Oleh A Tony Prasetiantono
Kepala Pusat Studi Ekonomi &
Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
SAMBIL menunggu proses akhir pemilihan presiden di tingkat Mahkamah Konstitusi, ada baiknya kita mencoba menginventarisasikan isu-isu strategis apa saja yang bakal menjadi tugas berat pemerintahan presiden terpilih nanti.
Kepala Pusat Studi Ekonomi &
Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
SAMBIL menunggu proses akhir pemilihan presiden di tingkat Mahkamah Konstitusi, ada baiknya kita mencoba menginventarisasikan isu-isu strategis apa saja yang bakal menjadi tugas berat pemerintahan presiden terpilih nanti.
Ujian pertama bagi pemerintahan baru bisa disebut sudah dilalui dengan baik. Indikasinya, pasar menyambut antusias dengan penguatan rupiah (Rp 11.500-an per dollar AS) dan Indeks Harga Saham Gabungan (di atas 5.000). Sentimen positif ini hendaknya terus dipertahankan, melalui pembentukan kabinet yang tidak saja mencerminkan kapasitas intelektual para menteri, tetapi juga dilengkapi integritas dan kemauan untuk bekerja keras dan bertindak sebagai "pelayan" publik.
Jika presiden
terpilih sampai tergelincir menyusun kabinet dengan basis sekadar membagi-bagi
jatah bagi koalisi politiknya sehingga cenderung mengabaikan aspek kompetensi,
seperti terjadi pada kabinet sebelumnya, pasar akan segera menghukumnya. Rupiah
dan IHSG pun akan berhenti berakselerasi, sementara arus modal masuk (capital
inflow) pun akan berubah menjadi capital outflow. Ini tentu tidak boleh
terjadi.
Tujuh isu
strategis
Berikut tujuh
isu strategis bagi pemerintah baru. Pertama, subsidi energi. Tahun ini subsidi
energi (BBM dan listrik) akan mencapai Rp 350 triliun, terdiri dari subsidi BBM
Rp 246,49 triliun dan subsidi listrik Rp 103,82 triliun. Ini jelas berlebihan
karena volume APBN sekitar Rp 1.877 triliun. Itu berarti subsidi energi
mencapai hampir 19 persen dari seluruh belanja negara. Ini tak masuk akal.
Bahkan biaya penyelenggaraan Piala Dunia sepak bola di Brasil 2014
"hanya" sekitar 15 miliar dollar AS (sekitar Rp 170 triliun),
termasuk membikin baru dan merenovasi 12 stadion serta membangun infrastruktur
(data Bloomberg dan Forbes). Dengan kata lain, subsidi energi kita bisa untuk
penyelenggaraan dua kali Piala Dunia!
Terlalu
besarnya subsidi energi ini menimbulkan dua implikasi negatif. Pertama, tak
memberi ruang gerak fiskal untuk mengalokasikannya ke kegiatan lain yang
produktif, misalnya membangun infrastruktur. Kedua, pengelolaan fiskal dan
makroprudensial dipersepsikan buruk oleh investor asing. Imbasnya, akan
menurunkan peringkat kredit obligasi pemerintah. Karena itu, tugas berat
pertama presiden terpilih menghentikan "kegilaan" ini dengan
menaikkan harga BBM.
Beranikah dia
melakukannya, dan kapan waktu yang tepat? Mungkin agak sulit melakukannya pada
tahun ini. Biarkan 2014 berakhir dengan inflasi rendah, 5-6 persen. Kenaikan
harga BBM bisa dilakukan pada saat bulan-bulan yang inflasinya rendah, yakni
Maret-April 2015, agar dampak negatif inflasinya bisa diminimalkan. Harga BBM
bersubsidi bisa dinaikkan dari Rp 6.500 ke Rp 8.000-Rp 8.500 per liter, untuk
secara bertahap mendekati harga keekonomian Rp 11.000 per liter.
Namun,
menaikkan harga BBM saja sesungguhnya belum menuntaskan masalah. Masih ada
problem ketidakadilan karena salah sasaran (misallocation of resources) dalam
distribusi BBM bersubsidi. Cara yang cukup radikal adalah melarang para pemilik
mobil pribadi mengisi tangkinya dengan BBM bersubsidi. Hanya sepeda motor dan
angkutan umum yang diizinkan menggunakan BBM bersubsidi. Kebijakan ini akan
mendorong masyarakat memilih kendaraan hemat energi.
Kedua,
akselerasi pembangunan infrastruktur. Joko Widodo sebagai presiden terpilih
beruntung punya pengalaman dalam menangani isu ini. Sebagai Gubernur DKI,
dialah orang yang berhasil memulai proyek mass rapid transit, yang selama ini
mengalami kebekuan dalam beberapa periode gubernur sebelumnya. Sayang dia belum
sempat berhasil mengeksekusi proyek monorel yang kini masih berlanjut
pertikaiannya. Selanjutnya, sesuai visinya tentang negara maritim, dia harus
membangun lebih banyak pelabuhan laut. Di sepanjang pantai utara Jawa, perlu
ada sebuah pelabuhan di setiap 100 kilometer. Jadi, paling tidak harus ada
tujuh pelabuhan terbentang antara Jakarta dan Surabaya, yang panjangnya 727
kilometer.
Ide Jokowi
tentang perlunya kapal-kapal besar untuk menurunkan biaya logistik sangat
menarik. Biaya kontainer rute Jakarta-Papua lebih mahal daripada Jakarta-Los
Angeles karena skala ekonomis (economies of scale). Kapal rute Jakarta-LA
menggunakan kapal besar, sedangkan Jakarta-Papua kapalnya kecil. Penggunaan
kapal besar jauh lebih efisien. Masalahnya, bagaimana membuat rute
Jakarta-Papua lebih efisien dengan kapal besar? Investasi besar dan pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi (sehingga permintaan naik) akan menjadi kuncinya.
Pelabuhan
udara juga harus terus didorong. Pada era Yudhoyono telah dibangun dan
direnovasi Bandar Udara Kuala Namu, Hasanuddin, Juanda, dan Ngurah Rai. Ini pun
masih belum cukup. Pada era pemerintahan baru nanti harus lebih banyak lagi
bandara berstandar internasional dibangun, apalagi kita berupaya menarik lebih
banyak turis asing, yang kini baru 8 juta orang. Angka ini kalah jauh
dibandingkan dengan Malaysia (2013) yang bisa menarik 25,7 juta orang dan
menghasilkan devisa 21 miliar dollar AS!
Ketiga, sudah
banyak literatur yang menyebutkan daya saing Indonesia harus ditingkatkan untuk
menghadapi kompetisi komunitas ASEAN sejak 1 Januari 2016. Selain
infrastruktur, titik kritisnya terletak pada kualitas sumber daya manusia. Di
ASEAN, ternyata Indonesia hanya nomor tiga sebagai negara pengirim anak-anak
muda bersekolah di luar negeri (international student mobility).
Negara paling
agresif Malaysia (54.000) dan Vietnam (48.000). Selanjutnya, Indonesia
(34.000), Thailand (26.000), dan Singapura (20.000). Dengan catatan, penduduk
Indonesia 250 juta, Vietnam (92 juta), Thailand (70 juta), Malaysia (30 juta),
dan Singapura (6 juta). Jokowi harus mengulang kembali agresivitas mantan
Presiden serta Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie yang dulu banyak mengirim
mahasiswa merebut teknologi dari Amerika Serikat dan Eropa.
Keempat,
sesuai janjinya, Jokowi sebagai presiden terpilih juga harus bisa mencetak
minimal sejuta lahan pertanian tanaman pangan (padi). Proyek ini dulu pernah
dilakukan Soeharto, tetapi kurang berhasil. Swasembada pangan —sebenarnya juga
banyak komoditas lain— hanya bisa dilakukan melalui ekstensifikasi atau
penambahan lahan. Program transmigrasi masih relevan dilanjutkan dalam rangka
mendorong petani mengerjakan luas lahan yang menjamin tercapainya skala
ekonomis, yakni batas luas minimum yang bisa menyebabkan petani berproduksi
efisien, misalnya 2 hektar per petani.
Kelima,
pengendalian penduduk. Sesudah era reformasi 1998, Indonesia cenderung lengah
menangani isu ini. Bertambahnya penduduk memang bisa mendatangkan manfaat
berupa "bonus demografi". Namun, itu bisa berbalik menjadi beban jika
kita tidak bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Syarat untuk itu adalah
pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen, sesuatu yang tidak pernah kita rasakan
sejak krisis 1998. Tidak ada kompromi lagi, pertumbuhan penduduk maksimal harus
di bawah 1 persen per tahun.
Konsolidasi
bank
Keenam,
konsolidasi bank di sektor finansial adalah hal yang gagal dilakukan pemerintah
sebelumnya. Jumlah bank di Indonesia saat ini 119 bank lokal untuk melayani 250
juta penduduk. Di Malaysia, hanya ada delapan bank lokal untuk melayani 30 juta
penduduk. Itu pun Malaysia masih terus berupaya mengonsolidasikan bank-banknya.
Di Singapura, cuma ada tiga bank lokal raksasa: DBS, OCBS, dan UOB. Dalam
industri perbankan, berlaku hukum size does matter. Artinya, semakin besar
ukuran suatu bank, akan semakin efisien. Karena itulah, di banyak negara sudah
timbul tren konsolidasi antarbank. Indonesia pernah sukses menggabung empat
bank BUMN (BDN, Bapindo, BBD, dan Bank Exim) menjadi Bank Mandiri.
Dalam jangka
pendek dan menengah ke depan, pemerintah harus berani mengonsolidasikan empat
bank BUMN yang sekarang ada (Mandiri, BRI, BNI, dan BTN) menjadi sebuah bank
raksasa yang kompetitif. Integrasi sektor finansial di ASEAN akan terjadi pada
2020, ketika kita tidak mungkin menghindarinya. Konsolidasi bank memang berisiko
resistensi. Kombinasi antara skema pensiun dini yang menarik dan tidak
melakukan pemutusan hubungan kerja adalah hal-hal yang bisa mengurangi gejolak.
Pengalaman merger Bank Mandiri telah mengajarkannya.
Ketujuh,
Indonesia adalah negara yang tertinggal dalam hal pengumpulan pajak. Dengan tax
ratio (rasio penerimaan pajak terhadap PDB) hanya 12 persen, kita tercecer
dibandingkan dengan Filipina (14,4 persen), Vietnam dan India (15 persen),
Malaysia (15,5 persen), Tiongkok dan Thailand (17 persen). Secara tipikal, di
negara-negara yang kian miskin, tax ratio-nya rendah, misalnya Pakistan (10
persen) dan Banglades (8,5 persen). Indonesia harus mengejar penerimaan pajak
untuk mengurangi defisit APBN, alias mengurangi akselerasi utang pemerintah.
Jumlah karyawan Ditjen Pajak, yang kini 32.000 orang, harus banyak ditambah
untuk memperkecil ruang gerak para penghindar dan penggelap pajak. Tentu masih
banyak lagi agenda bagi pemerintahan baru, tetapi tujuh isu strategis itu
setidaknya bisa membantu memetakan masalah.
Sumber: Kompas, 7 Agustus 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!