai dengan memfitnah terhadap yang lain. Namun, sisi positifnya juga
banyak.
Masyarakat
menjadi lebih tertarik dan mudah berpartisipasi karena pasangan capres-cawapres
yang disodorkan hanya dua, dan mereka sudah dikenal publik. Dengan kata lain,
telah terjadi pembelajaran politik bagi rakyat secara masif dalam rangka
meningkatkan pemahaman dan kedewasaan berdemokrasi.
Hal baru yang
ikut membuat gaduh dan letih masyarakat adalah peran media sosial yang menyediakan
ruang bagi perdebatan bebas dan kadang melakukan dramatisasi secara hiperbolik
tanpa kontrol. Rakyat pun sekarang mulai berani menyuarakan secara terbuka
pilihan politiknya. Kini, semuanya sudah berlalu. Politics is restless.
Democracy is noisy, kata orang.
Apa pun yang
terjadi, mari kita terima dengan lapang, itulah realitas dan capaian bangsa
kita dalam proses pendewasaan berdemokrasi. Di sana ada unsur trial and error.
Ada eksprimentasi dan kesalahan. Dengan kesalahan dan luka yang kita alami
bersama, kita akan memperoleh banyak pembelajaran berpolitik untuk bahan
perbaikan ke depan.
Agenda
berbangsa dan bernegara ini masih ratusan tahun ke depan, sedangkan agenda
pilpres hanya dalam hitungan minggu. Jangan sampai perbedaan kubu pasangan dan
dukungan politik yang hanya sesaat akan menggerogoti semangat persaudaraan,
persatuan, dan tekad bersama untuk membangun bangsa dan rumah Indonesia, rumah
kita bersama, apa pun asal etnis, agama, dan parpolnya.
Semoga pilpres
ini nantinya akan kita kenang sebagai sebuah pesta. Setiap pesta besar pasti
melelahkan dan menelan ongkos yang juga besar. Namun, melegakan karena hajat
besar bangsa telah berhasil kita laksanakan dengan penuh gairah dan cinta
semata untuk kemajuan bangsa dan rakyat.
Kepada
pasangan yang kalah, secara moral mereka adalah juga pemenang karena telah
mengantarkan pasangan baru presiden dan wakil presiden. Kepada yang menang,
mereka mesti berterima kasih kepada yang kalah karena tanpa mereka Anda tak
akan jadi pemenang. Jadi, sesungguhnya kedua pasangan itu merupakan putra-putra
bangsa terbaik yang karena dorongan cintanya untuk memajukan bangsa, mereka
berkompetisi.
Di atas semua
itu, yang memiliki kedaulatan sesungguhnya adalah rakyat. Para elite politik
dan parpol memiliki kewajiban moral untuk merajut kembali sekiranya pilpres ini
menyisakan friksi dan luka dalam masyarakat.
Sumber: Kompas,
9 Juli 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!