Oleh Asep Salahudin
Wakil Rektor Bidang Akademik IAILM Tasikmalaya;
Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat
DALAM sebuah dramanya, "Pintu Tertutup
(Huis Clos), Sartre menahbiskan "Neraka adalah orang lain", L'enfer
c'est les autres.
Ungkapan ini dalam
konteks keindonesiaan akhir-akhir ini menarik untuk direnungkan betapa
sesungguhnya akar kekerasan dan konflik itu secara hakiki berangkat dari sebuah
pandangan artifisial ketika menempatkan orang lain di luar dirinya sebagai
"neraka" sehingga kemungkinan menghadirkan tampilnya keadaban hidup
menjadi kecil. Layaknya penghuni "neraka", maka stigma yang pantas
disematkan adalah kafir, munafik, bidah, sesat, dan gambaran menyeramkan lain.
L'enfer c'est les
autres sebagai bentuk gelap relasi sosial karena yang berkecamuk dalam isi
kepala adalah pembayangan bahwa kepentingan diri dan kelompok jauh lebih
penting di atas kepentingan lain, kepentingan partisan mengalahkan kebersamaan.
Orang lain dalam pemahamannya bukanlah subyek yang harus mendapatkan pemuliaan
sebagaimana mestinya, tetapi tak lebih obyek yang wajib selamanya dicurigai dan
atau dieksploitasi habisan-habisan untuk menghamba terhadap kepentingannya.
Di tikungan ini,
sesungguhnya politik mobilisasi bergerak. Orang lain tak lebihhanya kerumunan
massa anonim dan impersonal yang harus dikendalikan untuk melayani nafsu
kepentingannya. Kepentingan itu bisa bersifat atas nama keagamaan atau politik
atau politik berjubahkan agama. Yang terakhir biasanya yang paling mudah
diterapkan karena isu agama yang paling gampang menggerakkan massa, apalagi di
negara dengan tingkat melek aksara dan politik yang sangat minim.
Maka, bisa dipahami
seandainya sosiolog Ibnu Rusydi sampai pada kesimpulan bahwa dalam kerumunan
massa yang dominan bukan kerja nalar, tetapi emosi; bukan argumentasi yang
berjalan, tetapi sentimentalisme kejiwaan yang melayang-layang tak karuan;
bukan akal budi, tetapi akal bulus. Individu yang larut dalam kejamaahan
biasanya lepas dari otonomi dirinya dan yang tersisa adalah sebuahgambaran tak
ubahnya karnaval bebek yang digiring tuannya dengan langkah dan suara yang
seragam, patuh, pasif, dan nyaris tanpa inisiatif.
Apa yang
disampaikan tuannya pasti benar dan harus selalu benar. Perilaku tuannya,
walaupun keliru, dicarikan alasan pembenarannya karena sejak awal sudah
diyakini suci dan keturunan orang-orang suci.
Kehadiran bersama
Tentu saja dalam
konteks keindonesiaan yang heterogen yang diperlukan bukan pandangan
politik-keagamaan yang partisan dan selalu menatap "lian" sebagai
neraka, tetapi justru kebalikannya. Orang lain adalah surga. Indonesia
dikatakan Indonesia karena keragamannya yang tak tepermanai. Karena ada Sunda,
Minang,Jawa, Makassar, Batak, Bali, dan lain sebagainya yang sudah bersepakat
mengikatkan diri dalamNKRI lengkap dengan budaya, bahasa, dan kepercayaannya
yang berbeda.
Kesempatan
perjumpaan dengan liyan adalah momen-momen berharga untuk semakin mendewasakan
kedirian kita. Prinsipyang harus dikedepankan adalah peneguhan bahwa liyan
merupakan jembatan untuk mencapai transendensi. Atau dalam istilah Marcel,
kehadiran orang lainsebagai "ada" yang wajib dan tak terelakkan agar
kita bisa mencapai wujud eksistensi paling hakiki. Relasi dengan liyanselalu
mengandung arti "ada bersama", esse est co esse.
Seseorang bisa
mengenal dirinya tidak dengan cara menafikan liyan, apalagi membuat orang lain
tak berdaya karena keterampilan kita berbohong, kecermatan berdusta, ngomong
berbusa-busa lewat toa, dan memanipulasi fakta dan menyelewengkan tafsir agama,
tetapi justru pengenalan diri itu harus dilakukan lewat kesediaan membuka
terhadap kehadiran yang lain. Diri yang otentik itu diletakkan dalam makam sikap
perlakuan baik terhadap yang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan orang lain
dengan baik, jujur, dan penuh penghormatan.
Ziarah diri dalam
menuju kebersamaan luhur dan persekutuan jujur ini tentu saja mensyaratkan
terpenuhinya tiga imperatif dari sikap zuhud. Pertama, kesediaan melepaskan
egosentrisme. Kedua,menanggalkan watak-watak merasa benar sendiri. Ketiga,
kesanggupan untuk tidak pernah memonopoli kebenaran. Atau, dalam istilah Marcel
sebagaimana dikutip Mathias Haryadi (1994), hubungan antarpribadi yang otentik
seperti itu mengandaikan terlibatnya cinta yang bisa menyatukan
"aku-engkau" menjadi kita.
Cinta yang menandai
hubungan intersubyektif itu tampil secara nyata dalam sikap batin berupa: pertama,
kerelaan untuk terbuka (disponibilite); kedua, kesediaan untuk terlibat
(l'engagement), dan ketiga, kesetiaan untuk selalu memperbarui hubungan
itu (fidelite creatrice).
"...Jika orang
lain tidak ada, maka aku pun tidak ada lagi. Aku tidak dapat bereksistensi kalau
orang lain juga tidakbisa demikian. Kesempatan-kesempatan dan pertemuan dengan
orang lain bukanlah merupakan fakta yang kontingen —jadi yang bersifat ada dan
boleh tidak ada— melainkan fakta yang inheren pada cara kita bereksistensi,
yaitu berada di dunia, hidup di dunia"
Jangkar utama
Cinta sebagai
jangkar utama relasi antarpribadi itu dilangsungkan dan dibina. Cinta sebagai
undangan yang dialamatkan kepada kita untuk dipenuhi setiap saat karena di
dalamnya menjanjikan tergelarnya tindakan politik penuh kebajikan, ekonomi yang
dikelola secara merata, hukum yang memberikan kepastian tegaknya keadilan.
Apalagi, dalam
konteks agama cinta sudah sangat jelas merupakan substansi dari kepercayaan.
Diturunkannya Nabi Muhammad adalah "menebarkan cinta kasih kepada seru
sekalian alam". Nabi Isa terkenal sebagai pribadi kasih. Sidharta Gautama
melepaskan seluruh kesenangan duniawi demi menyambut fajar kasih sayang.
Rahmatan lil alamin memang diksi Al Quran, tetapi hakikatnya semua agama
mengajarkan hal yang sama hanya menggunakan istilah berbeda.
Dalam bahasa Arab,
cinta terangkum dalam kata hubb atau lebih populer lagi mahabbah. Hubb secara
harfiah artinya biji. Dikatakan demikian sebab cinta merupakan biji dari agama.
Inti kehidupan. Hakikat kebaktian seperti dengan sangat memukau tergambarkan
dalam syair Rumi yang meneguhkan betapa ketika cinta melepuh hal ini sudah
lebih dari cukup untuk menyeret bumi manusia ke tubir kehancuran mengerikan.
Cinta adalah lautan tak bertepi/Langit hanyalah serpihan buih belaka/Ketahuilah
langit berputar karena gelombang cinta: andai tak ada cinta dunia akan membeku.
Kata Sang Nabi,
"Cintailah semua yang ada di bumi, engkau akan dicintai oleh yang ada di
langit." Atau, "Tidaklah beriman seseorang di antara kamu sehingga ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri."
Kalau Rene
Descartes dahulu menyerukan bahwa segala sesuatu harus disangsikan, maka bagi
Hamlet ada pengecualian, yaitu cinta saperti dalam seruannya kepada Ophelia
dalam dramanya William Shakespeare: Sangsikan bahwa bintang-bintang itu
api/jangan begitu sajapercaya matahari itu bergerak/ kebenaran itu tak mustahil
hanyaserpihan dusta/Tapi jangan ragukan cintaku.
Itulah cara
menyikapi kebinekaan. Jika tidak, nasib kebinekaan sedang menuju ke arah gelap:
sebuah arus balik yang tidak kita harapkan bersama.
Sumber: Kompas, 17 Mei 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!