Kasus penyerangan
warga Desa Pantai Harapan terhadap warga Desa Wulandoni yang terjadi Ahad 17
Agustus 2014 hingga menewaskan Krinus Lanang Manuk dan sejumlah korban luka
menunjukkan spirit perjuangan Lembata menjadi kabupaten otonomi masih jauh dari
harapan.
Perjuangan mengegolkan
Lembata menjadi sebuah daerah otonom, kini justru jatuh ke tangan pemimpin yang
tidak becus mengurus masyarakat dan daerah menuju kesejahteraan lahir-batin.
Insiden Wulandoni
mengajak warga asal Lembata di perantauan terutama di wilayah Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) serta warga Lembata di kampung
halaman melihat Lembata secara keseluruhan dan spirit perjuangan menuju daerah
otonom sejak 7 Maret 1954.
“Kita dengar bupati
sebentar saja di Lembata, dan lebih banyak di luar. Singgah sebentar di Lewoleba,
tak lama keluar daerah lagi. Ingat, jabatan bupati bukan untuk main-main. Kalau
begini terus kapan Lembata maju?”
Sesepuh Lembata
Brigadir Jenderal Pol. Purn. Anton Enga Tifaona menyampaikan hal ini saat
tampil dalam diskusi bertajuk Membaca Tragedi Wulandoni untuk Lembata di Masa
Depan di aula SMA Marsudirini, Matraman, Jakarta, Minggu (7/9).
Diskusi yang diselenggarakan Forum Pemuda Peduli Lembata (FPPL) menyikapi insiden Wulandoni yang bermula dari ketidakpekaan Pemerintah Kabupaten Lembata atas pembangunan talud di wilayah tapal batas yang masih jadi sengketa kedua desa.
Diskusi yang diselenggarakan Forum Pemuda Peduli Lembata (FPPL) menyikapi insiden Wulandoni yang bermula dari ketidakpekaan Pemerintah Kabupaten Lembata atas pembangunan talud di wilayah tapal batas yang masih jadi sengketa kedua desa.
Selain Tifaona,
diskusi ini juga menghadirkan tiga pembicara asal Lembata yaitu Thomas B. Ataladjar,
wartawan yang juga penulis buku-buku sejarah Provinsi DKI Jakarta dan Banten,
Kolumnis dan Staf Pengajar Universitas Multimedia Nasional Robert Bala Tolok,
dan Advokat dan Praktisi Hukum Nasional Petrus Bala Pattyona. Diskusi dipandu
Moderator FPPL yang juga Direktur Justice Peace and Integration of Creation
(JPIC) OFM Asian and Oceania Mikael
Peruhe Unarajan OFM.
Ratusan peserta
hadir tak hanya dari Lembata tetapi juga dari Kabupaten Flores Timur dan
kabupaten-kabupaten lainnya di daratan Pulau Flores seperti Sikka, Ende hingga
Manggarai dan Manggarai Barat. Mereka datang dari latar belakang beragam
seperti pengacara/advokat, aktivis LSM, politisi, guru, wartawan, dan
lain-lain.
Mantan Kepala
Kepolisian Daerah Sulawesi Utara dan Maluku ini lebih jauh mengingatkan,
perjuangan panjang Lembata menjadi sebuah kabupaten baru sejak tahun 1954 bukan
untuk main-main. Spirit perjuangan Lembata menjadi kabupaten baru untuk membawa
masyarakat dan daerah keluar dari belenggu kemiskinan dan ketertinggalan.
“Masyarakat harus
sadar. Kalau pemimpin model ini, ya, ganti saja. Kenapa mesti pusing-pusing.
Ingat, perjuangan panjang Lembata menjadi sebuah daerah otonom bukan untuk
main-main. Begitu pula jabatan yang diemban mesti didedikasikan untuk rakyat,
bukan untuk main-main,” lanjut Tifaona, jenderal purnawirawan polisi kelahiran
Desa Imulolong, Kecamatan Wulandoni, Lembata.
Pertentangan Elite
Tifaona mengatakan,
kasus Wulandoni bukan terjadi begitu saja. Insiden itu terjadi karena
pertentangan persepsi antara elite tentang Lembata menjadi sebuah daerah otonom
belum selesai. “Penyatuan persepsi belum ada. Omong kosong kalau dibilang elite
sudah menyatu,” kata Tifaona.
Pertentangan-pertentangan
antara elite itu berkelanjutan yang akhirnya memunculkan kasus seperti yang
terjadi di Wulandoni. Tifaona mengajak warga asal Lembata di Jabodetabek ikut
memberi masukan sebagai sumbangsih positif agar Lembata segera keluar dari
kemelut berkepanjangan.
“Masyarakat sudah
tahu kalau ada pertentangan antara bupati dengan wakil bupati. Juga
pertentangan antara bupati dengan DPRD seperti dalam kasus pemberhentian atau
pemakzulan bupati ke Mahkamah Agung. Ini bukan masalah kecil, melainkan masalah
besar,” kata Tifaona.
Ia meminta
masyarakat dan elemen-elemen lainnya terus mengingatkan elite Lembata agar
berhenti berkelahi satu sama lain. Mereka harus serius mengurus dan
memperhatikan masyarakat sesuai spirit perjuangan Lembata menjadi sebuah daerah
otonom.
“Lembata menjadi
sebuah daerah otonom bukan tujuan, tetapi alat membawa masyarakat keluar dari
belenggu kemiskinan dan ketertinggalan,” lanjutnya.
Ia mengingatkan
sekali lagi bahwa jabatan bupati bukan untuk main-main. “Tapi, kalau ada yang
melapor bupati atas pernyataan ini, silahkan lapor saja. Saya tidak akan pernah
takut. Perjuangan Lembata menjadi daerah otonom bukan main-main. Setelah
otonomi diraih orang ramai-ramai berebut kekuasaan, berebut menjadi bupati
tetapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk masyarakat dan daerah. Jangan ada uang
baru berjuang untuk rakyat,” tegasnya.
Diskriminasi
Advokat dan
Praktisi Hukum Bala Pattyona menilai, Kepolisian Resort Lembata, Nusa Tenggara
Timur, terkesan diskriminatif dalam menangani sejumlah kasus di daerah itu.
Kasus yang paling nyata menimpa tiga anggota DPRD Yakobus Liwa, Fransiskus
Limawai (Fery) Koban, dan Bediona Philipus. Kobus dituding mencemarkan nama
baik Bupati Eliaser Yentji Sunur, sedangkan Fery dan Bediona dilaporkan
memalsukan dokumen usulan pemberhentian atau pemakzulan bupati.
“Polisi bekerja
tergantung pada siapa yang melapor dan kasus siapa. Ini fakta, namun jika ada
pihak lain memiliki data berbeda silahkan. Kita boleh berdebat,” ujar Bala
Pattyona, advokat kelahiran kampung Kluang, Desa Belabaja (Boto).
Menurutnya, kalau
ada yang melapor tentang pencemaran nama baik dan yang dicemarkan itu pejabat
maka seketika itu pula kasusnya bergulir cepat. Tetapi kalau kasus proyek di
Waiara, Desa Muruona yang mengakibatkan orang meninggal, kasus itu tidak
diapa-apakan.
“Ini adalah bentuk
diskriminasi hukum,” lanjut Bala Pattyona. Dalam sejumlah kasus, ujarnya,
polisi hanya bekerja sebagai alat. Bila laporan pencemaran atau penghinaan kepada
pejabat maka seketika itu diproses polisi.
Begitu pula, kalau
ada anggota DPRD berbicara berdasarkan kekebalan, imunitas UU, seorang ajudan
bupati lapor ke polisi dan kasusnya langsung diproses. Begitu pula kasus yang
menimpa Fery dan Bediona.
“Saya juga bersurat
kepada Kapolda NTT dan memberitahukan bahwa kalau ada anggota DPRD yang
bersuara keras, itu karena perintah UU tentang MD-3. Kalau dalam laporan
tentang pemalsuan dokumen pemakzulan, sampai saat itu belum ada bukti jelas,”
jelas Bala Pattyona.
Ketua Forum Pemuda
Peduli Lembata Bernard Limalaen Krova mengatakan, ide diskusi bermula dari
pertemuan terbatas sejumlah anak muda Lembata Jakarta mencermati insiden yang
terjadi antara warga Desa Wulandoni dan Pantai Harapan (Luki) di Desa Wulandoni,
Kecamatan Wulandoni dan cara penyelesaian yang dijembatani Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Lembata serta mengikuti kondisi lapangan saat ini.
”Tujuan pertemuan
ini adalah bersama-sama anak tanah Lembata di Jakarta berupaya mendiskusikan
format penyelesaian yang komprehensif untuk kemudian direkomendasikan kepada
Pemerintah Kabupaten Lembata. Format penyelesaian ini diharapkan akan menjadi
role model dalam menangani dan menyelesaikan konflik serupa di masa depan,”
ujar Nar Krova, sapaan akrab Bernard Limalaen Krova.
Sumber: Flores Pos, 10
September 2014
Ket foto: Moderator Pastor Mike Peruhe Unarajan OFM (paling kiri) bersama para pembicara Robert Bala Tolok, Thomas B Atalajar, Anton Enga Tifaona, dan Petrus Bala Pattyona (gbr 1).
Ketua Forum Pemuda Peduli Lembata Bernard Limalaen Krova (gbr 2)
Ket foto: Moderator Pastor Mike Peruhe Unarajan OFM (paling kiri) bersama para pembicara Robert Bala Tolok, Thomas B Atalajar, Anton Enga Tifaona, dan Petrus Bala Pattyona (gbr 1).
Ketua Forum Pemuda Peduli Lembata Bernard Limalaen Krova (gbr 2)
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!