Oleh Tito Panggabean
Antropolog & Peneliti Kebudayaan
Masyarakat Pegunungan
Tengah Papua
Hari-hari ini sedang ramai dibahas isu pemungutan suara sistem
noken di Papua. Ini adalah cara pemungutan suara yang sudah lama diakui
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai kearifan lokal, tetapi kembali menjadi berita
karena pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor 1 menggugat
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pemohon menganggap sistem itu tidak sah.
Ada dua pola
sistem noken yang biasa digunakan masyarakat di Pegunungan Tengah Papua.
Pertama, pola bigman, di mana pemberian suara diserahkan atau diwakilkan kepada
ketua adat.
Kedua, pola
noken gantung, di mana masyarakat dapat melihat suara masuk ke kantong partai
yang sebelumnya telah disepakati. Pola kedua ini dipakai dalam Pemilihan Umum
Legislatif 2014.
Dalam kedua
jenis sistem noken, prinsip bebas dan rahasia tidak berlaku. Dalam pola bigman,
warga sepenuhnya menyerahkan pilihan kepada pemimpin sebagai ekspresi ketaatan.
Pasangan capres-cawapres nomor 1, yang kalah suara di kawasan yang menerapkan
sistem bigman, menggugat cara itu.
Terkait
pemimpin
Sistem noken
berkaitan langsung dengan para pemimpin tradisional. Dalam rangka penelitian
antropologi, saya pernah beberapa kali berkunjung ke Pegunungan Tengah Papua.
Fakta ini perlu diungkapkan karena beberapa saksi capres-cawapres nomor 1 yang
tampil di sidang MK berulang kali menyebut pertentangan di Pegunungan Tengah.
Tipe pemimpin
pada masyarakat Pegunungan Tengah adalah yang dalam antropologi disebut tipe
bigman, dalam bahasa lokal menagawan, artinya lebih kurang 'orang berwibawa'.
Orang
berwibawa meraih status sebagai pemimpin bukan karena warisan. Ini adalah
pencapaian status, yang diraih atas dasar perilaku, tindakan, dan usaha
memenangkan persaingan dengan orang-orang lain atau lawan yang menjadi pesaing.
Karena status
orang berwibawa ditentukan oleh perilakunya, usaha untuk memenangi persaingan
membuat posisinya penuh risiko. Ia harus pandai merangkul para bigman lain,
membagi wewenang dengan mereka, dan menyumbangkan harta, waktu, dan energinya
untuk kepentingan orang banyak.
Seorang bigman
yang acap dianggap pemimpin perang dinilai hebat bilamana ia menyejahterakan
rakyatnya, bukan terus-menerus mengobarkan perang.
Adalah keliru
mengatakan seorang bigman yang baik yang sering mengobarkan perang. Justru
sebaliknya, bigman yang baik adalah yang memiliki kemampuan mengubah musuh
menjadi sekutu. Bigman adalah orang bijak dan karena itu jadi panutan dan
ditaati komunitasnya.
Di Papua,
seorang pemimpin di sebuah kampung belum tentu dianggap pemimpin di kampung
lain. Seorang pemimpin lintas kampung adalah pemimpin yang mampu berdiplomasi
dengan pemimpin kampung lain dan menjalin persekutuan, menghormati wewenang,
dan pantang mempermalukan pemimpin lain. Kepiawaian diplomasi serta membina
persekutuan menjadikan seorang bigman disegani oleh beberapa bigman lain.
Perolehan
suara
Dalam
kunjungan terakhir ke Papua, 2013, saya berkesempatan menyaksikan langsung
proses pemilihan Bupati Timika di sebuah kampung di daerah Pegunungan Tengah.
Seorang bigman yang paling disegani didatangi bigman dari kampung lain.
Pada
kesempatan berbeda, ia juga menemui pemimpin kampung lain itu. Meski bukan
agenda khusus, isu pemilihan bupati dibicarakan. Mereka saling bertukar
informasi tentang pasangan-pasangan calon itu.
Dalam
pertemuan itu dibahas siapa kira-kira yang akan mereka pilih: Apakah mereka
akan memberikan semua suara warga untuk satu pasangan saja; membagi rata suara
pada semua pasangan; atau untuk pasangan terbaik, yakni pasangan yang dianggap
paling membela rakyat, baik hati, dan tidak mengumbar janji.
Dalam salah
satu pertemuan para pemimpin adat itu, bigman yang paling disegani mengatakan,
pilihan paling aman bagi warga kampung-kampung di Pegunungan Tengah adalah
membagi suara secara sama rata. Alasannya, semua calon dianggap tidak memihak kepada
rakyat di pegunungan, tak satu pun pernah membuat program pembangunan di
Pegunungan Tengah.
Alasan kedua,
ada 10 calon bupati dan wakil bupati yang berasal dari kampung mereka di
pegunungan. Mereka tidak bisa menentukan mana yang akan diberi suara lebih
banyak atau lebih sedikit. Hal ini karena semua calon itu adalah para kerabat
mereka sendiri.
Karena tak
menginginkan perpecahan di kalangan warga, pemimpin yang paling disegani itu
memutuskan membagi rata suara di kampungnya. Keputusan itu disetujui oleh
pemimpin-pemimpin yang lain.
Pemilihan
bupati putaran kedua menghasilkan tiga calon bupati dan wakil, termasuk satu
yang berasal dari Pegunungan Tengah. Hal ini memudahkan para pemimpin adat
memilih. Hasilnya, 100 persen warga kampung di Pegunungan Tengah memilih calon
bupati asal daerah mereka. Semua pemimpin menyetujui keputusan bigman paling
senior itu.
Sumber
informasi
Dari mana para
pemimpin adat mendapat informasi? Sering dikatakan, akses informasi
kampung-kampung di Pegunungan Tengah sangat terbatas. Namun, para pemimpin itu
bukan orang yang tidak pernah keluar kampung. Sebagian besar mereka menjadi
aparat pemerintah; kepala desa, atau aparat desa yang diundang untuk rapat
koordinasi di kantor kecamatan. Dengan demikian, banyak informasi yang dapat
diserap, termasuk yang terkait dengan pemilihan.
Salah satu
calon bupati adalah seseorang yang dianggap terpelajar dan anak dari kepala
suku masa lalu. Namun, ia tak dianggap sebagai pemimpin. Para pemimpin
tradisional Papua ini juga berusaha menggali informasi dari sejumlah pihak di
luar, termasuk dari saya, tentang para calon bupati dan wakilnya.
Ketika itu,
saya sempat balik bertanya, kenapa tidak dibebaskan saja setiap orang memilih
dan mencoblos sendiri. Para pemimpin itu mengatakan, rakyat tidak mengenal para
calon bupati, cara memilih pun mereka tak tahu. Jadi, warga menyerahkan kepada
para pemimpin siapa yang akan dipilih. Orang Papua di Pegunungan Tengah
meyakini, pemimpin tidak mungkin menyengsarakan rakyatnya. Apa yang menurut
pemimpin baik, baik pula bagi rakyat.
Meski saat
Pilpres 9 Juli lalu saya tidak berada di Papua, saya dapat membayangkan proses
pemilihan di kampung-kampung Pegunungan Tengah berjalan seperti halnya proses
pemilihan bupati dan wakil bupati 2013.
Pilpres kali
ini hanya menampilkan dua pasangan, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai
pasangan nomor 1 dan Jokowi-JK sebagai pasangan nomor 2. Para bigman melihat
Jokowi populer di daerah Pegunungan Tengah.
Saat saya
terakhir ke Papua, Desember 2013, jauh sebelum Jokowi maju sebagai calon
presiden, seorang bigman di Pegunungan Tengah mengatakan, "Jokowi bagus,
ya, menjadi Gubernur Jakarta, sukses juga menjadi Wali Kota Solo. Kami (para
pemimpin) sepakat memilih Jokowi kalau dia mencalonkan diri menjadi
presiden."
Sebaliknya,
Prabowo dinilai sebagai tokoh lama, sama seperti Megawati, Jusuf Kalla, dan
tokoh lain yang dinilai tidak membawa kemajuan bagi orang Papua.
Di
daerah-daerah lain di Papua, penilaian atas Jokowi dan Prabowo mungkin saja
berbeda. Seperti diakui KPU, di beberapa daerah lain popularitas Prabowo justru
melebihi Jokowi. Pasti karena para bigman di daerah-daerah itu berpendapat,
Prabowo lebih baik daripada Jokowi. Hanya kebetulan saja di Pegunungan Tengah
para bigman lebih menyukai Jokowi.
Sistem noken
membuat hasil pemilihan presiden di Pegunungan Tengah Papua sangat bergantung
pada hasil perang diplomasi antar-bigman. Dicapainya kemenangan mutlak 100
persen oleh salah satu pihak menunjukkan adanya bigman yang amat disegani di
sana.
Jika hasilnya
fifty-fifty, itu mengindikasikan tengah terjadi persaingan kepemimpinan yang
ketat di antara dua bigman yang paling berpengaruh.
Maka,
besar-kecilnya perolehan suara di Pegunungan Tengah Papua, sesungguhnya
refleksi pertarungan pengaruh di antara para bigman.
Sumber: Kompas,
16 Agustus 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!