Headlines News :
Home » » Gus Dur dan Politik Kebangsaan

Gus Dur dan Politik Kebangsaan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, January 02, 2015 | 9:24 PM

Oleh Ali Usman 
aktivis NU di Yogyakarta;
alumnus Magister Agama & Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

“Yang paling berkesan dari Gus Dur adalah oposisi demokratik kerakyatan terhadap rezim Soeharto”

ABDURRAHMAN Wahid (Gus Dur) telah tiada 5 tahun lalu namun hingga kini tiap kali memperbincangkannya, ia terasa masih ada di tengah kita. Ia meninggalkan teladan perilaku, sikap, dan ucapan, baik lewat tulisan maupun penuturan orang-orang terdekatnya, sehingga tak lekang oleh waktu bagi masyarakat Indonesia khususnya, dan dunia internasional pada umumnya.

Hal paling penting untuk bisa memahami Gus Dur adalah mencari apa yang tersirat dari yang tersurat. Dalam ungkapan Greg Barton (2006: 7), tak bijak meremehkan Gus Dur karena pada dirinya selalu ada sesuatu yang lebih ketimbang sesuatu yang kasatmata. Demikian juga tidak bijak untuk memahami apa yang diucapkannya secara harfiah.

Seringkali apa yang diucapkan Gus Dur bukanlah apa yang diketahuinya melainkan lebih merupakan apa yang diinginkannya sebagai sesuatu yang benar. Karena itulah, ia memberikan teladan politik yang baik, yang antara lain bisa dilihat saat ia menjabat presiden atau sebelum terjun ke arena politik.

Salah satu teladan yang dia tunjukkan adalah sikap oposisi demokratik yang ia pegang teguh  sepanjang hayatnya, sejak menjadi ketua umum PBNU, ketua Dewan Syuro PKB, hingga presiden, bahkan setelah lengser dari kusri kepresidenan sekali pun.

Dalam beroposisi, ia mengajarkan perjuangan prinsip secara teguh dan militan. Oposisi demokratik yang dilakukan misalnya terhadap KPU yang menganulir pencalonannya sebagai presiden karena alasan kesehatan, kepada PKB yang dipimpin oleh sosok yang notabene bekas orang dekatnya, dan pada gagasan mainstream ketika ia menjadi presiden (Ridwan, 2010: 1-2).

Oposisi Gus Dur yang paling berkesan di hati anak-anak muda NU khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya, adalah oposisi demokratik kerakyatan yang dilakukan terhadap rezim Soeharto. Hal itu dilakukan dalam banyak hal: kasus Kedungombo, menjadi ketua Fordem, melawan rekayasa rezim Soeharto dalam Muktamar Cipasung 1994, menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden yang oleh Gus Dur diubah jadi loyalitas kepada Pancasila dan UUD 1945 dalam apel akbar 1992, dan banyak lagi.

Sikap (politik) Gus Dur menurut Sobary (2010: 131) lembut, simbolis, dan taktis. Gus Dur memperoleh rujukan sikap bijak yang sudah menjadi peribahasa PM Jepang Obuchi— yang dia kutip di banyak kesempatan— mengenai strategi politik lembut, akomodatif, dan diplomatis sekali,’’ how to turn political enemies into friends.’’

Gus Dur adalah sosok pemimpin yang dekat rakyat. Semasa pemerintahannya, Istana Negara menjadi tempat tempat silaturahmi atau tatap muka antara rakyat dan presiden. Ia mengubah kesan sakral Istana yang steril dari kehadiran rakyat biasa menjadi tempat keluh-kesah rakyat sehingga berubahlah Istana dari yang semula sakral menjadi profan.

Warisan Kebijakan

Meskipun demikian, sebagai catatan, kebesaran atau tepatnya ìkehebatanî Gus Dur dalam bidang politik dak semata-mata ketika ia jadi presiden, dari yang mungkin dianggap tidak begitu diperhitungkan, rupanya mampu menjadi orang nomor wahid di negeri ini.

Persepsi itu sesungguhnya salah kaprah. Gus Dur sebagai presiden bukanlah politikus instan mengingat ia membangun pola gerakannya (terutama bidang advokasi sosial) sejak berkecimpung di NU. Tatkala arus politik nasional menghendakinya menjadi pemimpin, ia diterima oleh semua kalangan.

Sejumlah warisan kebijakannya sewaktu menjadi presiden yang berumur pendek, juga berkesan. Selain usulannya mencabut Tap MPRS Nomor XXXV Tahun 1966 adalah warisan kebijakannya yang brilian guna menjaga martabat bangsa Indonesia. Warisan kebijakan soal ini di antaranya, pertama; menggeser jabatan-jabatan politik yang selalu diisi oleh militer dan sekarang diisi sipil.

Kedua; perubahan staf sospol menjadi staf teritorial, yang kemudian mendorong profesionalisme militer dengan cara mengurangi peran militer dari persoalan nonmiliter. Ketiga; memisahkan jabatan menhan dengan menko polkam dan penempatan orang sipil di jabatan menhan. Keempat; realisasi pemisahan TNI dengan Polri yang gagasan awalnya sudah muncul di kalangan TNI, tetapi sampai 1999 Polri masih berada di bawah komando ABRI. Kelima; penghapusan hak prerogatif militer dengan menghapus Bakorstanas yang dulu menjadi pengganti Kopkamtib.

Keenam; penghapusan kebijakan litsus (meneliti seseorang terlibat PKI atau tidak) yang sering dijadikan oleh Orde Baru untuk menekan lawan politiknya. Ketujuh; pengakuan terhadap Konghucu dan tradisi kaum Tionghoa untuk kembali memiliki haknya setelah lama dibungkam rezim Soeharto (Ridwan, 2010: 361-364).

Atas jasa yang begitu besar sungguh layak ia menyandang predikat guru bangsa atau mungkin pahlawan. Gelar itu merupakan apresiasi berkait pembelaan terhadap toleransi, kebebasan berpendapat, pembelaan terhadap kelompok marjinal, kaum miskin, ketidakadilan, dan ragam kesenjangan sosial lainnya. 
Sumber: Suara Merdeka, 2 Januari 2015
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger