Oleh James Luhulima
Wartawan Senior Kompas
MENJELANG akhir tahun 2014 ini,
Golongan Karya berada dalam kondisinya yang terburuk. Partai besar yang berusia
50 tahun ini terpecah menjadi dua. Ada dua kepengurusan yang masing-masing
mengklaim diri sebagai kepengurusan yang sah. Satu kepengurusan Aburizal
Bakrie, dan satu lagi kepengurusan Agung Laksono.
Kedua kepengurusan,
baik kubu Aburizal maupun kubu Agung, mendaftarkan kepengurusan masing-masing
ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pendaftaran kepengurusan baru
partai politik ke Kementerian Hukum dan HAM itu sesuai dengan Undang-Undang
tentang Partai Politik. Tampaknya, pemerintahan Presiden Joko Widodo memilih
untuk tidak akan campur tangan dan akan menunggu hingga Golkar menyelesaikan
persoalannya sendiri.
Awalnya, Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno sempat
melakukan blunder ketika melarang penyelenggaraan Musyawarah Nasional Golkar
kubu Aburizal di Bali. Namun, langkah itu dengan cepat dikoreksi sehingga Munas
Golkar dapat dilangsungkan di Bali. Sebaik apa pun alasan di balik pelarangan
itu, tetap saja dapat dianggap sebagai pemihakan terhadap kubu Agung.
Tantangan Golkar ke
depan adalah secara cepat mengakhiri dualisme itu. Jika tidak, yang rugi Golkar
sendiri karena tidak dapat mengajukan calon kepala daerah dalam pemilihan
kepala daerah (pilkada) serentak yang digelar tahun 2015. Selain itu, dualisme
kepengurusan juga menyulitkan Golkar mengendalikan 91 anggota DPR asal Golkar
di DPR. Itu sebabnya, tidak ada pilihan lain bagi elite Golkar untuk sesegera
mungkin berdamai dan menyelesaikan persoalan di antara mereka.
Sesungguhnya,
kemungkinan terjadinya perpecahan di antara elite Golkar sudah diramalkan
sebelumnya, terutama setelah Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal memutuskan
untuk bergabung dengan Koalisi Merah Putih, yang beroposisi melawan
pemerintahan Jokowi. Keputusan Aburizal itu meresahkan sebagian elite partai
berlambang pohon beringin itu. Oleh karena, sejak awal Golkar selalu melekat
dengan kekuasaan. Golkar tidak pernah beroposisi.
Oleh karena
Aburizal berkeras pada putusannya, mulai muncul gerakan untuk menyingkirkan
dirinya. Apalagi, Aburizal dianggap gagal memanfaatkan posisi nomor dua yang
diperoleh dalam Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2014 untuk mencalonkan
dirinya sebagai presiden. Bukan itu saja, ia bahkan mendukung Prabowo Subianto,
calon presiden dari Partai Gerindra, yang menempati posisi nomor tiga dalam
pileg.
Itu sebabnya, Munas
Golkar kubu Aburizal di Bali ditandingi dengan Munas Golkar kubu Agung di
Ancol. Resmilah Golkar terpecah dua.
Jalan terbaik untuk
mengatasi dualisme kepengurusan Golkar itu adalah kompromi dan islah.
Tampaknya, kubu Aburizal Bakrie menyadari hal itu. Dalam kaitan itulah, ia
mengutus Akbar Tandjung sebagai mediator untuk mengupayakan perdamaian di
antara kedua kubu.
Partai terkuat
Kelahiran Partai
Golkar diawali pada tahun 1964 di masa pemerintahan Presiden Soekarno. Dengan
dilatarbelakangi keinginan menghadapi sepak terjang dari Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan organisasi massanya, pada 20 Oktober 1964 beberapa perwira
menengah Angkatan Darat menghimpun organisasi-organisasi pemuda, wanita,
sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya
(Sekber Golkar).
Gagalnya Gerakan 30
September 1965 yang disebutkan didalangi PKI membuat kedudukan PKI melemah.
Semakin banyak golongan fungsional yang bergabung dalam Sekber Golkar.
Organisasi-organisasi yang terhimpun dalam Sekber Golkar kemudian dikelompokkan
berdasarkan kekaryaannya dalam tujuh Kelompok Induk Organisasi (Kino), yakni
Koperasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), Sentral Organisasi Karyawan Swadiri
Indonesia (SOKSI), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Organisasi
Profesi, Ormas Pertahanan Keamanan (Hankam), Gerakan Karya Rakyat Indonesia
(Gakari), dan Gerakan Pembangunan untuk menghadapi Pemilu 1971.
Ketujuh Kino itu, 4
Februari 1970, mengeluarkan keputusan untuk menjadi peserta pemilu dengan nama
Golongan Karya (Golkar) dan dengan gambar pohon beringin sebagai lambang. Dan,
ketika pemilihan umum dilakukan pada tahun 1971, Golkar meraih suara 62,79 persen
dari total perolehan suara. Terlepas dari cara mencapainya, Golkar terus
memimpin dalam pemilu-pemilu selanjutnya, yakni tahun 1977, 1982, 1987, 1992,
dan 1997.
Selama 31 tahun
kekuasaan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto (1967-1998), sebagian besar
jabatan struktur di eksekutif, legislatif, dan yudikatif dipegang militer dan
kader Golkar. Bisa dikatakan Golkar memiliki tiga jalur pengaturan informal,
yakni Jalur A untuk militer, Jalur B untuk birokrasi, dan Jalur G untuk
lingkungan sipil Golkar di luar birokrasi.
Konstelasi itu
berubah total ketika Orde Baru tumbang dengan mundurnya Soeharto dari
jabatannya, atas desakan para mahasiswa, 21 Mei 1998. Uniknya, dalam Pemilu
1999, Golkar, yang namanya berubah menjadi Partai Golkar, sanggup meraih posisi
urutan kedua di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Namun,
Megawati Soekarnoputri yang seharusnya menjadi presiden ditelikung Poros Tengah
di MPR sehingga jabatan presiden dimenangi Abdurrahman Wahid (1999). Megawati
hanya menjadi wakil presiden. Ketika Abdurrahman Wahid dilengserkan di tengah
jalan (2001), Megawati akhirnya menjadi presiden (2001-2004). Dalam masa
pemerintahannya, Presiden Megawati memutuskan untuk memberlakukan pemilihan
presiden secara langsung oleh rakyat. Sayangnya, Megawati gagal terpilih dalam
pemilihan presiden langsung pertama oleh rakyat yang diputuskannya.
Dalam pemilu
legislatif tahun 2004, Golkar keluar sebagai pemenang. Namun, calon presiden
yang diajukannya gagal meraih mayoritas suara dalam pemilihan presiden secara
langsung. Susilo Bambang Yudhoyono, capres dari Partai Demokrat, terpilih
sebagai presiden. Ia berkuasa dua periode karena terpilih kembali dalam Pilpres
2009. Selama itu pula, Golkar berkoalisi dengan partai pemerintah.
Tahun 2014, Golkar memutuskan
tidak lagi berkoalisi dengan partai pemerintah, dan keputusan itu membuat
Golkar pecah menjadi dua. Tampaknya, Golkar secara alamiah harus begabung
dengan pemerintah. Jika tidak, Golkar akan terpecah dan ditinggalkan….
Sumber: Kompas, 13 Desember 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!