Oleh Ali Usman
aktivis NU di Yogyakarta;
alumnus Magister Agama & Filsafat UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
“Yang paling berkesan dari Gus Dur adalah oposisi demokratik
kerakyatan terhadap rezim Soeharto”
ABDURRAHMAN Wahid
(Gus Dur) telah tiada 5 tahun lalu namun hingga kini tiap kali
memperbincangkannya, ia terasa masih ada di tengah kita. Ia meninggalkan teladan
perilaku, sikap, dan ucapan, baik lewat tulisan maupun penuturan orang-orang
terdekatnya, sehingga tak lekang oleh waktu bagi masyarakat Indonesia
khususnya, dan dunia internasional pada umumnya.
Hal paling penting
untuk bisa memahami Gus Dur adalah mencari apa yang tersirat dari yang
tersurat. Dalam ungkapan Greg Barton (2006: 7), tak bijak meremehkan Gus Dur
karena pada dirinya selalu ada sesuatu yang lebih ketimbang sesuatu yang
kasatmata. Demikian juga tidak bijak untuk memahami apa yang diucapkannya
secara harfiah.
Seringkali apa yang
diucapkan Gus Dur bukanlah apa yang diketahuinya melainkan lebih merupakan apa
yang diinginkannya sebagai sesuatu yang benar. Karena itulah, ia memberikan
teladan politik yang baik, yang antara lain bisa dilihat saat ia menjabat
presiden atau sebelum terjun ke arena politik.
Salah satu teladan
yang dia tunjukkan adalah sikap oposisi demokratik yang ia pegang teguh sepanjang hayatnya, sejak menjadi ketua umum
PBNU, ketua Dewan Syuro PKB, hingga presiden, bahkan setelah lengser dari kusri
kepresidenan sekali pun.
Dalam beroposisi,
ia mengajarkan perjuangan prinsip secara teguh dan militan. Oposisi demokratik
yang dilakukan misalnya terhadap KPU yang menganulir pencalonannya sebagai
presiden karena alasan kesehatan, kepada PKB yang dipimpin oleh sosok yang
notabene bekas orang dekatnya, dan pada gagasan mainstream ketika ia menjadi
presiden (Ridwan, 2010: 1-2).
Oposisi Gus Dur
yang paling berkesan di hati anak-anak muda NU khususnya, dan masyarakat
Indonesia pada umumnya, adalah oposisi demokratik kerakyatan yang dilakukan
terhadap rezim Soeharto. Hal itu dilakukan dalam banyak hal: kasus Kedungombo,
menjadi ketua Fordem, melawan rekayasa rezim Soeharto dalam Muktamar Cipasung
1994, menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden yang oleh Gus Dur
diubah jadi loyalitas kepada Pancasila dan UUD 1945 dalam apel akbar 1992, dan
banyak lagi.
Sikap (politik) Gus
Dur menurut Sobary (2010: 131) lembut, simbolis, dan taktis. Gus Dur memperoleh
rujukan sikap bijak yang sudah menjadi peribahasa PM Jepang Obuchi— yang dia
kutip di banyak kesempatan— mengenai strategi politik lembut, akomodatif, dan
diplomatis sekali,’’ how to turn political enemies into friends.’’
Gus Dur adalah
sosok pemimpin yang dekat rakyat. Semasa pemerintahannya, Istana Negara menjadi
tempat tempat silaturahmi atau tatap muka antara rakyat dan presiden. Ia
mengubah kesan sakral Istana yang steril dari kehadiran rakyat biasa menjadi
tempat keluh-kesah rakyat sehingga berubahlah Istana dari yang semula sakral
menjadi profan.
Warisan Kebijakan
Meskipun demikian,
sebagai catatan, kebesaran atau tepatnya ìkehebatanî Gus Dur dalam bidang
politik dak semata-mata ketika ia jadi presiden, dari yang mungkin dianggap
tidak begitu diperhitungkan, rupanya mampu menjadi orang nomor wahid di negeri
ini.
Persepsi itu
sesungguhnya salah kaprah. Gus Dur sebagai presiden bukanlah politikus instan
mengingat ia membangun pola gerakannya (terutama bidang advokasi sosial) sejak
berkecimpung di NU. Tatkala arus politik nasional menghendakinya menjadi
pemimpin, ia diterima oleh semua kalangan.
Sejumlah warisan
kebijakannya sewaktu menjadi presiden yang berumur pendek, juga berkesan.
Selain usulannya mencabut Tap MPRS Nomor XXXV Tahun 1966 adalah warisan
kebijakannya yang brilian guna menjaga martabat bangsa Indonesia. Warisan
kebijakan soal ini di antaranya, pertama; menggeser jabatan-jabatan politik
yang selalu diisi oleh militer dan sekarang diisi sipil.
Kedua; perubahan
staf sospol menjadi staf teritorial, yang kemudian mendorong profesionalisme
militer dengan cara mengurangi peran militer dari persoalan nonmiliter. Ketiga;
memisahkan jabatan menhan dengan menko polkam dan penempatan orang sipil di
jabatan menhan. Keempat; realisasi pemisahan TNI dengan Polri yang gagasan
awalnya sudah muncul di kalangan TNI, tetapi sampai 1999 Polri masih berada di
bawah komando ABRI. Kelima; penghapusan hak prerogatif militer dengan menghapus
Bakorstanas yang dulu menjadi pengganti Kopkamtib.
Keenam; penghapusan
kebijakan litsus (meneliti seseorang terlibat PKI atau tidak) yang sering
dijadikan oleh Orde Baru untuk menekan lawan politiknya. Ketujuh; pengakuan
terhadap Konghucu dan tradisi kaum Tionghoa untuk kembali memiliki haknya
setelah lama dibungkam rezim Soeharto (Ridwan, 2010: 361-364).
Atas jasa yang
begitu besar sungguh layak ia menyandang predikat guru bangsa atau mungkin
pahlawan. Gelar itu merupakan apresiasi berkait pembelaan terhadap toleransi,
kebebasan berpendapat, pembelaan terhadap kelompok marjinal, kaum miskin,
ketidakadilan, dan ragam kesenjangan sosial lainnya.
Sumber: Suara Merdeka, 2
Januari 2015

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!