Oleh Fachry Ali
Salah Satu Pendiri Lspeu
EMA Indriana, murid kelas II MAN 9, Duren Sawit,
Jakarta Timur, bercerita tentang sejarah Revolusi Perancis 1789 dan kemunculan
Napoleon Bonaparte yang menyatakan diri kaisar pada 1804.
Ia mengaitkan peristiwa abad ke-18 itu dengan
konteks regional, global, dan nasional: pemilihan presiden dewasa ini. Saya
tertegun. Bukankah efek revolusi itu secara tak langsung berpotensi mempertajam
perspektif melihat aspek struktur yang sama dalam politik-ekonomi menjelang dan
pasca pilpres di sini?
Revolusi Perancis adalah produk diskrepansi
struktural, ketika kekuasaan ancien règime (pemerintahan kuno) yang terpecah
dan terbagi di tangan raja, bangsawan penguasa lokal, pemuka agama, dan aktor
ekonomi gagal menampung dan menyalurkan energi ekonomi, politik, dan
sosial-budaya kekuatan masyarakat (petani dan kaum borjuasi kota) ke dalam
industrialisasi.
Di tingkat perdesaan, meski skala ekonominya setara
dengan wol, komoditas andalan Inggris untuk industrialisasi, minuman anggur
Perancis pada abad ke-18, tidak mendorong proses produksi bersifat mekanis.
Aktivitas pemikir terkenal Perancis, Montesqiue, sebagai pelobi anggur tidak
berpengaruh. Yang berlaku sebaliknya: penurunan pajak masuk barang olahan
Inggris pada 1786 dan penghapusan hambatan perdagangan gandum pada 1787. Semua
ini kian menghambat industrialisasi Perancis.
Luputnya Perancis dari industrialisasi berdasarkan
sumber daya pertanian ini justru memperkukuh energi antagonistis perdesaan.
Dasarnya adalah karena itu berarti mengawetkan sistem hubungan feodalisme yang
menindas petani. Praktik yang telah berlangsung ratusan tahun ini memperbesar
benih kebencian terhadap ancien règime di kawasan perdesaan.
Hal yang sebetulnya mirip terjadi di wilayah
perkotaan. Untuk memperoleh dukungan finansial, negara mempraktikkan penjualan
jabatan pemerintah kepada pihak swasta, kaum borjuasi. Secara otomatis praktik
yang terdeteksi sejak abad ke-17 ini menghamburkan sumber daya finansial yang
mestinya diinvestasikan di sektor komersial dan industri.
"Blokade" struktural ke arah
industrialisasi ini mematangkan kesadaran politik wilayah perkotaan melalui
jalan tak langsung. Penjualan jabatan pemerintah adalah politik status quo.
Dalam arti, melalui itu kaum borjuasi terintegrasi ke dalam struktur kehidupan
kebangsawanan.
Namun, justru oleh itu terjadi infiltrasi elemen
reformis ke sistem monarki. Melalui Barrington Moore diperoleh keterangan bahwa
di bawah Louis XVI jabatan pemerintah telah jadi pusat utama rekrutmen
nirbangsawan ke dalam pemerintahan. Dari 943 parlementaires yang direkrut
sepanjang 1774-1789 dan bertahan hingga 1790, sebanyak 394 (42 persen) bekas
roturiers (orang biasa) yang jadi bangsawan karena posisi baru mereka.
Ini berarti, elemen revolusioner telah bersarang
dalam jantung ancien règime. Energi sosial-ekonomi petani yang tersumbat sistem
feodalisme selama ratusan tahun, ketidakjelasan ekonomi kaum borjuasi
perkotaan, dan kegelisahan kaum bangsawan tiban (tiba-tiba) di dalam negara,
terkonsolidasi ke dalam bentuk perlawanan frontal dan meledak dalam bentuk
revolusi.
Hasil nyata Revolusi Perancis adalah, dalam sebutan
Marx, hancurnya sampah abad pertengahan tatanan kekuasaan lama, yaitu lembaga
dan aktor dominan prarevolusi dan tampilnya peran pemilik tanah menengah dan
kecil di perdesaan bersama dengan menu peuple 'gabungan massa kecil' dan sans
colletes 'pedagang kecil beraspirasi terlaksananya sistem ekonomi pasar'
perkotaan, kaum borjuasi profesional, dan cendekiawan secara dominan.
Apa relevansinya dengan Indonesia? Dalam
"Surviving the Meltdown: Liberal Reform and Political Oligarchy in
Indonesia", dimuat dalam Politics and Market in the Wake of Asia Crisis
(2000), Richard Robison dan Andrew Rosser menyatakan bahwa Reformasi 1998 yang
menjatuhkan kekuasaan Orde Baru (1967-1998) adalah refleksi kegagalan negara
menyesuaikan diri ke dalam sistem pasar liberal sebab sistem pasar liberal
bukan hanya mekanisme mencapai rasionalisme alokasi sumber daya saja, juga alat
membangun dan mengalokasikan kekuasaan.
Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi
selama hampir tiga dekade pembangunan Orde Baru adalah isyarat peralihan
orientasi ekonomi ke dalam sistem pasar liberal. Peralihan yang sempurna ini
luput terjadi karena itu berarti merombak kekuasaan dan hak-hak istimewa
oligarki Orde Baru.
Revolusi ala Indonesia
Dilihat dari konteks ini, Reformasi 1998 mirip
dengan Revolusi Perancis hampir 200 tahun lalu itu. Jika yang terakhir ini
gagal melakukan industrialisasi ketika syaratnya telah terpenuhi, rezim Orde
Baru enggan melangkah ke arah pasar bebas karena mengganggu kepentingan
kekuatan ekonomi-politik yang telah lama bercokol. Dalam beberapa hal hasil
Reformasi 1988 juga mirip dengan Revolusi Perancis: munculnya kaum borjuasi
kota secara dominan dalam panggung politik nasional.
Indonesia pasca Reformasi menyaksikan kemunculan
masif kaum borjuasi kota melalui partai politik baru sebab pra-Reformasi hanya
sedikit yang mengenal Muhaimin Iskandar, Hatta Rajasa, Puan Maharani, Tjahjo
Kumolo, Jero Wacik, Marzuki Alie, dan lainnya di jajaran elite nasional.
Rasanya amat kecil peluang kemunculan kaum borjuasi kota ini tanpa Reformasi
dan kemunculan partai politik baru.
Akan tetapi, jika Revolusi Perancis ditandai
lenyapnya medieval rubbish dan tampil dominannya menu peuple di perkotaan
bersama dengan pemilik tanah kecil di perdesaan, Reformasi 1998 justru telah
membuat aktor kapitalis Orde Baru bukan saja sintas, bahkan bebas dari tekanan
negara. Sebagian kaum kapitalis produk Orde Baru ini bermigrasi ke dunia
politik dan melalui itu mereka berpotensi memasuki jantung negara. Dibandingkan
dengan masa Orde Baru, modal ekonomi lebih menjadi energi politik pasca
Reformasi.
Reformasi 1998 melahirkan negara lemah. Sistem
demokrasi yang dikenakan telah membongkar kekuasaan memusat negara. Pelemahan
ini kian parah oleh latar global kapitalisme dan politik georegional.
Kedua hal terakhir ini penting dicatat. Dalam latar
global kapitalisme, negara tak mampu jadi aktor bagi dirinya. Usaha negara
melakukan semi-industrialisasi sektor ekstraktif, yaitu mewajibkan korporasi
membangun smelter, misalnya, tak berjalan sesuai dengan rencana karena dihambat
investor kapitalis global. Dalam konteks georegional, pertumbuhan ekonomi yang
kian disumbang pertumbuhan sektor padat modal telah mereduksi penyerapan tenaga
kerja. Akibatnya, kelebihan tenaga kerja tak terdidik berhamburan ke negara
tetangga. Ketegangan regional yang diakibatkan konflik tenaga kerja di
perantauan telah memberi kesan Indonesia negara "lemah".
Polarisasi
Dalam suasana semacam inilah Pilpres 2014
berlangsung. Bagaimana kita menyimaknya dari perspektif Revolusi Perancis?
Melalui lukisan Skocpol, kita bisa membuat skenario pilihan antara godaan
negara besar dan/atau negara berbasis partisipasi rakyat pasca pilpres, yakni
ketika Skocpol melukiskan kecilnya dukungan politik atas rezim Directorate,
yang muncul pada 1795 menggantikan Kaum Montagards, sehingga terpaksa
beraliansi dengan kaum militer menstabilkan efek Revolusi. Aliansi dengan kaum
militer yang bermaksud men- ciptakan Perancis sebagai negara besar Eropa inilah
yang melahirkan kepemimpinan Napoleon Bonaparte, jenderal yang mengangkat
dirinya kaisar pada 1804 dan mengobarkan perang di Eropa sampai dihentikan pada
1814.
Citra lemahnya negara di tingkat domestik, regional,
dan internasional pasca Reformasi 1998 mengingatkan kita pada dilema rezim
Directorate Perancis akhir abad ke-18 itu. Itu sebabnya sebagian politisi dan
kaum borjuasi kota "tergoda" memimpikan lahirnya seorang pemimpin
tegas dan mampu mengangkat wibawa negara dalam Pilpres 2014. Pada saat sama,
becermin pada pergerakan rakyat gabungan
métairie (kaum petani pemilik tanah kecil) dan sans colletes (pedagang
kecil beraspirasi terlaksananya sistem ekonomi pasar) dalam revolusi serupa,
musim pilpres ini juga memperlihatkan kebangkitan dan partisipasi rakyat secara
genuine mendukung pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Partisipasi kalangan
terakhir ini bahkan telah menciptakan sejarah: mengumpulkan dana dukungan untuk
calon pemimpin mereka lebih dari Rp 47 miliar.
Akankah Indonesia masuk dalam godaan negara besar
atau negara berbasis partisipasi rakyat akan bergantung pada apakah Prabowo
Subianto atau Joko Widodo (Jokowi) yang terpilih menjadi presiden dalam Pemilu
9 April 2014. Yang jelas, di luar efek Revolusi Perancis, melalui kemunculan
Jokowi, untuk kali pertama terlihat polarisasi preferensi politik tegas antara
rakyat jelata dan kalangan kelas menengah ke atas di Indonesia.
Sumber: Kompas, 7 Juli 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!