Oleh Eduardus Lemanto
Alumnus Program Magister Filsafat STF Driyarkara
SOROTAN Sorotan utama dan dominan dalam pelbagai kasus korupsi, termasuk dugaan
penyelewengan dana KTP-el yang melibatkan politisi beberapa parpol besar,
adalah pemerintah dan KPK.
Dari pemerintahan
SBY sebagai eksekutor program KTP elektronik hingga pemerintahan Jokowi-Kalla
yang diberi pekerjaan rumah untuk membereskan kasus korupsi tersebut. Kendati
menjadi tugas pemerintah dan KPK, kita tak boleh lupa menempatkan posisi
partai-partai politik dalam megakorupsi tersebut. Apalagi para pelaku
megaskandal itu lebih banyak dari parpol-parpol. Karena dominan dari kader
parpol, upaya pemberantasan korupsi bukan semata pekerjaan pemerintah dan KPK,
melainkan juga tugas parpol.
Bicara korupsi dan
koruptor di negeri ini niscaya bicara parpol. Banyak koruptor bersarang di
parpol. Koruptor bagai ranting atau bahkan buah dari pohon korupsi, yakni
parpol. Karena itu, parpol harus juga jadi bidikan utama dalam upaya
pembersihan KKN. Mengapa? Parpol, kendati tak semua, kerap berubah jadi
"perusahaan politik atau bisnis politik". Karena ia berubah jadi
perusahaan, rumus kerjanya adalah berwatak bisnis: hitungan untung-rugi,
jual-beli, dan seterusnya.
Karena berwatak
bisnis, konsekuensinya tidaklah kecil. Elite- elite parpol dipandang sebagai
bos. Parpol pun bermetamorfosis jadi partai berpusat pada bos: boss centered party. Akibatnya, yang
lahir dari parpol adalah pegawai politik (white
collar politician); mereka yang memanfaatkan politik dan parpol sebagai
lapangan pekerjaan. Parpol pun dijadikan ladang bisnis untuk keuntungan
pribadi.
Masalahnya, jika
politisi mengerdilkan politik dan parpol sebagai ladang bisnis, urusan
keuntungan pribadi atau kelompok secara otomatis ditempatkan sebagai prioritas.
Dari sana lahir praktik-praktik kotor, seperti korupsi. Korupsi adalah wujud
terburuk dari persaingan bisnis dan keuntungan, baik bagi perorangan maupun
partai.
Persaingan itu
persaingan tak sehat yang mengerdilkan makna politik dari karya publik dan
ruang dedikasi menjadi kerja pribadi dan ruang bisnis. Posisi politisi pun tak
ada bedanya dengan pegawai kantoran (white
collar workers) kendati dimanteli visi-misi parpol yang jarang
mengesampingkan jargon demokrasi, seperti keadilan, kesejahteraan, dan kebaikan
rakyat.
Tantangan bagi
parpol, sekaligus sikap yang harus diambil, adalah perombakan total
kelembagaan. Perombakan kelembagaan adalah fondasi bagi perombakan dan
penertiban bagi para kader. Kualitas kader sangat ditentukan kualitas partai
secara kelembagaan. Itu rumus sederhana menuju pengambilan sikap tegas terhadap
kader korup.
Korupsi yang
melibatkan kader-kader parpol merupakan kecelakaan politik terberat bagi partai
bersangkutan. Parpol hanya akan memperburuk wajahnya sendiri jika ia bersifat
reaktif. Artinya, kehadiran parpol lebih condong sebagai penanggap atas tuduhan
dugaan korupsi terhadap kadernya. Lebih celaka lagi jika parpol hadir sebagai
pembela oknum kader yang terjungkal dalam kejahatan luar biasa itu.
Sanksi tegas
Posisi parpol yang
diharapkan publik adalah bersifat aktif. Artinya, ia didorong mengafirmasi
kerja pemerintah dan aparat penegak hukum dalam pembersihan korupsi. Posisi
aktif itu dilakukan dengan dua jalan. Pertama, afirmasi eksternal. Dalam hal
ini, parpol berpartisipasi secara aktif dalam kerja pemerintah menyelesaikan
kasus korupsi dan penindakan terhadap koruptor. Kedua, afirmasi internal di
mana parpol aktif membersihkan kader yang terjerat kasus korupsi dari dalam
partai sendiri. Jika tak demikian, parpol akan terus terjungkal ke dalam,
meminjam ujaran George Washington dalam pidato perpisahan kepada bangsa Amerika
di akhir masa jabatannya, the baneful
effect of the spirit of party, dampak destruktif semangat kepartaian.
Dampak destruktif
itu berwujud ketaatan buta: salah atau benar, kader partai harus tetap dibela.
Padahal, partai adalah jembatan penghubung rakyat kepada pemerintah, diharapkan
mampu memenuhi tuntutan rakyat yang sudah gerah dengan perilaku korup para
politisi yang gemar memakan uang rakyat.
Jadi, sikap yang
dibutuhkan dari parpol saat ini adalah bagaimana mereka meyakinkan rakyat bahwa
koruptor tak mewakili parpol. Upaya meyakinkan itu hanya bisa diterima
masyarakat jika parpol berani dan mau berpartisipasi aktif bersama pemerintah
menelanjangi perilaku korup kadernya. Hanya dengan cara itu eksistensi parpol
bisa langgeng dalam pentas politik.
Akhirnya, yang
perlu dicatat parpol adalah bahwa standar normal bobotnya diukur dari seberapa
banyak kader berkualitas mengisinya, baik secara intelektual, mental, maupun
karakter. Namun, standar luar biasanya terletak pada seberapa serius ia
membersihkan diri dari benalu politik, yakni kader yang memanfaatkan parpol
sebagai lapangan meraup keuntungan pribadi. Koruptor adalah benalu parpol, yang
meranggaskan pohon politik secara keseluruhan dan yang memperalat parpol semata
sebagai sapi perahan.
Parpol didorong
untuk terus mengatasi tabiat destruktifnya, seperti yang pernah dikatakan oleh
Peter Merkl, bahwa politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan
kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri. Jadi, parpol
wajib berpartisipasi aktif membersihkan korupsi dengan menindak tegas
kader-kader yang bermasalah.
Sumber: Kompas, 17 Maret 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!