Oleh
Ansy Lema
Analis Politik & Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (Fisip)
Universitas Nasional, Jakarta
PASCA Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014,
konstalasi politik nasional makin mengeras ke arah bipolar. Partai politik
(Parpol) pemenang Pilpres menyatu-mengental dalam Koalisi Indonesia Hebat
(KIH), sementara pesaingnya mengonsolidasi diri dalam Koalisi Merah Putih
(KMP). Usai Pilpres, KMP yang dimotori Partai Golkar (PG) dan Partai Gerindra
serta didukung PAN, PKS dan PPP mendeklarasikan diri sebagai poros penyeimbang
pemerintah. Rivalitas politik KMP versus KIH berlanjut, bahkan memerlihatkan
peningkatan eskalasi, meski Pilpres telah usai.
Jika dicermati, ada
tiga fase perseteruan politik KIH vis a vis KMP. Pertama, saat Pilpres.
Kontestasi dua kubu pada fase ini sangat ketat. Kedua pihak menerapkan
strategi-taktik dan mengerahkan aneka sumber daya agar menang. Hasilnya, the
winner dalam fase ini adalah KIH. Joko Widodo-Jusuf Kalla dipilih rakyat
sebagai Presiden/Wakil Presiden Republik Indonesia mengalahkan pesaingnya,
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. 1:0 KIH unggul.
Kedua, fase usai
Pilpres. Pada fase ini lokus pertarungan berlangsung di parlemen. Kalah dalam
proses demokrasi akar-rumput, KMP terus mengonsolidasi kekuatan politiknya
untuk memenangkan pertarungan politik elit. Kepiawaian manuver politik KMP di
parlemen membuatnya berjaya dalam politik parlemen. KMP unggul telak secara
beruntun. Koalisi "Salam 2 Jari" akhirnya "gigit jari". KMP
memenangkan aturan pengesahan UU MD3, pembahasan tata tertib pimpinan DPR,
pengesahan UU Pilkada, pemilihan pimpinan DPR, dan terakhir pemilihan pimpinan
MPR. Di fase ini, KMP menang telak, 5:0.
Ketiga, fase pasca
Munas PG dan Muktamar PPP yang berujung perpecahan internal kedua Parpol.
Kisruh internal kedua Parpol berdampak serius pada soliditas KMP. Kohesivitas
KMP mengalami krisis karena Parpol penyokongnya digerus konflik internal. Fokus
perhatian Ketua Umum PG versi Munas Bali, Aburizal Bakrie, yang juga Ketua
Presidium KMP terganggu, antara memikirkan kisruh PG atau kesinambungan KMP.
Kisruh internal membuat PG tidak bisa menglaim diri sebagai Parpol solid.
Di hadapan mitra
KMP, bargaining position PG melorot drastis karena krisis legitimasi politik
yang dialaminya. Sehingga secara politik, berbagai manuver politik yang
dilakukan PG, tampak tidak "seksi". Posisi strategis PG di KMP
merosot. Padahal selama ini PG paling lincah-piawai memainkan manuver politik,
sekaligus penentu arah KMP. Namun, kini terjadi pergeseran politik. Bagamana
mungkin bisa tampil percaya diri memimpin KMP, jika secara internal PG rapuh?
Posisi tawar PG melemah dan kehilangan cara "memahalkan" daya tawar
politiknya karena proses pembusukan dari dalam. Belakangan PPP versi Muktamar
Jakarta yang sebelumnya kokoh mendukung KMP menyatakan tak banyak manfaat PPP
terus bersama KMP. Pertanyaannya, bagaimana masa depan KMP?
Persistensi Koalisi
Menurut penulis,
secara umum terdapat dua tipe koalisi Parpol jika ditelaah dari sisi alasan
pembentukan dan arah-orientasi koalisi. Tipikal koalisi menentukan persistensi
(daya tahan) masing-masing koalisi. Pertama, koalisi Ideologis-Patriotik. Ciri
menonjol koalisi ini adalah adanya kesamaan ideologi, platform, visi, misi dan
orientasi anggota koalisi. Koalisi ini disebut juga koalisi sarat nilai karena
diikat oleh nilai-nilai yang sejalan. Daya tahan koalisi ini relatif lebih kuat
dan berumur lebih panjang karena dituntun oleh kepentingan bangsa-negara, bukan
kepentingan sempit anggota koalisi.
Kedua, koalisi
Pragmatis-Transaksional. Ciri utama koalisi ini adalah berbasis elektoral,
semata atas dasar kalkulasi untung-rugi dalam politik, tidak bersifat ideologis
dan tidak memiliki visi-programatik. Koalisi tipe ini didominasi kepentingan
anggota koalisi untuk mengejar kekuasaan. Politik transaksional dominan dalam
koalisi ini. Maka, jika koalisi Ideologis-Patriotik sarat nilai (values),
koalisi Pragmatis-Transaksional sarat fulus. Tak heran, fondasi koalisi ini
rapuh-keropos. Itu sebabnya, persistensi dan usia politik koalisi tak bertahan
lama. Hanya waktu yang bisa membuktikan, KMP masuk kategori mana. Memerjuangkan
kepentingan bangsa-negara, atau sebaliknya merepresentasikan kepentingan
elite-oligarkis?
Sepintas, rivalitas
KMP versus KIH bagaikan perseteruan blok Barat versus blok Timur dalam Perang
Dingin (cold war). Di ujung perseteruan, blok Barat penganut
liberalisme-kapitalisme menang. Kehancuran blok Timur bukan karena serangan
senjata lawan, melainkan karena pembusukan dari dalam. Blok Timur bangkrut
karena proses retrogesi (pemburukan) dan pelapukan politik secara internal.
Jika tak hati-hati, KMP bisa bernasib sama dengan blok Timur.
Butuh KMP
Demokrasi yang
sehat tak hanya membutuhkan adanya koalisi pemerintah, tapi juga koalisi
penyeimbang. Prinsipnya, demokrasi butuh proses checks and balances dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara. Demikian pula hadirnya Parpol penyeimbang
konstruktif bagi penguatan demokrasi. Itu berarti, pemerintahan Jokowi-JK butuh
Parpol penyeimbang untuk mengontrol-mengoreksi kinerja pemerintah.
Lord Acton berucap,
"Power tends to corrupts, absolute power corrupts absolutely". Tesis
ini bisa ditafsirkan, kendati pemimpinnya adalah "malaikat"
sekalipun, jika tanpa kontrol, kekuasaan bisa mengubahnya menjadi
"setan". Sebaliknya, jika yang memimpin "setan" sekalipun,
jika terus diawasi, "setan" akan jadi "malaikat". Merujuk
tesis Acton, demi sehatnya demokrasi Indonesia, pemerintahan Jokowi-JK jelas
butuh KMP. Namun, KMP seperti apakah yang dibutuhkan Jokowi-JK?
Idealnya, KMP hadir
sebagai kekuatan penyeimbang pemerintah yang memainkan peran
kritis-konstruktif-solutif. Jika kebijakan Jokowi-JK salah arah, KMP wajib
mengritisi. Sebaliknya, KMP harus mendukung jika kebijakan Jokowi-JK on the
right track. Dukungan atau penolakan KMP tidak bisa membabi-buta, atau semata
karena alasan like/dislike, apalagi sekedar balas dendam politik, melainkan
mesti atas dasar logika dan etika, bahkan estetika, mengingat politik adalah
juga seni. Politik akal sehat harus dimuliakan.
Sayangnya, KMP
lebih berperan sebagai "kekuatan penghambat", bukannya "kelompok
penekan" atau "kekuatan penyeimbang". Semua yang berasal dari
pemerintahan Jokowi-JK cenderung dihambat KMP. Ini jelas tidak sehat bagi
pembangunan demokrasi. Jika KMP terus menjalankan gaya politik menghambat,
bukannya mendulang simpati, rakyat justru makin antipati terhadapnya.
Untuk meningkatkan
kepercayaan publik terhadapnya, KMP harus mampu mentransformasi perannya dari
koalisi penghambat menjadi koalisi penyeimbang pemerintah. Masa depan KMP juga
sepenuhnya ditentukan oleh KMP sendiri, apakah sungguh memerjuangkan
kepentingan negara atau semata menjadi alat politik demi melayani kepentingan
elite-oligarkis? Jangan sampai kepentingan lebih besar dikorbankan oleh
kepentingan segelintir elite.
Sumber: Victory News, 9 Januari 2015

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!