Oleh Yunarto
Wijaya
Direktur Riset Charta Politik
ARGUMENTASI yang mendukung pelaksanaan
pemilihan kepala daerah melalui DPRD (pilkada tidak langsung) terbantahkan. Jika
dirangkum, pendapat akademisi dan pegiat demokrasi pada intinya menyatakan,
pertama, praktik politik uang masih akan berlangsung; penerimanya saja yang
berbeda. Kedua, kekhawatiran meluasnya konflik sosial tidak didukung
fakta-fakta lapangan yang kuat, hanya sebagian kecil pilkada yang berujung amuk
massa; di beberapa pilkada memang ada terasa ketegangan antarkelompok
masyarakat, tetapi langsung tak berbekas begitu pilkada usai. Ketiga, kerisauan
mengenai biaya politik bisa disiasati dengan berbagai aturan, salah satunya
mengenai pembatasan dana kampanye.
Sebaliknya, argumentasi yang
mendukung keberlanjutan gagasan pilkada langsung tidak tersanggah dengan baik.
Yang paling pokok, tentu saja, apa dasar filosofis yang mengesahkan partisipasi
rakyat harus dikebiri, terutama dikaitkan dengan proses pendewasaan demokrasi
di Tanah Air. Terlebih temuan sejumlah lembaga survei telah menegaskan sikap
rakyat yang lebih mendukung pelaksanaan pilkada langsung. Jika para elite
politik mendaku sebagai penyuara suara rakyat, bagaimana mereka bisa
menjelaskan tindakan yang justru mengabaikan kehendak rakyat?
Manfaat pilkada langsung
Terlepas dari berbagai
kekurangannya, pilkada langsung telah menghadirkan sosok-sosok pemimpin baru.
Figur-figur seperti Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Nurdin
Abdullah, dan belakangan juga Bima Arya —untuk menyebut beberapa nama— mampu
membangkitkan harapan rakyat dan memberikan warna baru dalam proses pembangunan
di wilayahnya masing-masing. Sosok-sosok ini nyaris mustahil tampil menjadi
pemimpin publik jika pilkada dilakukan secara tak langsung alias melalui DPRD.
Di beberapa daerah, pilkada langsung
memang jadi pintu masuk berkecambahnya politik dinasti. Fenomena ini untuk
sebagian kasus bisa dipahami ketika mempertimbangkan faktor figur dan konteks
sosiologis masyarakatnya. Namun, secara umum, politik dinasti menerbitkan
kekhawatiran, terutama mengenai kemajuan pembangunan di daerah tersebut. Akan
tetapi, melalui pilkada tidak langsung yang bakal terjadi akan jauh lebih
destruktif: politik kronisme yang bersinergi dengan kebutuhan para cukong.
Pilkada tak langsung memudahkan dan meminimalkan biaya cukong untuk memenangkan
calon-calon kepala daerah yang bersedia menghamba pada kepentingan bisnisnya.
Proses belajar berdemokrasi
langsung selama sembilan tahun terakhir telah makin mendewasakan proses
berdemokrasi. Hiruk-pikuk pilkada tak lagi terlalu memengaruhi aktivitas rutin
ekonomi, budaya, dan sosial masyarakat. Sebagian besar masyarakat telah
menganggap pilkada sebagai aktivitas biasa. Ini harus dibaca sebagai semakin
memudarnya mitos pemilu (baca: pilkada) sebagai kejadian luar biasa dan memerlukan
kewaspadaan serta atensi yang tinggi dengan segala bumbu proses pengamanannya,
sebagaimana dikonstruksi Orde Baru.
Sebagai pemilih, rakyat telah
kian merasakan manfaat praktis pilkada. Sebagaimana disebut Powell (2000),
pemilih melakukan evaluasi atas kinerja petahana. Ketakpuasan (mungkin juga
ketaksukaan) terhadap petahana ditunjukkan dengan cara memilih penantang meski
memahami penantang dimaksud belum teruji kompetensinya sesuai tantangan
pembangunan di daerahnya. Kemenangan Jokowi dalam Pilgub Jakarta 2012 sebagian
bisa dijelaskan menurut pendekatan ini.
Namun, dalam banyak pilkada
lain, rakyat menunjukkan fenomena "choosing a good type" (Fearon,
1999). Rakyat melakukan interaksi antara menyeleksi kinerja dan juga
mempertimbangkan integritas dan lebih selaras dengan preferensi publik. Dengan
kata lain, sebagai pemilih, rakyat menyadari sulitnya menemukan
"superhero" atau sang "satrio piningit". Fenomena ini
sebagian bisa menjelaskan kemenangan petahana yang kinerjanya sempat diragukan,
sebagaimana dalam kasus kemenangan Aher-Deddy di Pilgub Jabar 2013 misalnya.
Bangkitkan kesadaran elite?
Pilkada langsung juga
memberikan peluang bagi partai politik untuk mengasah keterampilan dan
melakukan konsolidasi internal hingga tingkat akar rumput. Momen pilkada jadi
momen antara di antara dua pemilu legislatif (dan presiden). Hanya saja
sebagian besar parpol masih memanfaatkannya secara formal-legalistik melalui
proses musyawarah/rapat kerja yang melibatkan pengurus tingkat bawah dalam
menentukan calon kepala daerah yang mau diusung. Sejauh pengamatan, baru
PKS-lah yang memanfaatkan momen pemilu (pilkada) untuk memperkuat jejaring
kerja kadernya ke konstituen.
Dengan berbagai penjelasan di
atas, cukup beralasan jika perubahan
sikap sejumlah parpol yang tiba-tiba kembali mengusung gagasan pilkada tak
langsung menimbulkan spekulasi. Media massa mengasosiasikan parpol-parpol
pengusung gagasan pilkada tak langsung ini dengan Koalisi Merah Putih. Karena itu, upaya mewujudkan pilkada tak
langsung pun dimaknai sebagai salah satu "medan pertempuran" dalam
konteks melanjutkan kontestasi Pilpres 2014 secara permanen lima tahun ke
depan. Ini senapas dengan gagasan pembentukan pansus pilpres.
Terlepas dari spekulasi di
atas, adakah pendorong lain yang membuat elite-elite parpol dari Koalisi Merah
Putih merasa penting untuk mengembalikan pilkada secara tidak langsung, yang
notabene menjadi momen mementahkan proses pendewasaan berdemokrasi di Tanah
Air?
Meski tak terkatakan secara
eksplisit, ada kesan kuat pokok gagasan menolak pilkada langsung merupakan
upaya memelihara kesinambungan perkauman para elite lama. Elite lama dicirikan
dari sikap ketakpercayaan terhadap kompetensi rakyat. Ketidakpercayaan ini
bersumber dari pendapat bahwa rakyat adalah kumpulan orang yang tidak mengerti,
tidak memiliki pengetahuan, mudah dipengaruhi, dimanipulasi, mudah
dibujuk/disuap, tak punya visi, dan seterusnya. Intinya, rakyat seakan dianggap
sebagai kumpulan orang "bodoh" yang butuh arahan dan pencerahan dari
elite. Bagi mereka, rakyat adalah kumpulan domba yang perlu dituntun dan
bukannya yang memimpin. Cara berpikir ini sebangun dengan pernyataan Prabowo
yang sempat berkata, "singa tidak mungkin dipimpin oleh kambing".
Ketidakpercayaan ini juga
diimbuhi keengganan yang luar biasa karena pilkada langsung akan mengusik
hegemoni elite lama. Pilkada dan juga pilpres telah membuka pintu bagi hadirnya
orang-orang baru yang bukan berasal dari kalangan elite. Penolakan ini memang
tak terucap secara eksplisit. Namun, dalam perbincangan informal,
letupan-letupan pernyataan yang mewakili sikap ini mungkin sudah sering kita
dengar. Ungkapan, "Masak muka begitu jadi presiden" atau "Dia
itu siapa?" merepresentasikan sikap ini.
Logika parpol pengusung
Kesadaran elite yang terusik
membangkitkan harga diri dan memori masa lalu di mana "politik" sudah
semestinya menjadi urusan para elite. Kalah-menang dalam pertarungan politik
dianggap tak lebih sebagai pertandingan tenis. Sebab, pemenang atau yang kalah
berasal dari kaum yang sama dan karena itu diasumsikan semua urusan lainnya,
terutama bisnis, tetap bisa berjalan business as usual.
Dari enam parpol pendukung
kembali gagasan pilkada tidak langsung, tiga di antaranya bisa dipahami. Golkar dan PPP yang lama tumbuh di era Orde
Baru adalah turunan dari sistem yang memelihara hegemoni politik melalui MPR
(presiden) dan DPRD (kepala daerah). Gerindra, sebagaimana disebut Prabowo, tak
lain merupakan partai yang memang lahir dari rahim Golkar. Yang sulit dipahami
justru sikap PAN, Partai Demokrat, dan PKS.
PAN menahbiskan dirinya
sebagai partai reformis. Sebagai partai reformis, PAN ingin mengubah politik
jadi ruang terbuka dan demokratis sebagai antitesis demokrasi seolah-olah di
era Orde Baru. Kengototan mengusung gagasan pilkada tidak langsung jelas menimbulkan
pertanyaan. Jika dikaitkan dengan konteks Koalisi Merah Putih, jadi pertanyaan
besar apakah mungkin PAN memang hendak jadi pihak yang berperan dalam
memundurkan partisipasi politik rakyat atau mereka tengah tersandera perjanjian
dengan Prabowo?
Demokrat (dalam hal ini SBY)
sudah merasakan betul manfaat pemilu langsung. SBY mampu memenangi Pilpres 2004
setelah harus menerima kenyataan tersingkir dalam "kontestasi elite"
memperebutkan posisi wakil presiden ketika Megawati Soekarnoputri jadi presiden
menggantikan Gus Dur pada 2001. Bahwa
kemudian calon-calon Demokrat kerap gagal dalam pilkada dalam lima tahun
terakhir, mestinya justru jadi evaluasi internal. Terutama menyangkut
pilihan-pilihan kandidat yang mereka sorongkan dan bukannya justru mengebiri
partisipasi politik rakyat. Lagi pula, ini akan menjadi "tinta merah"
ketika publik mengenang SBY dalam lintasan sejarah republik ini.
PKS adalah partai yang
sebelumnya ikut mendukung pilkada langsung, tetapi akhirnya ikut mengubah
pilihan menjadi serupa dengan sikap Koalisi Merah Putih. Sebuah langkah
mengejutkan mengingat PKS, selain lahir sebagai partai Orde Reformasi, juga
partai yang dianggap berhasil membangun sistem saksi dalam pilkada langsung.
Orang lalu bisa bertanya, apakah ada kaitan antara dukungan terhadap sistem
pilkada zaman Orde Baru dan ide menjadikan Soeharto sebagai pahlawan?
Karena itu, pilihan Koalisi
Merah Putih yang bersikeras mengusung pilkada untuk dikembalikan ke DPRD dapat
dibaca sebagai bentuk perlawanan kaum elite. Itulah contoh momen perjuangan
untuk mengembalikan "daulat elite" dan sekaligus mengakhiri
"daulat rakyat". Jika pilkada bisa dikembalikan menjadi tidak
langsung, target selanjutnya bukan tak mungkin mengubah kembali pilpres menjadi
pemilihan di tingkat MPR.
Apakah Indonesia akan
mengalami kemunduran berdemokrasi secara sistematis? Terlalu dini menjawabnya.
Yang sudah pasti, publik harus diingatkan dan digugah kembali untuk menyatakan
sikapnya. Para elite politik memerlukan sebuah penolakan yang tegas. Ketika mereka
membaca rakyat mudah diakali, pilkada tak langsung akan menjadi kenyataan
politik Indonesia dalam tahun-tahun mendatang.
Sumber: Kompas, 11 September
2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!