Oleh Bivitri Susanti
Kandidat
Doktor Ilmu Hukum
University of Washington, Seattle, AS
ARENA pertarungan politik telah berpindah dari
ranah politik ke ranah hukum sejak hasil penetapan KPU tentang pemilihan
presiden dan wakil presiden diperselisihkan di Mahkamah Konstitusi.
Dalam konstruksi yang mirip, hal ini terjadi di
Amerika Serikat pada 2000, antara Bush dan Al Gore. Dengan sistem pilpres yang
berbeda dengan Indonesia karena mereka menggunakan sistem perwakilan, Mahkamah
Agung (MA) AS menunda pemilihan ulang di Negara Bagian Florida yang telah
terjadi otomatis karena ada perbedaan suara yang terlalu sedikit. Hal itu
mengakibatkan Bush menjadi Presiden AS 2000-2004, yang berlanjut ke periode
kedua sampai 2008.
MA AS praktis menjadi penentu akhir presiden AS
ketika itu. Perdebatan terjadi di meja akademik dan media massa, tetapi putusan
tak bisa berubah.
Kasus Bush melawan Al Gore bukan satu-satunya
contoh. Hal serupa juga pernah terjadi di banyak negara lain. Lembaga yudikatif
telah menjadi penentu akhir dalam sengketa pilpres di Taiwan (2004), Puerto
Riko (2004), Ukraina (2005), Kongo, (2006), Italia (2006), dan Meksiko (2006).
Ran Hirschl menyebut fenomena ini sebagai
judicialization of mega-politics (Hirschl, 2008) atau pengalihan
peristiwa-peristiwa politik besar ke meja yudikatif. Fenomena pertanyaan
politik mendasar diputuskan oleh pengadilan tidak hanya terjadi dalam soal
pilpres, tetapi juga dalam soal pergantian rezim, pertanyaan soal identitas
bangsa, dan keamanan nasional.
Dengan membandingkan kasus-kasus di sejumlah negara,
Hirschl mengingatkan, dialihkannya pengambilan keputusan politik dari lembaga
politik ke lembaga yudikatif adalah fenomena politik, bukan semata peristiwa
hukum. Oleh karena itu, pengadilan penguji urusan konstitusional juga harus
dilihat dalam sebuah konteks politik, bukan sebagai sebuah lembaga hukum dalam
ruang hampa. Pengadilan yang menangani sengketa ini harus dilihat sejarah
kelahirannya, komposisi hakim-hakimnya, serta posisi politiknya dalam kondisi
terkini.
Hakim politik
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi (MK) RI harus
dilihat pula dalam konteks politik. Sembilan hakim konstitusi akan memutus
perkara bersama-sama dan putusannya bersifat final. Perlu dicatat, setiap tiga
dari sembilan hakim dipilih oleh pemerintah, DPR, dan MA. Oleh karena itu,
latar belakang mereka cukup beragam.
Ketiga hakim konstitusi yang berasal dari MA,
misalnya, mempunyai karier cukup baik sampai pengadilan tinggi sehingga dipilih
menjadi hakim konstitusi. Lainnya berlatar belakang akademisi dan pejabat
pemerintahan.
Jika melihat latar belakang politik, ada dua hakim
konstitusi yang pernah aktif di dua partai politik, termasuk jadi anggota DPR.
Ketua MK Hamdan Zoelva dulu aktif di Partai Bulan Bintang dan Patrialis Akbar
pernah aktif di Partai Amanat Nasional serta jadi Menteri Hukum dan HAM
(2009-2011). Keduanya berperan dalam amendemen konstitusi 1999-2002, yang salah
satunya menghasilkan sistem pemilihan presiden secara langsung ini.
UU No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden mengatakan, obyek sengketa adalah hasil penghitungan yang
memengaruhi penentuan terpilihnya calon presiden. Ada dua hal yang bisa
dipersoalkan, yaitu hasil rekapitulasi dan adanya kecurangan.
Menyoal hasil rekapitulasi berarti
"mengadu" penghitungan Komisi Pemilihan Umum dengan penghitungan kubu
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Dengan transparansi KPU yang mengunggah semua
form C1 di situs mereka dan verifikasi bertingkat yang sudah dilakukan, sulit
bagi tim Prabowo-Hatta untuk menandingi penghitungan KPU. Lagi pula, 8,4 juta
suara bukanlah perbedaan yang kecil.
Bagaimana klaim kecurangan? Putusan MK terdahulu
mengenai sengketa pilpres ataupun pemilihan kepala daerah mensyaratkan adanya
kecurangan yang sifatnya "sistematis, terstruktur, dan masif".
Sifat-sifat kecurangan tersebut harus bisa dibuktikan secara rinci. Sekadar
menyebut adanya pelanggaran atau kecurangan tak memadai bagi MK.
Penting dicatat, MK tidak mengabulkan permohonan
sengketa Pilpres 2004 dan 2009 dengan klaim kecurangan karena tak memenuhi
sifat-sifat tersebut. Waktu itu, meski mengakui ada kecurangan dan pelanggaran,
MK memandang kecurangan itu tak signifikan dan tidak bersifat sistematis,
terstruktur, dan masif.
Meski ia berada dalam konteks politik, MK adalah
pengadilan yang memiliki hukum acara yang jelas untuk menjaga integritas dan
profesionalitas putusan nantinya. Retorika politik tidak "berharga"
dalam sidang pengadilan. Dokumen, saksi, dan alat bukti lainnya akan diperiksa
dengan tata cara yang ketat.
Penentu masa depan
MK saat ini ada di panggung politik yang riuh dan
panas. Dengan jutaan pasang mata yang menyoroti, legitimasi MK akan diuji.
Sementara baru beberapa minggu lalu bekas Ketua MK Akil Mochtar dihukum pidana
penjara seumur hidup oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Tak pelak,
kecurigaan dan kekhawatiran mewarnai pemeriksaan di MK.
Kabar baiknya, kita semua bisa melihat dengan jelas
proses persidangan nantinya karena hanya rapat para hakim dalam menentukan
putusan yang tertutup untuk umum. Klaim penghitungan dan kecurangan nantinya
tak hanya dinilai oleh hakim, tetapi juga dilihat oleh publik.
Ditambah lagi, inisiatif publik yang luar biasa
dalam mengawal pilpres kali ini juga membuat data dan informasi tersedia
sehingga ada data pembanding yang memadai bagi jutaan mata yang mengawasi.
Inilah konteks politik penting yang harus dilihat MK dan para juris.
Putusan apa pun yang dihasilkan akan terus menjadi
bahan diskusi dan tidak akan memuaskan semua pihak. Namun, dengan panggung
politik yang penuh informasi dan ramai oleh pemilih yang makin sadar akan
haknya, MK tidak punya pilihan lain, selain menjaga profesionalitas dan
integritasnya. Yang dipertaruhkan di sini tak hanya legitimasi MK, tetapi juga
masa depan demokrasi di Indonesia.
Sumber: Kompas, 6 Agustus 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!