Headlines News :
Home » » Anton Tifaona: Jabatan Bupati Bukan untuk Main-Main

Anton Tifaona: Jabatan Bupati Bukan untuk Main-Main

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, September 11, 2014 | 2:03 PM

Kasus penyerangan warga Desa Pantai Harapan terhadap warga Desa Wulandoni yang terjadi Ahad 17 Agustus 2014 hingga menewaskan Krinus Lanang Manuk dan sejumlah korban luka menunjukkan spirit perjuangan Lembata menjadi kabupaten otonomi masih jauh dari harapan.

Perjuangan menge­golkan Lembata menjadi sebuah daerah otonom, kini justru jatuh ke tangan pemimpin yang tidak becus mengurus masyarakat dan daerah menuju kesejahteraan lahir-batin.

Insiden Wu­landoni mengajak warga asal Lembata di perantauan ter­utama di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Beka­si (Jabodetabek) serta warga Lembata di kampung halaman melihat Lembata secara keseluruhan dan spirit perjuangan menuju daerah oto­nom sejak 7 Maret 1954.

“Kita dengar bupati sebentar saja di Lembata, dan lebih banyak di luar. Singgah sebentar di Lewoleba, tak lama keluar daerah lagi. Ingat, jabatan bupati bukan untuk main-main. Kalau begini terus kapan Lembata maju?”

Sesepuh Lembata Brigadir Jenderal Pol. Purn. Anton Enga Tifaona menyampaikan hal ini saat tampil dalam diskusi bertajuk Membaca Tragedi Wulandoni untuk Lembata di Masa Depan di aula SMA Marsudirini, Matraman, Jakarta, Minggu (7/9). 

Diskusi yang diselenggarakan Forum Pemuda Peduli Lembata (FPPL) menyikapi insiden Wulandoni yang bermula dari ketidakpekaan Pemerintah Kabu­paten Lembata atas pembangunan talud di wilayah tapal batas yang masih jadi sengketa kedua desa.

Selain Tifaona, diskusi ini juga menghadirkan tiga pembicara asal Lembata yaitu Thomas B. Ataladjar, wartawan yang juga penulis buku-buku sejarah Provinsi DKI Jakarta dan Banten, Kolumnis dan Staf Pengajar Universitas Multimedia Nasional Robert Bala Tolok, dan Advokat dan Praktisi Hukum Nasional Petrus Bala Pattyona. Diskusi dipandu Moderator FPPL yang juga Direktur Justice Peace and Integration of Creation (JPIC) OFM Asian and Oceania  Mikael Peruhe Unarajan OFM.

Ratusan peserta hadir tak hanya dari Lembata tetapi juga dari Kabupaten Flores Timur dan kabupaten-kabupaten lainnya di daratan Pulau Flores seperti Sikka, Ende hingga Manggarai dan Manggarai Barat. Mereka datang dari latar belakang beragam se­perti pengacara/advokat, aktivis LSM, politisi, guru, wartawan, dan lain-lain.

Mantan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Utara dan Malu­ku ini lebih jauh mengingatkan, perjuangan panjang Lembata menjadi sebuah kabupaten baru sejak tahun 1954 bukan untuk main-main. Spirit perjuangan Lembata menjadi kabupaten baru untuk membawa masyarakat dan daerah keluar dari belenggu kemis­kinan dan ketertinggalan.

“Masyarakat harus sadar. Ka­lau pemimpin model ini, ya, ganti saja. Kenapa mesti pusing-pusing. Ingat, perjuangan panjang Lembata menjadi sebuah daerah otonom bukan untuk main-main. Begitu pula jabatan yang diemban mesti didedikasikan untuk rakyat, bukan untuk main-main,” lanjut Tifaona, jenderal purnawirawan polisi kelahiran Desa Imulolong, Kecamatan Wulandoni, Lembata.

Pertentangan Elite

Tifaona mengatakan, kasus Wulandoni bukan terjadi begitu saja. Insiden itu terjadi karena pertentangan persepsi antara elite tentang Lembata menjadi sebuah daerah otonom belum selesai. “Penyatuan persepsi belum ada. Omong kosong kalau dibilang elite sudah menyatu,” kata Tifaona.

Pertentangan-pertentangan an­tara elite itu berkelanjutan yang akhir­nya memunculkan kasus seperti yang terjadi di Wulandoni. Tifaona mengajak warga asal Lembata di Jabodetabek ikut memberi masukan sebagai sumbangsih positif agar Lembata segera keluar dari kemelut berkepanjangan.

“Masyarakat sudah tahu kalau ada pertentangan antara bupati dengan wakil bupati. Juga pertentangan antara bupati dengan DPRD seperti dalam kasus pemberhentian atau pemakzulan bupati ke Mahkamah Agung. Ini bukan masalah kecil, melainkan masalah besar,” kata Tifaona.

Ia meminta masyarakat dan elemen-elemen lainnya terus mengingatkan elite Lembata agar berhenti berkelahi satu sama lain. Mereka harus serius mengurus dan memperhatikan masyarakat sesuai spirit perjuangan Lembata menjadi sebuah daerah otonom.

“Lembata menjadi sebuah daerah otonom bukan tujuan, tetapi alat membawa masyarakat keluar dari belenggu kemiskinan dan keter­tinggalan,” lanjutnya.

Ia mengingatkan sekali lagi bahwa jabatan bupati bukan untuk main-main. “Tapi, kalau ada yang melapor bupati atas pernyataan ini, silahkan lapor saja. Saya tidak akan pernah takut. Perjuangan Lembata menjadi daerah otonom bukan main-main. Setelah otonomi diraih orang ramai-ramai berebut kekuasaan, berebut menjadi bu­pati tetapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk masyarakat dan daerah. Jangan ada uang baru berjuang untuk rakyat,” tegasnya.

Diskriminasi

Advokat dan Praktisi Hukum Bala Pattyona menilai, Kepolisian Resort Lembata, Nusa Tenggara Timur, terkesan diskriminatif dalam menangani sejumlah kasus di daerah itu. Kasus yang paling nyata menimpa tiga anggota DPRD Yakobus Liwa, Fransiskus Lima­wai (Fery) Koban, dan Bediona Philipus. Kobus dituding mence­markan nama baik Bupati Eliaser Yentji Sunur, sedangkan Fery dan Bediona dilaporkan memalsukan dokumen usulan pemberhentian atau pemakzulan bupati.

“Polisi bekerja tergantung pada siapa yang melapor dan kasus siapa. Ini fakta, namun jika ada pihak lain memiliki data berbeda silahkan. Kita boleh berdebat,” ujar Bala Pattyona, advokat kelahiran kam­pung Kluang, Desa Belabaja (Boto).

Menurutnya, kalau ada yang melapor tentang pencemaran na­ma baik dan yang dicemarkan itu pejabat maka seketika itu pula kasusnya bergulir cepat. Tetapi kalau kasus proyek di Waiara, Desa Muruona yang mengakibatkan orang meninggal, kasus itu tidak diapa-apakan.

“Ini adalah bentuk diskriminasi hukum,” lanjut Bala Pattyona. Dalam sejum­lah kasus, ujarnya, polisi hanya bekerja sebagai alat. Bila laporan pencemaran atau penghinaan kepada pejabat maka seketika itu diproses polisi.

Begitu pula, kalau ada anggota DPRD berbicara ber­dasarkan kekebalan, imunitas UU, seorang ajudan bupati lapor ke polisi dan kasusnya langsung diproses. Begitu pula kasus yang menimpa Fery dan Bediona.

“Saya juga bersurat kepada Kapolda NTT dan memberitahukan bahwa kalau ada anggota DPRD yang bersuara keras, itu karena perintah UU tentang MD-3. Kalau dalam laporan tentang pemalsuan dokumen pemak­zulan, sampai saat itu be­lum ada bukti jelas,” jelas Bala Pattyona.

Ketua Forum Pemuda Peduli Lembata Bernard Limalaen Krova mengatakan, ide diskusi bermula dari pertemuan terbatas sejumlah anak muda Lembata Jakarta mencermati insiden yang terjadi antara warga Desa Wulandoni dan Pantai Harapan (Luki) di Desa Wulandoni, Kecamatan Wulandoni dan cara penyelesaian yang di­jembatani Pemerintah Kabupa­ten (Pemkab) Lembata serta meng­ikuti kondisi lapangan saat ini.

”Tujuan pertemuan ini adalah bersama-sama anak tanah Lembata di Jakarta berupaya mendiskusikan format penyelesaian yang komprehensif untuk kemudian direkomendasikan kepada Pe­merintah Kabupaten Lembata. Format penyelesaian ini diharapkan akan menjadi role model dalam menangani dan menyelesaikan konflik serupa di masa depan,” ujar Nar Krova, sapaan akrab Bernard Limalaen Krova. 
Sumber: Flores Pos, 10 September 2014
Ket foto: Moderator Pastor Mike Peruhe Unarajan OFM (paling kiri) bersama para pembicara Robert Bala Tolok, Thomas B Atalajar, Anton Enga Tifaona, dan Petrus Bala Pattyona (gbr 1).
Ketua Forum Pemuda Peduli Lembata Bernard Limalaen Krova (gbr 2)
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger