Oleh Dr Fidelis Regi Waton
Alumnus Filsafat
Politik
di Humboldt-Universitaet zu Berlin, Jerman
di Humboldt-Universitaet zu Berlin, Jerman
USUL pengosongan kolom agama dalam KTP bagi penganut kepercayaan oleh Menteri Dalam Negeri, Thahjo Kumolo yang merangsang kontroversi nyaris terbenam. Saudara Putu Kurniawan lewat surat pembaca di harian ini (02/01/15) mengingatkan kita akan isu tersebut.
Banyak yang menilai
gebrakan Mendagri bertentangan dengan falsafah dan konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Ada yang secara frontal menagih menagih peniadaan kolom
agama dalam KTP untuk semua warga. Riak
pro-kebebasan mempledoi keputusan bebas setiap warga, apakah dalam KTP-nya
diisi agamanya atau tidak.
Di negara-negara liberal-sekular agama
didaulat sebagai urusan privat, meskipun agama tidak didepak dari ruang publik.
Negara mengakui kebebasan pemeluk agama untuk menyaksikan keyakinannya di
tengah masyarakat (forum externum) dan tidak mencampuri rumah tangga agama.
Warga bebas menyatakan identitas agamanya di arena publik dan mengakhiri
keanggotaan keagamaannya di hadapan lembaga sipil. Dengan aturan keharusan
beragama di Indonesia, agama menjadi res publica (urusan umum) dan negara bukan
saja memfasilitasi dan melindungi, acapkali malah mencampuri domain agama.
Kepemelukan agama berkaitan dengan identitas
dan pengakuan internal-eksternal. Secara eksternal, penghapusan kolom agama
dalam KTP dianggap merugikan. Jika seseorang menganut agama tertentu,
konsekuensinya ia harus berani dan tidak boleh dihalangi untuk mengakuinya
secara publik termasuk dalam dokumen resmi seperti KTP.
Meskipun begitu,
saya coba mengedepankan beberapa argumen pro-penghapusan kolom agama untuk
semua warga.
Pertama, mata rantai diskriminasi promordial
agama masih erat melilit cara hidup dan berpikir nasional. Faktor agama tak
jarang menstimulasi diskriminasi, pembatasan ruang gerak dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, dominasi mayoritas dan represi terhadap minoritas.
Keanggotaan agama tertentu seringkali
menghalangi warga untuk mengekspresikan kemampuannya. Figur hebat seringkali
dikandaskan, karena agamanya tidak sesuai dengan mayoritas warga sekelilingnya.
Isu-isu primordial agama membendung laju figur berkualitas menuju jabatan
sosial-politik. Respek dan akseptansi terhadap kompetensi dan profesionalisasi
seseorang banyak kali mentok pada pilar agama. Lurah Susan dan Ahok ditolak
FPI, karena keduanya bukanlah penganut agama Islam.
Di Indonesia agama
sudah sekian jauh dipolitisasi dan dijadikan kendaraan politik. Diferensi dan klasifikasi agama dalam konteks ini bukan
saja menjadi ajang pengotakan, melainkan juga pengebirian hak asasi manusia dan
kesetaraan semua warga di hadapan hukum.
Urusan agama dibaurkan dengan dimensi dan
kepentingan politik. Seringkali negara dan aparatnya tidak tampil sebagai
pengayom warga. Aparat negara berkolaborasi dengan agama mainstream untuk
mengamankan dan menggaruk kelompok yang dicap sekte atau sempalan. Kolaborasi
maksiat ini mengakibatkan pengebirian hukum dan pelecehan hak asasi manusia.
Pengrusakan rumah ibadat dan pembantaian penganut Ahmadiah menjadi contohnya.
Di sana aparat negara bukannya alpa, melainkan ikut merepresi, mendukung
tindakan kriminal dan penganiayaan.
Kedua, landasan hukum kebebasan beragama di
Indonesia bertentangan dengan hak asasi manusia. Yang sah adalah kebebasan
beragama dalam artian positif (kebebasan untuk menganut agama). Kebebasan
beragama dalam skala negatif (kebebasan untuk tidak beragama) dilarang. Malah
hak subyektif kebebasan beragama dalam artian positif diperkosa lewat kewajiban
beragama dan keharusan memilih agama yang diakui resmi. Pengejawantahan
kebebasan beragama dengan cara itu bermuara pada pemaksaan dan formalitas.
Orang yang tidak beragama nyaris disetarakan dengan penghuni ilegal. Warga yang
tidak memiliki agama, tidak mau lagi beragama, agnostis dan ateis tidak
diperbolehkan berdomisili di Indonesia. Ketentuan ini misalnya berseberangan
dengan fakta ateisme praktis dan sistematis-terorganisir yang kini eksis di
Indonesia.
Ketiga, kesalahan fundamental dan krusial
menyangkut penafsiran konstitusi yang menegaskan asas negara berdasarkan
ketuhanan yang mahaesa. Piranti ini diterjemahkan secara simpel dan sempit
sebagai negara berdasarkan agama-agama dan kepercayaan yang resmi diakui di
Indonesia.
Secara epistemologis, konsep ketuhanan yang
mahaesa lebih luas dari agama. Kebudayaan dan agama-agama asli pra agama-agama
mainstream di Indonesia telah mengakui
satu wujud Tertinggi dan mungkin juga ada pihak yang tidak beragama atau
tidak mau lagi beragama, namun ia
mengakui adanya satu wujud Tertinggi atau yang dalam bahasa modern dinamakan
dengan Tuhan yang mahaesa. Orang-orang seperti ini berhak untuk hidup di bumi
pertiwi.
Konstitusi bukanlah dogma yang tak bisa
diganggu-gugat. Substansi konstitusi, tafsiran dan penjabarannya yang rancu,
kadaluwarsa, diskriminatif dan bertentangan dengan hak asasi manusia harus
diamandemen dan ditinjau kembali selaras dengan tuntutan zaman dan realitas
pluralitas relevan dalam masyarakat.
Basis konstruksi negara Indonesia adalah
kemajemukan (Bhinneka Tunggal Ika). Faktisitas kejamakan acapkali tidak
diapresiasi sebagai kekayaan, melainkan dipahat sebagai potensi pembudidayaan
konflik dan diskriminasi. Penghilangan kolom agama dalam KTP tentu bukanlah
tablet murajab untuk meredam seluruh konflik dan diskriminasi sosial berbasis
agama dan ras (tak jarang ras tertentu disinonimkan dengan agama). Akar
persoalannya, kita belum matang dan dewasa dalam pergaulan dengan keragaman
sosial yakni menghormati dan menerima yang lain sebagai yang lain. Pencerahan
aspek ini sangat strategis dan urgen.
Sumber: Pos Bali, 7 Januari 2015

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!