Oleh Refly Harun
Pengamat Hukum Tata
Negara dan Pemilu
ANDAI permohonan Prabowo-Hata diletakkan dalam konteks Pemilu
Presiden 2004, gonjang-ganjing akan gugatan itu tentu tak sedahsyat sekarang.
Mahkamah Konstitusi tinggal membuktikan apakah klaim unggul suara dari
Prabowo-Hatta didukung oleh data akurat dan asli.
Dalam gugatannya, Prabowo-Hatta mengklaim unggul atas Joko Widodo-Jusuf
Kalla dengan persentase 50,26 persen (67.139.153 suara) berbanding 49,74 persen
(66.435.124 suara). Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum menetapkan kemenangan
Jokowi-JK dengan 70.997.833 berbanding 62.576.444 suara yang didapat
Prabowo-Hatta. Artinya, ada penambahan suara hampir 5 juta bagi Prabowo-Hatta
dan pengurangan hampir 4 juta bagi Jokowi-JK.
Klaim menang itu tinggal dibuktikan dalam sidang-sidang di Mahkamah
Konstitusi (MK). Bila terbukti, sudah pasti Prabowo- Hatta akan ditetapkan
sebagai pemenang. Masalahnya, klaim unggul suara itu tidak didukung elaborasi meyakinkan.
Bagian mahapenting itu hanya menghiasi tiga halaman dari 197 halaman gugatan
Prabowo-Hatta.
Tidak ada elaborasi yang menjelaskan dari mana penambahan angka hampir 5
juta suara Prabowo-Hatta dan pengurangan hampir 4 juta suara Jokowi-JK.
Pintu masuk klaim lain
Bisa jadi, kubu Prabowo-Hatta sendiri tidak yakin dengan klaim menang itu
dan hanya dijadikan pintu masuk bagi klaim berikutnya, yaitu telah terjadi
kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam Pilpres
2014.
Andai permohonan ini diletakkan dalam konteks 10 tahun lalu, sudah pasti
akan ditolak karena klaim tersebut tidak dapat dibuktikan. Bahkan, dalam
kesempatan pertama, ketika membaca permohonan pun, arah putusan sudah dapat
ditebak.
Namun, sekarang Pilpres 2014, bukan Pilpres 2004. Sejak memutuskan Pilkada
Jawa Timur 2008, MK telah menahbiskan dirinya tidak sekadar "Mahkamah
Kalkulator" dalam menyidangkan sengketa hasil pemilu. MK telah mengklaim
dirinya beraliran "keadilan substantif". Kendati suatu permohonan
tidak dapat membuktikan keunggulan suara, bila pemohon mampu membuktikan telah
terjadi kecurangan yang bersifat TSM, pemungutan suara bisa diulang.
Dengan doktrin "keadilan substantif" ini, pemungutan suara
beberapa pilkada terpaksa diulang. Selain Pilkada Jawa Timur 2008, pengulangan
juga terjadi untuk beberapa pilkada lainnya, seperti Pilkada Merauke (2010),
Tangerang Selatan (2011), Sumatera Selatan (2014), dan Maluku Utara (2014).
Dalam beberapa pilkada yang disebutkan itu, MK menengarai telah terjadi
kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif sehingga pemungutan suara
patut diulang, baik secara keseluruhan maupun di beberapa tempat.
Doktrin TSM tersebut seperti pedang bermata dua. Di satu sisi memberi
keleluasaan kepada hakim-hakim MK untuk benar-benar menggali rasa keadilan
dalam menyidangkan sengketa hasil pemilu. Namun, di tangan hakim yang tidak
bertanggung jawab, doktrin tersebut justru dapat menjadi alat negosiasi.
Pesan BBM dari Akil Mochtar yang mengancam pemungutan suara ulang dalam
konteks Pilkada Gunung Mas 2013 dapat menjelaskan celah negosiasi tersebut.
Pola mengancam "pemungutan suara ulang" inilah yang kerap menjadi
jurus Akil dalam melakukan pemerasan terhadap pihak-pihak yang menang dalam
pilkada, termasuk dalam Pilkada Gunung Mas yang menjerat Hambit Bintih,
petahana sekaligus pemenang Pilkada Gunung Mas 2013.
Secara harfiah, kecurangan yang bersifat terstruktur berarti dilakukan oleh
struktur tertentu, misalnya struktur organisasi atau melibatkan birokrasi
pemerintahan. Sistematis bermakna bahwa kecurangan dilakukan secara terencana,
bukan kebetulan. Sementara itu, masif mengabarkan bahwa kecurangan terjadi
dalam skala luas, tidak sporadis.
Ukuran TSM tak jelas
Persoalannya, karena bersifat kualitatif, ukuran TSM tidak begitu jelas.
Misalnya, soal masif, tidak jelas parameternya dalam skala seperti apa bisa
dikatakan masif. Semua itu bergantung pada perspektif para hakim konstitusi.
Dalam sebuah kesempatan talkshow di televisi dengan saya beberapa tahun lalu,
mantan Ketua MK Mahfud MD bahkan menyatakan bahwa suatu kasus dapat dimenangkan
dan dikalahkan bergantung pada kemauan sang hakim. Semua ada argumentasinya.
Kembali pada gugatan Prabowo-Hatta, karena saat ini bukan Pilpres 2004,
melainkan Pilpres 2014, meski klaim unggul suara sangat lemah, Prabowo-Hatta
masih bisa berharap dengan doktrin longgar TSM. Subyektivitas hakim-hakim
konstitusi dapat menentukan apakah pemungutan suara Pilpres 2014 harus diulang
atau tidak.
Sebagai orang yang mengamati sepak terjang MK dalam 10 tahun terakhir,
bahkan pernah terlibat di dalamnya sebagai staf ahli dalam empat tahun pertama,
saya berkesimpulan bahwa dalil kecurangan TSM dalam gugatan Prabowo- Hatta
lemah.
Permohonan Prabowo-Hatta lebih banyak mempersoalkan hal-hal yang bersifat
administrasi pemilu, seperti penetapan daftar pemilih tetap (DPT), soal daftar
pemilih khusus tambahan (DPKTb), dan inkonsistensi DPT dengan surat suara
terpakai/tidak terpakai. Kalaupun soal-soal seperti itu dinilai sebagai
pelanggaran, kategorinya baru sampai pelanggaran administrasi. Tidak bisa
dikatakan sebagai kecurangan, apalagi yang bersifat TSM.
Rumus kecurangan sangat sederhana, yaitu ada yang diuntungkan dan ada yang
dirugikan oleh sebuah tindakan. Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dalam
soal DPT dan DPKTb? Tidak jelas karena kita tidak memiliki kemampuan
memverifikasi pilihan pemilih sekalipun kotak suara dibuka.
Hingga titik ini, posisi Jokowi-JK pastinya aman. Namun, doktrin longgar
TSM bisa membawa kabar buruk. Dengan subyektivitasnya, hakim bisa menyatakan,
"kendatipun soal DPT dan DPKTb tidak dapat dikategorikan sebagai suatu
kecurangan, melainkan sekadar pelanggaran administrasi, tetapi karena hal
tersebut terjadi merata di puluhan ribu TPS, demi tegaknya pemilu yang luber
dan jurdil, Mahkamah Konstitusi berpandangan perlu dilakukan pemungutan suara
ulang."
Mudah-mudahan kalimat tersebut tidak pernah dituliskan para hakim
konstitusi agar gonjang-ganjing pilpres ini segera berakhir.
Sumber: Kompas, 12
Agustus 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!