MAU jadi apa dirimu, maka kamu harus menulis.
Begitulah setidaknya disampaikan oleh Putu Oka Sukanta saat menjadi guru dalam
kelas menulis yang diadakan oleh Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker), di
Kantor Percik Jakarta, beberapa waktu yang lalu.
Sastrawan kelahiran
Singaraja, Bali, pada 1939 lalu ini menyampaikan hampir semua profesi didapat
tanpa tulisan (baca: menulis). Paling tidak, menurutnya, mahasiswa harus
menulis skripsi untuk bisa meraih gelar sarjana, thesis untuk gelar master, dan
disertasi untuk menyandang gelar profesor.
“Semuanya hanya
bisa didapat melalui tulisan. Bahkan serang penulis dikatakan penulis karena ia
menulis,” imbuhnya.
Tapi menulis,
lanjutnya, bukan hanya untuk meraih gelar. Apalagi hanya untuk mencari uang
atau popularitas. Pria yang sempat dipenjara oleh Soeharto karena aktivitas
menulisnya di LEKRA ini menegaskan, bahwa menulis adalah sarana efektif untuk
berjuang dan melawan penindasan.
“Dengan predikat
napol, satu-satunya aktivitas yang saya bisa lakukan adalah menulis. Dari
menulis inilah saya menuangkan pemikiran-pemikiran dan gagasan saya untuk
melawan penguasa yang menindas,” demikian ucap pria yang pernah menjadi
jurnalis ini.
Karena itu, Putu
yang juga ahli akupuntur ini yakin bahwa salah satu elemen terpenting untuk
menulis adalah memiliki atau ideologi. Ia bahkan tidak percaya, ada penulis
yang tidak berideologi atau berpolitik.
Semua sastrawan, menurutnya, pasti
memiliki ‘way of thinking’ yang tentu sudah hadir di dalam otaknya dan
mempengaruhi tulisan-tulisan yang lahir.
“Ada yang
ideologinya kapitalis, ada juga yang sosialis. Semua sastrawan pasti punya.
Kalau penulis itu bilang tidak suka politik (tidak punya ideologi), berarti
itulah politik penulis itu. Saya sendiri menyebut pribadi saya sebagai aktivis
penulis dan penulis yang berpolitik,” sambungnya.
Berlandaskan ini,
Putu yang karyanya banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa ini mengajak semua
orang untuk mulai mencintai dunia penulisan. dan menjadikan politik sebagai
panglima dalam aktivitas tulis.
Sehubungan dengan wawasan “politik adalah
panglima” itu, ia mencatatkan apa yang di lingkungan LEKRA kemudian dikenal
dengan kombinasi satu lima satu (1-5-1).
Kombinasi yang
dimaksud Putu ini ialah, ‘Meluas dan Meninggi’, ‘Memadukan Tradisi yang Baik
dengan Kekinian Yang Revolusioner’, ‘Tinggi Mutu Artistik, Tinggi Mutu
Ideologi’, ‘Memadukan Realisme Revolusioner dengan Romantisme Revolusioner’ dan
‘Memadukan Kreativitas Individual dengan Kearifan Massa.’
“Untuk melaksanakan
5 kombinasi ini harus melalui cara turun ke bawah (bergabung dengan
masyarakat-red),” jelasnya.
Dengan kombinasi
ini pula, ia menyimpulkan tugas pengarang selain menjadikan tulisan atau
karangan untuk melakukan penyadaran (di samping juga menjadi media hiburan dan
edukasi), adalah menggali serta mengungkapkan esensi di belakang fenomena.
Dicontohkannya, bila ada buruh demo,
seorang penulis mungkin bisa menulis dampak dari demo semisal macet,
orang tidak bisa berangkat kerja dan lainnya.
“Tapi bagi orang yang bisa
menggali, dia akan menulis bahwa buruh demo karena lapar. Titik itu, bukan
main-main orang turun ke jalan. Penulis harus menggali fenomena, bukan hanya
melihat kulit kejadian saja. Kalau hanya melaporkan, itu tugasnya jurnalis,”
ujarnya.
Pada kesempatan
itu, pria yang sudah menulis puluhan buku ini mengungkapkan keprihatinannya
atas minat orang, termasuk aktivis, untuk menulis. Ia membantah anggapan
menulis itu susah, dan jamaknya orang yang enggan menulis dengan alasan tak
punya bakat.
“Kedua orang tua
saya buta aksara. Kalau menulis karena bakat, berarti saya tidak akan jadi
penulis,” katanya.
Selain itu, ia
mengaku bukan seorang lulusan fakultas sastra yang berarti penulis tak harus
jebolan bangku sastra. Tapi, diakuinya pendidikan sastra luar sekolah melalui
komunitas atau perseorangan bisa jadi cukup berperan dalam aktivitas
penulisannya.
“Mayoritas penulis
yang saya temui malah bukan berasal dari fakultas sastra. Mayoritas dari mereka
juga mulai menulis pada usia muda atau golden era,” sampainya.
Lalu apa saja
langkah dan jurus untuk bisa menulis? Putu menerangkan, tulisan harus dimulai
dari hal (obyek) terdekat dengan kehidupan pribadi. Pasalnya, sesuatu yang
dekat dengan kehidupan pribadi akan lebih mudah untuk ditulis daripada obyek
jauh, terlebih obyek yang tak pernah dilihat penulis.
Secara subyek,
lanjutnya, menulis harus dijadikan sebagai aktivitas yang menyenangkan.
Menumbuhkan minat untuk menulis dimana saja dan kapan saja juga sangat penting,
sepenting kemampuan menggunakan kemampuan berkhayal. Dilanjutkan dengan tidak
takut gagal dan penggunaan gaya bahasa yang indah agar tulisan bisa diterima
(enak dibaca orang).
“Pendukungnya,
pelajari beberapa teori semisal teori pengembangan tokoh (personifikasi). Ini
bisa didapat dengan membaca atau mempelajari teori sastra kreatif,” tambahnya.
Dia juga menjawab
jamaknya calon penulis yang bingung menentukan darimana memulai tulisan sastra
kreatif. Dikatakan Putu, pemilihan pintu masuk bisa dipilih dari masa lalu,
masa kini dan masa depan. Terpenting, menurutnya, pembukaan harus memikat dan
melahirkan rasa ingin tahu pembaca.
“Untuk penutupnya,
harus mengejutkan atau memberikan surprise. Caranya adalah menyisakan
pertanyaan pembaca. Sehingga, orang akan teradiksi untuk terus membaca tulisan
kita,” tutupnya.
Sumber: berdikarionline.com, 31 Desember 2014
Ket foto: Putu
Oka Sukanta

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!