Oleh
Franz Magnis-Suseno
Rohaniawan
DI harian Kompas (9 Januari 2017), Daoed Joesoef
mengajukan argumentasi bahwa meskipun 142 negara sudah menghapus hukuman mati,
hukuman mati tetap harus dilaksanakan sebagai hukuman atas kejahatan-kejahatan
luar biasa.
Saya tidak
masuk uraian panjang lebar beliau tentang jahatnya bandar narkoba, terorisme,
dan radikalisme agama. Yang langsung mengherankan saya, betapa gampang beliau
menyingkirkan implikasi kinerja buruk aparat hukum kita.
Di Amerika
Serikat saja, di abad lalu, sekurang-kurangnya 20 orang salah dieksekusi. Nyawa
orang yang dicabut tidak bisa dikembalikan. Mengeksekusi orang yang salah atas
nama hukum adalah justizmord, pembunuhan yustisial. Apakah dua, tiga orang
salah dieksekusi per tahun "tidak apa-apa"?
Dalam tulisan
itu, Daoed Joesoef menyatakan bahwa hukuman mati memang belum mengurangi
kriminalitas, tetapi bukan berarti tidak punya efek jera. Semua kriminalis yang
tertangkap dan terbukti bersalah minta ampun. Yang tidak jera adalah kriminalis
yang belum tertangkap. Mereka nekat berbuat salah yang terancam hukuman mati,
berhubung iming-iming untung besar jika tidak sedang apes. Mereka bertindak
sesuai teori peluang (probability theory).
Catatan
penulis bahwa yang tidak jera adalah yang "belum tertangkap"
mengundang pertanyaan. Bukankah daya jera diharapkan efektif terhadap mereka
yang masih bisa melakukan kejahatan? Fakta bahwa hukuman mati tidak mengurangi
kejahatan narkoba dengan sendirinya berarti bahwa gawatnya masalah narkoba
tidak dapat membenarkan hukuman mati.
Penulis membandingkan
penghapusan hukuman mati dengan apa yang akan terjadi jika suatu negara
"mendeklarasikan bahwa apa pun tidak akan mendorongnya berperang",
yaitu "cepat atau lambat (negara itu) akan menjadi sasaran rezim angkara
muka". Memang demikian. Seperti orang berhak membela diri jika diserang,
seperlunya dengan mematikanpenyerang. Negara berhak berperang kalau itu perlu
untuk membela diri. Etika mengenal "perang yang adil".
Akan tetapi,
hukuman mati menyangkut orang yang sudah tidak mampu mengancam. Catatan penulis
bahwa tanpa hukuman mati "masyarakat...akan menjadi bulan-bulanan penjahat
yang seenaknya membunuh…" sulit saya mengerti dan sama sekali tidak
didukung oleh pengalaman negara-negara yang telah menghapus hukuman mati.
Argumen inti
penulis adalah jika hukuman mati dicabut, si pembunuh (dan penjahat lain) tahu
bahwa kejahatan apa pun yang akan dilakukannya, "miliknya paling berharga,
yaitu hidupnya sendiri, tetap terjamin". Padahal, "dia sendiri
melenyapkan hak hidup orang lain". Apakah karena pembunuhan dapat
didahului penyiksaan sadis, penyiksaan sadis sebagai hukuman lantas juga mau
dibenarkan?
Salah
satu kemajuan dalam kesadaran umat manusia adalah hukuman yang dijatuhkan atas
pelanggaran norma hukum tidak boleh dilihat sebagai pembalasan. Lex talionis
klasik (gigi demi gigi, mata demi mata, nyawa demi nyawa) sekarang ditolak.
Pembalasan merendahkan sang pembalas ke tingkat penjahat yang dibalas. Kita
sudah mengatasi paham bahwa karena si pembunuh berbuat jahat, kita harus
berbuat jahat juga kepadanya. Hukuman adalah sanksi yang ditetapkan oleh
komunitas (dalam hukum pidana) terhadap pelanggar hukum. Bentuk sanksi tak ada
kaitan dengan bentuk kejahatan. Namun, berat sanksi ada kaitan dengan berat
kejahatan.
Kesadaran etis
dan HAM
Dasar tuntutan
penghapusan hukuman mati adalah kesadaran etis bahwa mencabut nyawa orang (di
luar keperluan pembelaan diri langsung) melampaui wewenang manusia. Nyawa orang
adalah suci, termasuk nyawa penjahat. Suci karena setiap manusia secara pribadi
dipanggil ke dalam kehidupan oleh Sang Pencipta dan karena itu hanya Sang
Pencipta yang berwenang mencabutnya kembali.
Bahwa semua
agama pernah mengizinkan hukuman mati, perlu dilihat sebagai pedagogi Ilahi:
manusia secara alami kasar dan bernafsu dendam. Hukuman mati merupakan langkah
pertama mengharamkan pembunuhan sebagai pembalasan dengan batasan kasus berat.
Kemudian apa yang boleh dikenai hukuman mati terus diperciut. Tujuan pedagogi
dekasarisasi manusia itu adalah kesadaran bahwa manusia sama sekali tidak
berhak mencabut nyawa orang.
Penulis juga
mengingatkan bahwa selain hak asasi manusia juga ada kewajiban asasi manusia
(yang membingungkan: beliau melawankan "the rights of man" terhadap
"the rights of others", apa the others tidak termasuk man?). Itu
tentu benar. Kewajiban asasi sudah ada sejak ribuan tahun dan dalam rezim apa
pun dan pelanggarannya dihukum. Namun, modernitas —ancaman kesewenangan negara
yang merasa berdaulat dan stomwals perekonomian kapitalis yang memberi jalan
bebas kepada pihak yang kuat— menunjukkan bahwa jika mereka yang lemah tidak
dapat menuntut hak mereka, mereka akan terlindas.
Itulah dasar
kesadaran akan hak asasi manusia. Hak-hak asasi merincikan segi-segi kehidupan
manusia yang jika dilanggar martabat manusia sebagai ciptaan khusus Allah
dihina. Dengan pengakuan hak-hak yang demi kepentingan masyarakat tidak boleh
dilanggar, masyarakat memberikan perlindungan efektif terhadap keutuhan
kemanusiaan mereka yang miskin, lemah, tidak dipandang, minoritas, dan
lain-lain. Karena itu, hormat terhadap hak asasi manusia merupakan tolok ukur
solidaritas suatu masyarakat terhadap saudara mereka yang paling lemah.
Sebenarnya
melawankan kewajiban asasi terhadap hak asasi tidak masuk akal. Setiap
kewajiban asasi —misalnya anak harus dilindungi— dapat juga dirumuskan sebagai
hak asasi anak untuk dilindungi. Misalnya, hak asasi atas "bertempat
tinggal" (UUD 28H [1]) secara otomatis merupakan kewajiban asasi untuk
tidak membuat orang menjadi tidak bertempat tinggal.
Kesimpulan
saya: selama penghapusan hukuman mati belum dapat disepakati,
sekurang-kurangnya harus ada moratorium. Hukuman mati bukan a necessary evil.
It's just evil.
Sumber: Kompas, 16 Maret 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!