Headlines News :
Home » » Kolom Agama dalam KTP dan Diskriminasi

Kolom Agama dalam KTP dan Diskriminasi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, January 07, 2015 | 8:11 PM

Oleh Dr Fidelis Regi Waton
Alumnus Filsafat Politik 
di Humboldt-Universitaet zu Berlin, Jerman 

USUL pengosongan kolom agama dalam KTP bagi  penganut kepercayaan oleh Menteri Dalam Negeri, Thahjo Kumolo yang merangsang kontroversi nyaris terbenam. Saudara Putu Kurniawan lewat surat pembaca di harian ini (02/01/15) mengingatkan kita akan isu tersebut.

Banyak yang menilai gebrakan Mendagri bertentangan dengan falsafah dan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada yang secara frontal menagih menagih peniadaan kolom agama dalam KTP untuk semua warga.  Riak pro-kebebasan mempledoi keputusan bebas setiap warga, apakah dalam KTP-nya diisi agamanya atau tidak.

Di negara-negara liberal-sekular agama didaulat sebagai urusan privat, meskipun agama tidak didepak dari ruang publik. Negara mengakui kebebasan pemeluk agama untuk menyaksikan keyakinannya di tengah masyarakat (forum externum) dan tidak mencampuri rumah tangga agama. Warga bebas menyatakan identitas agamanya di arena publik dan mengakhiri keanggotaan keagamaannya di hadapan lembaga sipil. Dengan aturan keharusan beragama di Indonesia, agama menjadi res publica (urusan umum) dan negara bukan saja memfasilitasi dan melindungi, acapkali malah mencampuri domain agama.

Kepemelukan agama berkaitan dengan identitas dan pengakuan internal-eksternal. Secara eksternal, penghapusan kolom agama dalam KTP dianggap merugikan. Jika seseorang menganut agama tertentu, konsekuensinya ia harus berani dan tidak boleh dihalangi untuk mengakuinya secara publik termasuk dalam dokumen resmi seperti KTP.

Meskipun begitu, saya coba mengedepankan beberapa argumen pro-penghapusan kolom agama untuk semua warga.

Pertama, mata rantai diskriminasi promordial agama masih erat melilit cara hidup dan berpikir nasional. Faktor agama tak jarang menstimulasi diskriminasi, pembatasan ruang gerak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dominasi mayoritas dan represi  terhadap minoritas.

Keanggotaan agama tertentu seringkali menghalangi warga untuk mengekspresikan kemampuannya. Figur hebat seringkali dikandaskan, karena agamanya tidak sesuai dengan mayoritas warga sekelilingnya. Isu-isu primordial agama membendung laju figur berkualitas menuju jabatan sosial-politik. Respek dan akseptansi terhadap kompetensi dan profesionalisasi seseorang banyak kali mentok pada pilar agama. Lurah Susan dan Ahok ditolak FPI, karena keduanya bukanlah penganut agama Islam.

Di Indonesia agama sudah sekian jauh dipolitisasi dan dijadikan kendaraan politik. Diferensi  dan klasifikasi agama dalam konteks ini bukan saja menjadi ajang pengotakan, melainkan juga pengebirian hak asasi manusia dan kesetaraan semua warga di hadapan hukum.

Urusan agama dibaurkan dengan dimensi dan kepentingan politik. Seringkali negara dan aparatnya tidak tampil sebagai pengayom warga. Aparat negara berkolaborasi dengan agama mainstream untuk mengamankan dan menggaruk kelompok yang dicap sekte atau sempalan. Kolaborasi maksiat ini mengakibatkan pengebirian hukum dan pelecehan hak asasi manusia. Pengrusakan rumah ibadat dan pembantaian penganut Ahmadiah menjadi contohnya. Di sana aparat negara bukannya alpa, melainkan ikut merepresi, mendukung tindakan kriminal dan penganiayaan.

Kedua, landasan hukum kebebasan beragama di Indonesia bertentangan dengan hak asasi manusia. Yang sah adalah kebebasan beragama dalam artian positif (kebebasan untuk menganut agama). Kebebasan beragama dalam skala negatif (kebebasan untuk tidak beragama) dilarang. Malah hak subyektif kebebasan beragama dalam artian positif diperkosa lewat kewajiban beragama dan keharusan memilih agama yang diakui resmi. Pengejawantahan kebebasan beragama dengan cara itu bermuara pada pemaksaan dan formalitas. Orang yang tidak beragama nyaris disetarakan dengan penghuni ilegal. Warga yang tidak memiliki agama, tidak mau lagi beragama, agnostis dan ateis tidak diperbolehkan berdomisili di Indonesia. Ketentuan ini misalnya berseberangan dengan fakta ateisme praktis dan sistematis-terorganisir yang kini eksis di Indonesia.

Ketiga, kesalahan fundamental dan krusial menyangkut penafsiran konstitusi yang menegaskan asas negara berdasarkan ketuhanan yang mahaesa. Piranti ini diterjemahkan secara simpel dan sempit sebagai negara berdasarkan agama-agama dan kepercayaan yang resmi diakui di Indonesia.

Secara epistemologis, konsep ketuhanan yang mahaesa lebih luas dari agama. Kebudayaan dan agama-agama asli pra agama-agama mainstream di Indonesia telah mengakui  satu wujud Tertinggi dan mungkin juga ada pihak yang tidak beragama atau tidak mau lagi beragama, namun  ia mengakui adanya satu wujud Tertinggi atau yang dalam bahasa modern dinamakan dengan Tuhan yang mahaesa. Orang-orang seperti ini berhak untuk hidup di bumi pertiwi.

Konstitusi bukanlah dogma yang tak bisa diganggu-gugat. Substansi konstitusi, tafsiran dan penjabarannya yang rancu, kadaluwarsa, diskriminatif dan bertentangan dengan hak asasi manusia harus diamandemen dan ditinjau kembali selaras dengan tuntutan zaman dan realitas pluralitas  relevan dalam masyarakat.

Basis konstruksi negara Indonesia adalah kemajemukan (Bhinneka Tunggal Ika). Faktisitas kejamakan acapkali tidak diapresiasi sebagai kekayaan, melainkan dipahat sebagai potensi pembudidayaan konflik dan diskriminasi. Penghilangan kolom agama dalam KTP tentu bukanlah tablet murajab untuk meredam seluruh konflik dan diskriminasi sosial berbasis agama dan ras (tak jarang ras tertentu disinonimkan dengan agama). Akar persoalannya, kita belum matang dan dewasa dalam pergaulan dengan keragaman sosial yakni menghormati dan menerima yang lain sebagai yang lain. Pencerahan aspek ini sangat strategis dan urgen. 
Sumber: Pos Bali, 7 Januari 2015
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger