Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa
Barat;
Dekan Fakultas Syariah IAILM
Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
PEMILU Presiden 2014 telah
berlangsung relatif aman. Kerusuhan yang dibayangkan akan menghantui
alhamdulillah tidak terjadi. Amuk massa hakikatnya bukan tabiat negeri
kepulauan yang justru terkenal santun, gotong royong, dan ramah, seperti
terpantul dari seluruh sila dalam ideologi negara dalam lambang Garuda
Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang digali dari kitab Sutasoma
karya Empu Tantular abad ke-14.
Kita harus berterima kasih kepada
seluruh masyarakat yang dengan kesadaran tinggi telah memosisikan pilpres tidak
sebagai "perang badar", tetapi hanya penggalan hikayat politik dalam
rotasi demokrasi lima tahunan untuk memilih pimpinan nasional yang dianggap
dalam memori kolektifnya mampu mempercepat takdir bangsa menemukan adabnya.
Bahkan, harus diakui,
realitasnya, rakyat kecil sering kali jauh lebih dewasa dalam memaknai
pemilihan umum ketimbang elite. Mereka dengan ikhlas menghentikan pekerjaannya
pulang ke kampung halaman untuk sekadar masuk tempat pemungutan suara
menggunakan hak pilihnya. Padahal, yang dicoblos sama sekali tidak kenal serta
tidak ada kaitan kekerabatan, puak, kepentingan, apalagi kesamaan partai.
Ketika para elite masih mengklaim
kemenangan dan tim sukses mereka belum menerima kekalahan, padahal banyak hasil
penghitungan cepat (quick count) dengan terang merujuk pada kemenangan pasangan
Joko Widodo-M Jusuf Kalla (Jokowi-JK), di lapisan bawah mereka yang berbeda
pilihan sudah kembali bercengkerama dalam suasana silaturahim yang cair. Tanpa
harus diungkapkan, alam kebatinan mereka sudah berbicara bahwa merajut
keindonesiaan yang bersatu jauh lebih penting ketimbang sekadar sengketa
pilpres.
Penyikapan
Pemenang tidak perlu jemawa, yang
kalah tidak semestinya menyimpan kesumat. Kontestasi selalu hanya menyisakan
dua kemungkinan: dia yang diberi kesempatan dan atau yang belum saatnya sejarah
berpihak kepadanya. Festivalisasi senantiasa berujung pada hal itu. Bahkan,
boleh jadi kekalahan lebih utama karena di seberangnya tersedia kesempatan
melakukan refleksi secara utuh tentang seluruh jalan hidup yang telah
dijalaninya.
Orang arif sering menyebut
kekalahan sebagai modal rohaniah untuk menyelam menemukan permata di medan
lautan sepi yang tidak pernah dirasakan orang lain yang tidak bertarung.
Apalagi, dirasakan orang lain yang bergabung dengan nawaitu sesaat hanya
sekadar ingin masuk bagian dari kabinet, menjadi "menteri senior",
memburu rente, ataupun menikmati popularitas.
Kekalahan sebagai jalan politik
menuju keutamaan. Bukankah justru di tangan seorang Siddhartha Gautama,
kekuasaan yang telah berada di genggaman itu malah ditanggalkan demi memburu
ketenangan batin menyingkir dari pusat kekuasaan terpekur di bawah pohon bodis
demi menyambut datangnya terang fajar pencerahan.
Sejarah lain mencatat. Imam Ali,
seorang tokoh politik dalam pemilihan jabatan luhur kekhalifahan, ternyata
memilih rute senyap memberikan contoh kiprahnya yang lebih mengunggulkan etika
ketimbang terus mengatur siasat memburu kursi dan menebar ketakutan kepada
khalayak. Walaupun, sikapnya yang seperti ini pada akhirnya membuat
kekuasaannya secara de facto terlepas berpindah ke tangan Muawiyah.
Bahkan, dirinya sendiri secara
tragis harus menjadi martir dari para pihak yang kecewa atas pilihan moderat
politiknya: mati di tangan separatis Khawarij yang dahulu konstituennya, tetapi
telah berbalik haluan berkiblat kepada ekstremisme menganggap liyan sebagai
kafir, memandang "mereka" yang tidak berhukum kepada firman Tuhan
sebagai "bidah" terkutuk yang harus dilenyapkan.
Imam Ali dengan penuh kesadaran
mengajarkan ihwal moralitas politik, tentang "yang politik"
(maslahat) harus melampaui "politik" (muslihat), tentang pembedaan
(istilah Zizek) antara "politik nalar" dan "politik durjana"
(a specifically political rationality and a specifically political evil). Imam
Ali menginjeksikan keniscayaan berpolitik dengan akal sehat.
Politik harian
Setelah pemilu legislatif dan
pilpres secara langsung diselesaikan dengan ongkos politiknya yang sangat mahal
yang dibayarkan dari pajak rakyat, sudah semestinya agenda selanjutnya para
terpilih itu berterima kasih kepada segenap rakyat, baik yang memilihnya maupun
yang tidak memilihnya.
Caranya adalah, pertama, bekerja
keras berkhidmat untuk kepentingan bersama. Kedua, membuat regulasi yang
menempatkan masyarakat sebagai subjek utama dalam seluruh tata kelola
pemerintahan. Ketiga, menanggalkan atribut keburukan yang melekat dalam
birokrasi.
Keempat, memperbaiki sistem
pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang kadung karut-marut. Kelima, menumbuhkan
pengalaman kemajemukan sebagai bagian penting dari sejarah seluruh warga bangsa
yang plural. Keenam, mengembalikan lagi kebanggaan terhadap bangsa dengan cara,
di antaranya, kaum pemimpin itu memberikan teladan selarasnya kata dengan
ucapan, menjauhi watak rakus, menghentikan korupsi yang sudah menggurita.
Keenam hal inilah —kita sebut
sebagai politik harian— yang menjadi identitas utama yang kelak harus
dipertanggungjawabkan kepada kaum pemilihnya. Jadi, pada akhirnya ketika
bertemu kembali pada pemilu yang akan datang, pertanyaan penting yang muncul:
layakkah mereka dipilih kembali atau tidak?
Politik harian seperti ini yang
akan menjadi penanda apakah demokrasi itu sekadar berhenti sebatas
instrumental, mengarah menjadi simtom pembusukan demokrasi (democracy decay),
atau telah menyentuh sisi substantifnya. Apakah kemeriahan demokrasi itu
sebanding lurus dengan upaya pendistribusian rasa keadilan merata, penegakan
hukum, dan terwujudnya negara kesejahteraan atau tidak? Politik harian yang
akan membuat politik itu kemudian kembali pada fitrahnya yang agung.
Fitrah politik yang agung itu
adalah politik seperti diuraikan Hannah Arendt (1906-1975), yang bertolak dari
prinsip kebebasan, kesetaraan, dan koeksistensi semua orang di ruang publik
yang pluralistik. Politik yang memberi kebebasan berpikir, berbicara, dan
bertindak melampaui batas-batas tradisi, agama, birokrasi, dan kebenaran
ilmiah. Politik yang terbebas dari kerangka penguasaan, pengendalian, dominasi,
dan pertarungan kepentingan (Agus Sudibyo, Politik Otentik, 2013).
Merawat harapan
Jika hasil dari seluruh hajat
pemilu legislatif dan pilpres itu tak pernah menunjukkan indeks prestasi
positif, sebagai bangsa masih tetap berada di halaman belakang daripada
negara-negara tetangga, belum juga berdaulat secara ekonomi, politik, dan
kebudayaan, sesungguhnya kita masih tetap harus merawat harapan.
Keindonesiaan yang telah
menginjak usia ke-69 tahun tak seharusnya tunduk pada segenap perangai negatif
kaum pemimpin, tersekap ormas berhaluan menyimpang yang bertentangan dengan
falsafah negara dan cita-cita para pendiri bangsa. Apa pun hasil dari Pemilu
Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014, tidak semestinya menjadi alasan
bubarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan punahnya negeri kepulauan layaknya
negara-negara Balkan.
Sumber: Kompas, 11 Juli 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!