Oleh Fidelis Regi Waton
Pamong Rohani KMKI Berlin;
Belajar Filsafat di
Humboldt-Universitaet zu Berlin, Jerman
MANUSIA adalah homo memorans (makhluk
nostalgis). Kemampuan bermemori diapresiasi sebagai zona kebebasan paripurna.
Revolusi logos
(rasio) membebaskan warga Yunani Kuno dari determinasi mitos dan dewata yang
berkulminasi pada tatanan masyarakat demokratis. Penduduk paguyuban polis
(negara kota) di Athena menikmati aroma liberal dan emansipatif. Namun
nostalgia akan legenda kepahlawanan dalam mitologi tidak muda dikikis, malah
mengancam eksistensi dan penetrasi demokrasi. Para warga yang setara diadu
dalam kompetisi di Agora (pasar) demi mendapatkan gelar “Aristoi” (yang
terbaik, unggul) lewat kecerdasan pemikiran, kefasihan retorika dan perbuatan
kebajikan (Arete). Aristoi didaulat sebagai pahlawan.
Kompetisi
luhur ini kelak membias dari koridor fair play. Pamor, prestise, image,
egomaniac dan popularitas mengikis prinsip kesetaraan. Aktivitas kaum Aristoi
hanya didominasi nafsu mengabadikan dan memprivatisasi etiket terbaik dan
terpandang. Kolaborasi menjadi pantauan lumrah. Lebih jauh mereka bahkan
meninggalkan aspek imanensi dan mengklaim kharakter mistis-transendensi dalam
diri (sakralisasi dan mistifikasi diri). Fakta ini kelak disemprot sebagai
manipulasi demokrasi dan revitalisasi Aristokrasi.
Spirit
demokrasi harus dikembalikan. Corak pahlawan sebagai yang utama, unggul dan
pemberani, privilese militer, panglima perang, tokoh sakti berotot baja dan
bertulang besi harus didekonstruksi. Ksatria berpedang di punggung kuda perkasa
dijadikan bahan lelucon oleh Miguel de Cervantes dalam novelnya Don Quixote.
Ditulari semangat Aufklaerung (Pencerahan), Johann Gottfried Herder tanpa
tedeng aling-aling memproklamasikan tamatnya zaman pahlawan.
Kini kita
berada dalam era pasca-heroik dengan rona demokrasi, egaliter dan emansipasi
sebagai piranti sekaligus parameter hidup bersama. Meskipun begitu kerinduan
akan heroisme belum memudar dan tidak bisa dihalau dari nubari. Inkubasi
Aristoi tetap mengintai.
Aroma
kepahlawanan memang masih mempesona, namun bingkai dan isinya telah berubah.
Gambaran heroisme postmodern tidak selamanya mengacu pada figur produk
pertempuran militer bersenjata di medan perang atau otoritas kedaulatan-karismatis
pemberi perintah dan penegak nilai.
Arogansi dan
kejayaaan pahlawan masa lampau lazimnya tidak steril dari kekerasan, kebencian,
korban dan pembunuhan, brutalitas dan sadistis. Fenomen ini menunjukkan
distorsi makna kepahlawanan. Doktrin kepahlawanan dalam artian klasik kini
dieliminasi.
Generasi muda
manakah yang masih mengidentifikasikan diri dengan Hektor dan Achilles dalam
hikayat Ilias karangan Homerus? Siapa yang masih fanatik mengidolakan Panglima
Polim, Pangeran Diponegoro, Cut Nya Dien, Sultan Hasanudin atau Pattimura dan
kawan-kawan dalam katalog pahlawan nasional Indonesia?
Tampuk dan
situs klasik pahlawan masa lampau telah disabotasi, dikudeta dan dianeksasi
oleh diva dan superstar dari jargon
musik, sinema dan sport. Model pahlawan dan idola postmodern lazimnya bercorak
romantis-momentan; bukannya monumental dan lestari. Fundamen superstar dan diva umumnya sangat keropos. Faktor
alamiah penambahan usia misalnya lantas dipandang sebagai momok dan harus
diberantas oleh ulah kosmetik atau proyek bedah plastik. Deretan kandidat
bintang baru merongrong dan mendepak yang sedang bertengger berdasarkan
semboyan „setiap orang bisa digantikan“.
Muatan
kepahlawanan mengalami transformasi dan bercirikan transparan,
demokratis-subjektivistis sekaligus res
publica (urusan umum) dan sangat kuat didongkrak falsafah kesamaan. Dalam
kancah egaliter, setiap orang berlomba memenuhi dahaga penghargaan dan meraih
predikat individu spesial. Status mainstream kehilangan magnet. Pekik „from
zero to hero“ membangkitkan kepercayaan diri, mendepak ketakutan dan menganulir
kompromistis. Aksi heroik bukan lagi fenomen langkah dan sporadis, melainkan
bermekaran dan lokasinya berekspansi.
Di Inggris
setiap tahun dianugerahkan "Pride of Britain Awards”, penghargaan untuk mereka
yang melakukan civil courage (keberanian sipil). Di Jerman dikenal lencana
“Helden des Alltags” (pahlawan sehari-hari). Apresiasi ini diberikan misalnya
kepada siswi yang menyelamatkan temannya yang tenggelam di danau, suami yang
bertahun-tahun setia merawat isterinya yang sakit dan lumpuh di rumah, pemuda
yang meluputkan seorang gila dari tabrakan mobil, pesepakbola yang melakukan
reanimasi (bantuan nafas) kepada lawannya yang collapse, karyawan yang
menghadang rekannya dari percobaan bunuh diri akibat stres dan mobbing di
lapangan kerja, dan sebagainya.
Heroisme
mengalami demokratisasi. Pahlawan masa kini adalah pahlawan sehari-hari,
pahlawan kemanusian, satu di antara kita.
Luigi Pirandello mengatakan: „Kini malah lebih gampang menjadi pahlawan,
ketimbang sebagai manusia yang berbudi-pekerti.“
Setiap orang
sanggup menjadi pahlawan, jika ia mau dan berani keluar dari mainstream.
Barangsiapa yang enggan berpaling dari mainstream dan mengurung diri dalam
kungkungan average (rata-rata), ia pada prinsipnya tidak mengejawantahkan
keunikan subjek.
David Bowie
mendendangkan “we can be Heroes just for one day“ (kita bisa menjadi pahlawan
hanya untuk sehari). Di dalam diri setiap kita terdapat potensi pahlawan.
Tepatlah aforisme bernas Friedrich Nietzsche lewat corong Zarathustra: “Wirft
den Helden in deiner Seele nicht weg! (Jangan menghilangkan pahlawan dalam
jiwamu!).
Sumber: Satu Harapan, 17 November 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!