Oleh Yonky Karman
Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi
Jakarta
NASIONALISME yang bersemi pada 1908 jadi tonggak kesadaran baru
perlunya Indonesia bangkit menjadi bangsa bermartabat. Rasa kebangsaan itu
mencapai puncak dengan maklumat "kami bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaan Indonesia".
Selama
beberapa puluh tahun, elemen-elemen kepemudaan, kesukuan, keagamaan, ideologi,
dan profesi terlibat aktif dalam pembentukan identitas kebangsaan. Politik
pecah belah penjajah tidak dapat membendung hasrat bersatu putra-putri
Indonesia.
Setelah seabad
Kebangkitan Nasional, nasionalisme Indonesia masih ambigu. Apabila di luar
negeri, kita memperkenalkan diri, "Saya orang Indonesia." Menambah
identitas primordial kesukuan atau keagamaan tidak diharapkan, juga tidak
relevan. Di luar negeri, kita hanya menonjolkan identitas keindonesiaan. Namun,
di dalam negeri, kita mudah menonjolkan identitas unsur-unsur keindonesiaan dan
membangun sentimen primordial.
Atas nama
demokrasi, kesadaran beragama diungkapkan secara berlebihan sehingga merusak
kesatuan bangsa. Nasionalisme yang kompatibel dengan negara-bangsa adalah
rajutan anak bangsa dari unsur komunitas agama, ilmuwan, pekerja seni, musisi,
pelukis, usahawan, kaum profesional dari semua orang Indonesia.
Nasionalisme
Pancasila
Meski sebagian
besar orang Indonesia beragama, kebangsaan tidak identik nasionalisme religius.
Atribut religius membuat nasionalisme didefinisikan sepihak oleh yang beragama,
oleh yang beragama mayoritas di suatu wilayah, yang beraliran agama arus utama,
yang mengklaim diri lebih religius karena status dan pendidikan.
Hubungan
negara dan agama sudah selesai pada tataran konstitusional, tetapi lain
dinamikanya pada tataran praktis. Para pendiri republik menghindar dari pilihan
negara sekuler atau negara agama, dengan negara Pancasila. Itu bukan kemenangan
politik sekuler. Kebanyakan mereka yang tidak setuju dengan ide negara agama
tidak sekuler atau anti-agama, melainkan nasionalis-religius.
Masalah yang
lalu muncul: seperti apa wujud negara Pancasila dalam praktik? Indonesia dalam
praktik pasti tidak pernah sebagai implementasi sempurna Pancasila dalam
keseluruhan ataupun tiap silanya. Pancasila adalah norma-norma ideal. Dalam
istilah Bung Karno, Pancasila adalah leidstar (bintang pimpinan) yang dinamis,
menggerakkan rakyat untuk berjuang, menuntun bangsa saat bergerak, memusatkan
energi bangsa mewujudkan tujuan berbangsa.
Apabila
nasionalisme Pancasila jadi panduan hidup bernegara dan berbangsa, niscaya itu
menjadi magnet bagi partisipasi seluruh warga untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa.
Baik untuk kelompok belum tentu baik untuk bangsa, tetapi baik untuk bangsa
pasti baik bagi kelompok. Praktik kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya
merupakan mosaik implementasi Pancasila sebagai kesatuan yang berkembang dari
waktu ke waktu.
Skor indeks
persepsi korupsi Indonesia (2016) adalah 37 (0 sangat korup, 100 sangat
bersih), peringkat ke-90 (dari 176 negara). Namun, skor China yang komunis
adalah 40, peringkat ke-79. Tentu bukan agama yang jadi salah satu penyebab
korupsi. Itu bukan hanya dua dunia berbeda, prinsip-prinsip juga berbeda. Tentu
ada yang kurang ketika kesadaran beragama menguat berbanding terbalik dengan
kesadaran memusuhi korupsi.
Indonesia
dengan Pancasilanya adalah laboratorium unik hubungan negara dan agama. Dunia
sudah lama mengakui hal itu dan kini semakin menarik perhatian.
Sekolah negeri
di Barat hanya mengajarkan agama sebagai pengetahuan, tetapi sekolah negeri di
Indonesia memfasilitasi pengajaran untuk lebih dari satu agama. Kecurigaan
berlebihan terhadap agama sebagai penghalang sains atau demokrasi tak terbukti
di Indonesia. Radikalisme dan ekstremisme berkembang bukan dari faktor tunggal
agama, melainkan faktor-faktor kompleks.
Wajah kultural
agama
Berbeda dari
cara beragama orang Barat yang rasional, agama bagi kebanyakan orang Indonesia
lebih bersifat kultural dan menjadi bagian dari identitas diri. Apabila teologi
bersifat reflektif-rasional, agama lebih bersifat afektif. Berbagai agama di
Indonesia melebur dengan kultur setempat, tampil beda dari agama di tempat
asalnya.
Pentingnya
agama sebagai bagian dari jati diri bangsa tak perlu dinafikan, terlebih di era
globalisasi. Negara-negara maju di Barat menyadari globalisasi kapital dan
perdagangan yang kini menyengsarakan warga sendiri. Karena itu, gerakan populisme
di Barat menguat. Namun, ancaman globalisasi bagi Indonesia sebagai negara
berkembang adalah hilangnya jati diri bangsa. Kita tidak seperti Jepang, Korea
Selatan, atau Tiongkok yang jadi modern dengan tetap memberikan ruang hidup
bagi akar-akar tradisional. Bahkan, kultur itu melintas batas-batas negara.
Kebudayaan
kita begitu beraneka ragam dan sporadis. Minim perhatian pemerintah untuk
melestarikannya. Setiap budaya daerah dengan kekuatan kecil tak berdaya
menghadapi gempuran masif globalisasi melalui kemajuan teknologi informasi.
Satu- satunya kekuatan kultural yang tak mudah dilibas zaman adalah agama. Di
situ kedudukan strategis agama Islam di Indonesia.
Islam bukan
hanya agama yang dipeluk mayoritas orang Indonesia, melainkan bersama
agama-agama lain membentuk jati diri bangsa. Islam Indonesia dengan wajah
kulturalnya jadi benteng terakhir jati diri bangsa. Bangsa Indonesia, tak hanya
yang Muslim, berkepentingan memelihara wajah kultural Islam di tengah
kekosongan strategi kebudayaan Indonesia. Ketika globalisasi membuat orang
tunggang- langgang mencari tambatan kultural, di Indonesia agama menjadi
tambatan kultural.
Namun, wajah
kultural agama dirusak oleh politisasi agama. Politik kekuasaan cenderung
menghalalkan segala cara. Politisi tidak segan-segan menjadikan agama sebagai
komoditas politik, tak peduli apakah dengan begitu rusak pula marwah agama atau
umat terbelah. Rumah ibadah menjadi tempat berkampanye kehadiran negara untuk
mengoreksi atau memelihara marwah agama.
Politisi
menarik agama ke panggung politik praktis yang dikuasai para pemburu kekuasaan.
Mereka berlindung di balik marwah agama untuk menutupi inkompetensi dan tata
kelola yang buruk. Dengan politik yang melibatkan agama, masuk pula agamawan ke
dalam barisan politik dan memasukkan agama ke dalam kancah politik. Menjadi
janggal ketika agama memicu kegaduhan dan konflik sosial.
Untuk
menyelamatkan marwah agama dan menjaga kesatuan bangsa, negara tidak bisa
berdiam diri membiarkan agama jadi obyek politisasi. Rumah ibadah dan dunia maya
adalah ruang publik. Di situ negara harus hadir secara terukur untuk menjamin
tidak adanya ujaran provokatif. Berulang-ulang dusta tanpa koreksi akan membuat
ada orang yang percaya itulah kebenaran.
Tidak cukup
jadi pengurus negara (negarawan). Tata kelola negara yang baik juga harus
memproduksi politisi yang memegang teguh prinsip luhur politik dan agama, serta
mewakafkan hidupnya untuk kesejahteraan rakyat. Tak banyak politisi seperti
Bung Hatta, yang konsisten: nasionalisme kebangsaan mendarah daging dalam tutur
dan lakunya.
Sumber: Kompas, 22 Mei 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!