Oleh Mgr Yustinus Harjosusanto MSF
Uskup Tanjung Selor
ADA yang istimewa dalam perayaan Natal tahun ini
karena dirayakan di tengah ajakan pemerintah kepada seluruh rakyat Indonesia
untuk melakukan revolusi mental. Apa hubungan Natal dengan revolusi mental?
Bagi umat
Kristiani, Natal adalah peristiwa ketika Tuhan, yang mengenal manusia yang tak
berdaya karena dosa, berbela rasa dan bertindak langsung menyelamatkan
umat-Nya. Pengenalan keadaan itu bukan hanya menanti pihak manusia berseru
minta tolong, melainkan dan terlebih dari pihak Allah yang Maha Mengenal.
Bela rasa inilah,
ketika tiba waktunya, membuat Ia bertindak dengan cara apa pun agar manusia
diselamatkan. Sikap dan tindakan-Nya itu nyata dengan wujud tidak
mempertahankan keadaan mulia, tetapi mengosongkan diri, mengambil rupa seorang
hamba, dan menjadi manusia.
Pilihan tempat
lahir bukan Jerusalem, kota terbesar pada zaman itu, melainkan Betlehem, kota
kecil. Istana raja yang megah dan gemerlap tidak menjadi pilihan-Nya, tetapi
kandang hewan yang sangat sederhana. Dengan penjelmaan-Nya itu, relasi manusia
dengan Allah dipulihkan, dasar mendalam relasi antarmanusia diletakkan, yaitu
kasih-Nya.
Merasakan masih
jauhnya wujud cita-cita bangsa Indonesia, sementara kerinduan untuk itu semakin
kuat, diperlukan perubahan mentalitas, yaitu cara berpikir, sikap dasar, dan perwujudannya.
Sebagian kecil warga terbuai menikmati kenyamanan dan kemapanan, sementara
sebagian besar masyarakat hidup sangat miskin dan tak berdaya, tergoda untuk
memenuhi kebutuhan sendiri tanpa peduli akan sesama.
Bela rasa
Mentalitas
individualistis telah menjiwai sebagian besar warga masyarakat. Sikap itu
melemahkan sikap bela rasa terhadap sesama, khususnya yang menderita.
Mentalitas itu tanpa disadari telah menelikung begitu banyak orang.
Egoisme, dan
ketidakpedulian, menyelinap di setiap bidang kehidupan sehingga perorangan
ataupun kelompok telah dirasuki sikap lebih mengedepankan kepentingan pribadi,
kelompok, golongan, suku, asosiasi, partai, dan seterusnya daripada kepentingan
bangsa.
Persaingan tidak
sehat berangkat dari sikap tidak peduli akan sesama, bahkan menginginkan
pesaingnya kalah atau bahkan mati. Mentalitas itu mesti diubah secara mendasar
kalau kebersamaan bangsa dalam menggapai cita-cita bersama sungguh-sungguh mau
dikembangkan.
Segenap warga
masyarakat perlu berubah dari sikap individualistis dan egoistis ke altruis
(alter = yang lain), yaitu mengarahkan diri keluar, melihat keprihatinan di
sekitarnya, mengembangkan sikap bela rasa, dan bertindak nyata sekalipun
sederhana dan dalam skala kecil.
Sikap dasar berbela
rasa itu bukan hanya soal sosial, melainkan moral. Membiarkan sesama menderita
pada dasarnya adalah sikap tidak memberikan hak sesama hidup layak. Padahal,
semua orang bermartabat sama di hadapan Sang Pencipta.
Maka, semua orang
yang selama ini diam, tertutup, dan merasa aman serta menikmati ”kemuliaan”
mesti meninggalkan rasa mapan dan nyaman untuk blusukan demi melihat
ke-nyata-an, mengembangkan sikap bela rasa, dan mewujudkan tindakan nyata.
Mentalitas
menyenangkan atasan merupakan usaha mengelabui dan sekaligus menutupi
ke-nyata-an. Alhasil, pemimpin tidak mengenal realitas yang sesungguhnya dan
masyarakat hidup dalam dunia, meminjam istilah Gus Dur, seakan-akan;
seakan-akan mutu pendidikan telah merata, pelayanan kesehatan telah memadai ke
seluruh pelosok, dan seterusnya. Untuk berubah, diperlukan sikap terbuka,
rendah hati, dan jujur.
Mentalitas lain
yang dibiarkan hidup dan tumbuh subur adalah mencari keselamatan diri dengan
melepaskan prinsip baik dan benar. Tata nilai yang benar dikorbankan demi
keselamatan diri. Nilai-nilai luhur yang mesti dijunjung tinggi dikalahkan demi
kepentingan tertentu sehingga memupuk sikap oportunistis dan pragmatis. Tidak
mengherankan banyak orang bersikap mencla-mencle; esuk dele, sore tempe (pagi
dele, sore tempe), kata pepatah Jawa.
Ubah mentalitas
Promosi media massa
secara agresif, masif, dan meluas, dengan prinsip mendulang untung
sebesar-besarnya, harus diubah. Masyarakat tanpa sadar telah ”digiring”
menganut tatanan nilai tertentu, khususnya menempatkan nilai kenikmatan indrawi
dan kenyamanan sebagai yang utama.
Parahnya,
kenikmatan dan kenyamanan itu mesti dibeli sehingga uang diutamakan, bahkan
menjadi penguasa. Akibatnya, dunia seakan arena perburuan dan perebutan uang
dengan cara apa pun: menipu, mencuri, merampok, dan khususnya korupsi. Tindakan
tersebut berangkat dari tata nilai yang telah terjungkirbalikkan.
Media massa yang
berkontribusi penting perlu berubah mentalitas dari kecenderungan berorientasi
bisnis ke pengutamaan pendidikan nilai luhur kemanusiaan. Perubahan mentalitas
secara revolusioner itu membutuhkan proses panjang, kerja keras, dan wujud nyata
berupa tindakan yang konsisten. Tanpa itu, yang akan terjadi hanya gebrakan
sesaat, tidak akan membawa banyak perubahan.
Perubahan membangun
sikap baru itu berat karena bagai berbalik arah 180 derajat. Tidak semua pihak
setuju dan mendukung gerakan itu. Maka diperlukan sikap sabar, tahan banting
dan sekaligus optimistis. Selamat Natal!
Sumber: Kompas, 24 Desember 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!