Oleh Paulinus Yan Olla
Rohaniwan Kongregasi MSF;
Lulusan Program
Doktoral Universitas Pontificio Istituto di Spiritualita Teresianum, Roma
SURVEI
Kompas pasca-Pilkada DKI Jakarta telah mengukuhkan soal efektifnya ikatan
berbasis sosial-secara khusus kesamaan ikatan keagamaan dan kelompok suku-dalam
memengaruhi keputusan pemilih (Kompas, 20/4/2017).
Pertanyaannya,
bagaimana di masa depan ikatan sosial-keagamaan dan isu-isu sektarian tidak
lagi digunakan sekadar "batu loncatan" dalam setiap ajang perebutan
kekuasaan? Wacana tentang literasi agama yang telah digulirkan setelah
pertemuan Presiden Jokowi dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar di
Istana Negara (5/4/2017) bisa memberikan inspirasi.
Literasi agama
dianggap sebagai salah satu kunci membendung maraknya perilaku intoleransi
dalam kehidupan masyarakat yang disebabkan dangkalnya pemahaman keagamaan.
Dalam arus wacana
itu, Fathorrahman Ghufron dalam "Menumbuhkan Literasi Agama" (Kompas, 12/3/2017) melihat perlunya
pemahaman keagamaan sebagai kunci utama yang perlu dibenahi agar bisa
memunculkan sikap moderat, toleran, dan progresif.
Untuk mewujudkan
literasi agama disebutkan adanya tiga aspek yang harus ditumbuhkan dalam hidup
penganut agama: (i) memiliki
pemahaman terhadap agama yang dipeluk; (ii)
memiliki pemahaman konteks relasional antara satu agama yang dipeluk dan
agama-agama yang lain; (iii) memiliki
pengetahuan tentang konteks evolusi setiap agama.
Sebenarnya mudah
untuk melihat bahwa ketiga aspek di atas terangkum semuanya dalam aspek yang
pertama. Pemahaman terhadap suatu agama jelas memerlukan pula pengenalan akan
konteks relasional (baca: aspek dialogal) maupun aspek evolusi atau
historisitas agama yang bersangkutan. Sintesis ketiga hal itu menjadi tantangan
bagi bangsa ini jika ingin menggunakan agama-agama secara positif bagi
pembangunan bangsa.
Literasi keagamaan
seperti diungkap Fathorrahman terarah pada pendidikan "warga" pemeluk
agama. Namun, menurut hemat kami, ketiga aspek yang disebutkan merupakan suatu
rujukan yang ideal dan bisa jadi tuntutan itu "terlalu tinggi" bagi
warga kebanyakan. Selain itu, masuknya agama di ruang publik perebutan
kekuasaan tidak selalu berpangkal pada ketidakpahaman keagamaan rakyat jelata.
Indonesia yang
mendefinisikan diri sebagai "bukan negara agama", tetapi juga
"bukan negara sekuler", sebenarnya ditantang untuk pertama-tama
membenahi literasi keagamaan para pemimpin agama maupun pemimpin politisnya.
Keberagaman keagamaan yang dimiliki negeri ini bagaimanapun akan menghadapkan
setiap pemimpin agama atau tokoh kenegaraan pada persoalan literasi keagamaan.
Agama sering dipolitisasi bukan oleh rakyat kebanyakan, tetapi oleh para elite
pemimpin.
Setelah Pilkada
DKI, para pemimpin "dipaksa" merajut kembali jalinan relasi sosial
yang terkoyak oleh politik identitas yang "kebablasan". Masyarakat
telah telanjur terpolarisasi berdasarkan identitas primordial yang bisa makin
melemahkan demokrasi. Bagaimana menumbuhkan literasi keagamaan para pemimpin
agar dapat membantu merawat keberagaman yang menjadi jati diri bangsa
Indonesia?
Tak terelakkan
Pertama-tama perlu
sungguh disadari, literasi keagamaan para pemimpin merupakan suatu kondisi sine qua non (baca: tak
terelakkan/wajib) sebelum rakyat dibantu "melek" keagamaan. Para
pemimpinlah yang harus pertama-tama dan terutama memiliki ketiga aspek seperti
dirumuskan di atas. Terjadinya banyak perdebatan antarpemimpin agama tentang
tafsiran doktrinal atas "kasus-kasus" tertentu memperlihatkan betapa
mendasarnya tuntutan literasi agama para pemimpin agama maupun pejabat publik.
Situasi Indonesia yang plural menantang literasi keagamaan para pemimpin.
Salah satu jalan
menjawab tantangan itu adalah mendorong para elite pemimpin agama dan bangsa
mewujudkan apa yang diwacanakan sebagai "integritas terbuka" dalam
dialog antaragama. Yang dimaksudkan integritas terbuka adalah pengakuan akan
keunikan, kebebasan, klaim-klaim kebenaran, dan inti kepercayaan dan keyakinan
masing-masing agama (bdk, Gerardette Philips, 2016).
Literasi keagamaan para pemimpin yang mengadopsi pendekatan "integritas terbuka" akan membantu terciptanya kohesi sosial warga negara dengan mengakui perbedaan dan hal-hal sensitif agama lain tanpa niat mengubahnya. Perbedaan seharusnya mendorong pada dialog dan bukannya disembunyikan demi harmoni sosial yang palsu.
Pemimpin dunia
seperti Paus Fransiskus menerapkan pendekatan "integritas terbuka"
itu dalam hidup keagamaannya. Ia mendatangkan pengungsi dari Suriah dan memberi
mereka status sebagai "warga negara" Vatikan tanpa niat mengubah
keyakinan iman mereka.
Ia "membasuh
kaki" perempuan Muslim untuk mengungkapkan bahwa "pelayanan"
adalah salah satu aspek utama ajaran keagamaan. Tindakan menolak atau
mendiskriminasi para pengungsi berdasarkan identitas sosialnya merupakan pula
bentuk illiteracy (baca: kedunguan)
keagamaan yang dikritik Paus karena tidak koheren dengan nilai-nilai keagamaan
di Eropa.
Literasi keagamaan
pemimpin agama yang berpola "integritas terbuka" akan menjadi
inspirasi bagi siapa pun untuk tak menyangkal kebenaran agama sendiri untuk
memahami klaim kebenaran mitra dialognya. Di sana diciptakan ruang perjumpaan
bagi keyakinan yang dipegang teguh diri sendiri dan orang lain. Ada sikap
saling menghormati dalam perbedaan serta menerima perbedaan sebagai kekayaan
dan bukan kutuk.
Sumber: Kompas, 8 Mei 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!