Headlines News :
Home » » Masa Depan KMP

Masa Depan KMP

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, January 10, 2015 | 9:13 PM

Oleh Ansy Lema 
Analis Politik & Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan 
Ilmu Politik (Fisip) Universitas Nasional, Jakarta

PASCA Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, konstalasi politik nasional makin mengeras ke arah bipolar. Partai politik (Parpol) pemenang Pilpres menyatu-mengental dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), sementara pesaingnya mengonsolidasi diri dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Usai Pilpres, KMP yang dimotori Partai Golkar (PG) dan Partai Gerindra serta didukung PAN, PKS dan PPP mendeklarasikan diri sebagai poros penyeimbang pemerintah. Rivalitas politik KMP versus KIH berlanjut, bahkan memerlihatkan peningkatan eskalasi, meski Pilpres telah usai.

Jika dicermati, ada tiga fase perseteruan politik KIH vis a vis KMP. Pertama, saat Pilpres. Kontestasi dua kubu pada fase ini sangat ketat. Kedua pihak menerapkan strategi-taktik dan mengerahkan aneka sumber daya agar menang. Hasilnya, the winner dalam fase ini adalah KIH. Joko Widodo-Jusuf Kalla dipilih rakyat sebagai Presiden/Wakil Presiden Republik Indonesia mengalahkan pesaingnya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. 1:0 KIH unggul.

Kedua, fase usai Pilpres. Pada fase ini lokus pertarungan berlangsung di parlemen. Kalah dalam proses demokrasi akar-rumput, KMP terus mengonsolidasi kekuatan politiknya untuk memenangkan pertarungan politik elit. Kepiawaian manuver politik KMP di parlemen membuatnya berjaya dalam politik parlemen. KMP unggul telak secara beruntun. Koalisi "Salam 2 Jari" akhirnya "gigit jari". KMP memenangkan aturan pengesahan UU MD3, pembahasan tata tertib pimpinan DPR, pengesahan UU Pilkada, pemilihan pimpinan DPR, dan terakhir pemilihan pimpinan MPR. Di fase ini, KMP menang telak, 5:0.

Ketiga, fase pasca Munas PG dan Muktamar PPP yang berujung perpecahan internal kedua Parpol. Kisruh internal kedua Parpol berdampak serius pada soliditas KMP. Kohesivitas KMP mengalami krisis karena Parpol penyokongnya digerus konflik internal. Fokus perhatian Ketua Umum PG versi Munas Bali, Aburizal Bakrie, yang juga Ketua Presidium KMP terganggu, antara memikirkan kisruh PG atau kesinambungan KMP. Kisruh internal membuat PG tidak bisa menglaim diri sebagai Parpol solid.

Di hadapan mitra KMP, bargaining position PG melorot drastis karena krisis legitimasi politik yang dialaminya. Sehingga secara politik, berbagai manuver politik yang dilakukan PG, tampak tidak "seksi". Posisi strategis PG di KMP merosot. Padahal selama ini PG paling lincah-piawai memainkan manuver politik, sekaligus penentu arah KMP. Namun, kini terjadi pergeseran politik. Bagamana mungkin bisa tampil percaya diri memimpin KMP, jika secara internal PG rapuh? Posisi tawar PG melemah dan kehilangan cara "memahalkan" daya tawar politiknya karena proses pembusukan dari dalam. Belakangan PPP versi Muktamar Jakarta yang sebelumnya kokoh mendukung KMP menyatakan tak banyak manfaat PPP terus bersama KMP. Pertanyaannya, bagaimana masa depan KMP?

Persistensi Koalisi

Menurut penulis, secara umum terdapat dua tipe koalisi Parpol jika ditelaah dari sisi alasan pembentukan dan arah-orientasi koalisi. Tipikal koalisi menentukan persistensi (daya tahan) masing-masing koalisi. Pertama, koalisi Ideologis-Patriotik. Ciri menonjol koalisi ini adalah adanya kesamaan ideologi, platform, visi, misi dan orientasi anggota koalisi. Koalisi ini disebut juga koalisi sarat nilai karena diikat oleh nilai-nilai yang sejalan. Daya tahan koalisi ini relatif lebih kuat dan berumur lebih panjang karena dituntun oleh kepentingan bangsa-negara, bukan kepentingan sempit anggota koalisi.

Kedua, koalisi Pragmatis-Transaksional. Ciri utama koalisi ini adalah berbasis elektoral, semata atas dasar kalkulasi untung-rugi dalam politik, tidak bersifat ideologis dan tidak memiliki visi-programatik. Koalisi tipe ini didominasi kepentingan anggota koalisi untuk mengejar kekuasaan. Politik transaksional dominan dalam koalisi ini. Maka, jika koalisi Ideologis-Patriotik sarat nilai (values), koalisi Pragmatis-Transaksional sarat fulus. Tak heran, fondasi koalisi ini rapuh-keropos. Itu sebabnya, persistensi dan usia politik koalisi tak bertahan lama. Hanya waktu yang bisa membuktikan, KMP masuk kategori mana. Memerjuangkan kepentingan bangsa-negara, atau sebaliknya merepresentasikan kepentingan elite-oligarkis?

Sepintas, rivalitas KMP versus KIH bagaikan perseteruan blok Barat versus blok Timur dalam Perang Dingin (cold war). Di ujung perseteruan, blok Barat penganut liberalisme-kapitalisme menang. Kehancuran blok Timur bukan karena serangan senjata lawan, melainkan karena pembusukan dari dalam. Blok Timur bangkrut karena proses retrogesi (pemburukan) dan pelapukan politik secara internal. Jika tak hati-hati, KMP bisa bernasib sama dengan blok Timur.

Butuh KMP

Demokrasi yang sehat tak hanya membutuhkan adanya koalisi pemerintah, tapi juga koalisi penyeimbang. Prinsipnya, demokrasi butuh proses checks and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Demikian pula hadirnya Parpol penyeimbang konstruktif bagi penguatan demokrasi. Itu berarti, pemerintahan Jokowi-JK butuh Parpol penyeimbang untuk mengontrol-mengoreksi kinerja pemerintah.

Lord Acton berucap, "Power tends to corrupts, absolute power corrupts absolutely". Tesis ini bisa ditafsirkan, kendati pemimpinnya adalah "malaikat" sekalipun, jika tanpa kontrol, kekuasaan bisa mengubahnya menjadi "setan". Sebaliknya, jika yang memimpin "setan" sekalipun, jika terus diawasi, "setan" akan jadi "malaikat". Merujuk tesis Acton, demi sehatnya demokrasi Indonesia, pemerintahan Jokowi-JK jelas butuh KMP. Namun, KMP seperti apakah yang dibutuhkan Jokowi-JK?

Idealnya, KMP hadir sebagai kekuatan penyeimbang pemerintah yang memainkan peran kritis-konstruktif-solutif. Jika kebijakan Jokowi-JK salah arah, KMP wajib mengritisi. Sebaliknya, KMP harus mendukung jika kebijakan Jokowi-JK on the right track. Dukungan atau penolakan KMP tidak bisa membabi-buta, atau semata karena alasan like/dislike, apalagi sekedar balas dendam politik, melainkan mesti atas dasar logika dan etika, bahkan estetika, mengingat politik adalah juga seni. Politik akal sehat harus dimuliakan.

Sayangnya, KMP lebih berperan sebagai "kekuatan penghambat", bukannya "kelompok penekan" atau "kekuatan penyeimbang". Semua yang berasal dari pemerintahan Jokowi-JK cenderung dihambat KMP. Ini jelas tidak sehat bagi pembangunan demokrasi. Jika KMP terus menjalankan gaya politik menghambat, bukannya mendulang simpati, rakyat justru makin antipati terhadapnya.

Untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadapnya, KMP harus mampu mentransformasi perannya dari koalisi penghambat menjadi koalisi penyeimbang pemerintah. Masa depan KMP juga sepenuhnya ditentukan oleh KMP sendiri, apakah sungguh memerjuangkan kepentingan negara atau semata menjadi alat politik demi melayani kepentingan elite-oligarkis? Jangan sampai kepentingan lebih besar dikorbankan oleh kepentingan segelintir elite. 
Sumber: Victory News, 9 Januari 2015
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger