Oleh Achmad
Soetjipto
Ketua Persatuan Purnawirawan
Angkatan Laut & Mantan KSAL
NETRALITAS, baik oleh penyelenggara maupun aparatur pemerintah, hampir selalu menjadi sumber masalah dalam setiap pemilu.
Mobilisasi aparatur oleh kepala daerah, manipulasi
penghitungan suara, dan pembiaran pelanggaran kampanye oleh aparat adalah
sedikit catatan mengenai hal ini. TNI pun tak luput dari sorotan, terutama
sejak laporan adanya oknum babinsa yang ditengarai mengarahkan masyarakat
kepada salah satu kontestan dalam Pilpres 2014 baru-baru ini. Memang begitu
menjadi pemberitaan, dengan cepat pimpinan TNI melakukan tindakan dan
klarifikasi. Walaupun bukan dalam skala masif dan terlepas dari kesalahan
oknum, kejadian ini kembali menguakkan ingatan akan kiprah ABRI dalam keluarga
ABG (ABRI-Birokrasi-Golkar) pada rezim terdahulu.
Perjalanan
waktu sampai saat ini juga dipandang belum cukup lama sehingga banyak kelompok
masyarakat tetap khawatir tentang kemungkinan kembalinya militer ke ranah
politik. Masalahnya hanya soal kesempatan.
Belajar dari
itu, hendaknya dalam konsolidasi demokrasi setiap upaya penguatan civil society harus diikuti dengan pembangunan
sistem yang tak memberikan peluang militer untuk masuk ranah politik dengan
alasan apa pun.
TNI sendiri
sudah berkomitmen untuk tak lagi terlibat politik praktis sebagaimana
ditegaskan dalam reformasi TNI. Diperkuat kemudian dengan keberadaan Tap MPR No VII/MPR/2000 dan
UU No 34/2004. Meski demikian, harus diingat bahwa karakter dasar militer di
mana saja adalah selalu terobsesi menjadi cermin negara. Dalam situasi tertentu
kata ini dapat saja berubah tafsirnya. Setiap tarikan dari mana pun yang ingin
melibatkan militer dalam politik dapat diartikan bahwa negara membutuhkan dan
sebagai "patriot" militer tidak dapat menghindar.
Atas nama
panggilan dan tanggung jawab terhadap negara, militer dapat saja melampaui
peran yang telah digariskan perundang-undangan. Kudeta Thailand adalah contoh
aktual, padahal negara itu relatif jauh lebih lama dan lebih matang
berdemokrasi daripada kita. Artinya, kejadian serupa dapat pula terjadi di sini
meskipun dengan latar belakang dan alasan
politik yang berbeda.
Problem
demokrasi kita
Menurut teori,
banyak cara menghindarkan militer kembali menerjuni politik praktis. Yang
terpenting selain memperkuat civil society adalah membangun militer profesional
yang kuat. Sekuensi militer profesional adalah tunduk kepada supremasi sipil
sehingga civil society tak perlu lagi main mata dengan kaum militer. Kebanyakan
negara pasca otoritarianisme yang gagal melakukan konsolidasi demokrasi
disebabkan mereka gagal membangun masyarakat madani dan militer profesional
yang kuat.
Pada kondisi
ini biasanya pemilu hanya akan melahirkan pemerintah feodal, fasisme baru, atau
bahkan membangkitkan otoritarianisme lama dengan wajah baru. Demokrasi belum
sepenuhnya tegak ketika militer tidak menjaga netralitasnya dalam pemilu.
Demokrasi juga belum menjadi budaya ketika politik transaksional masih menjadi
praktik umum dari tingkat elite hingga akar rumput. Demokrasi juga belum
memenuhi substansinya ketika konstituen belum mengedepankan rasionalitasnya.
Dalam situasi
ini, baik militer, konglomerat, barisan status quo, kelompok mapan, maupun
kekuatan feodal sama berbahayanya bagi demokrasi. Untuk Indonesia, ancaman
terbesar saat ini sebenarnya berhulu dari para cukong politik, kelompok
kleptokrasi, dan kaum feodal. Sementara militer walau masih terus diperdebatkan
sesungguhnya sudah cukup elegan dalam memosisikan diri. Dari sinilah problem
berawal, yaitu ketika publik menafikan ancaman faktor lain yang tak kalah
berbahaya dan hanya fokus menuntut netralitas TNI. Publik luput mencermati,
berbagai kekisruhan masa kampanye justru banyak diproduksi kalangan pengancam
demokrasi di luar militer.
Mudah ditebak
dari mana asalnya ketika media publik
dimanfaatkan untuk menjatuhkan lawan politik, menebar fitnah dan
meracuni masyarakat dengan politik adu domba. Juga dengan rapuhnya moral
masyarakat sehingga bersikap pragmatis karena masifnya serangan politik uang.
Hanya pemodal politik yang mampu melakukan itu atas pertimbangan transaksi
kekuasaan. Namun, kesemua itu ketika dihadirkan ke permukaan, dengan kekuatan
akses yang dimilikinya mudah bagi mereka membelokkan opini dan menuduh balik,
misalnya dengan mengatakan ada operasi intelijen. Kembali TNI menjadi kambing
hitam dan ini adalah cara yang paling murah karena masyarakat demokrasi
menyimpan pengalaman buruk dan pahit
selama rezim Orde Baru.
Membatasi
gerak militer
Ketika atas
nama demokrasi militer terus dijadikan hantu, maka semakin jauh pula dukungan
civil society kepada pembangunan militer yang profesional. Padahal, keberadaan
militer yang profesional prasyarat tegaknya demokrasi. Artinya, serangan
terus-menerus ke militer justru akan menjadi titik balik bergeraknya militer ke
ranah politik.
Membangun
militer profesional memang terkesan mahal, tetapi sesungguhnya jauh lebih murah
daripada militer menjamah politik praktis. Dampaknya juga jauh lebih berbahaya,
selain merusak kehidupan demokrasi juga dapat mengancam kedaulatan dan keutuhan
negara, yaitu saat kepentingan nasional dipertaruhkan menghadapi cengkeraman
kepentingan negara lain.
Perlu
dipikirkan strategi percepatan bagaimana menempatkan militer pada posisi yang
kuat untuk memperkuat demokrasi. Polemik di antara beberapa purnawirawan TNI
yang terbelah di antara dua pasangan dalam Pilpres 2014 juga hendaknya jadi
catatan penting. Di beberapa negara ada aturan bagaimana pemulihan hak sipil
anggota militer pasca purna tugas. Misalnya diberlakukannya jeda tiga atau lima
tahun sejak pensiun untuk kemudian dapat memasuki politik praktis seperti
usulan Salim Said. Pola ini mungkin dapat dipertimbangkan untuk diadopsi dan
kemudian diundangkan.
Begitu juga
pengungkapan operasi dan kebijakan militer oleh para purnawirawan untuk maksud
politik tertentu perlu pula diformulasikan solusinya. Bisa jadi yang
diungkapkan sebuah kebenaran, tetapi ke depan mesti dipikirkan bagaimana jika
itu menyangkut rahasia negara dan strategi pertahanan yang sifatnya sensitif.
Mungkin perlu disusun peraturan tertentu yang melarang publikasi menyangkut
diri dan institusinya semasa masih dinas aktif. Pengecualian dapat saja
dikenakan jika ada perintah dari pengadilan. Cara-cara itu perlu
dipertimbangkan demi percepatan konsolidasi demokrasi, terutama transformasi
dari demokrasi formal dan prosedural menjadi demokrasi substansial.
Sumber:
Kompas, 18 Juli 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!