Oleh Agus Harimurti Yudhoyono
Alumnus John F Kennedy School
of Government,
Unversitas Harvard, AS
PRESIDEN Joko Widodo berkata akan menggebuk para
pelanggar konstitusi, Rabu (17/5), di Istana Negara. Ini pernyataan paling
keras yang pernah dilontarkan Presiden Jokowi di era kepemimpinannya.
Beberapa media
nasional bahkan mengulas penggunaan kata gebuk yang dinilai angker. Kata gebuk
ini juga pernah digunakan Presiden Soeharto pada 1989 dengan konteks yang sama,
menggebuk pelanggar konstitusi.
Apa artinya jika
kepala negara memberi peringatan keras seperti itu? Harus diakui, saat ini kita
sedang menghadapi ujian demokrasi dan kebangsaan.
Soal kebinekaan
Akhir-akhir ini,
kita melihat media massa didominasi oleh pro-kontra soal kebinekaan.
Sebenarnya, ini wacana yang baik menjelang Hari Kebangkitan Nasional. Namun,
wacana kebinekaan yang hiruk-pikuk ini justru tidak konstruktif.
Mengapa demikian?
Kebinekaan ini dimunculkan sebagai identitas eksklusif kelompok tertentu untuk
membedakan diri dengan kelompok lainnya. Padahal, karakter sejati kebinekaan
adalah inklusif, merangkul semua suku, ras, agama, dan golongan dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahkan, di media
sosial, ada polarisasi tajam antara kubu yang melabel dirinya sebagai bineka
dan yang dilabelkan sebagai tidak bineka. Praktis tidak ada dialog. Hal ini
menunjukkan terjadinya efek yang dikenal sebagai echo chambers. Apa artinya?
Polarisasi membuat setiap kubu hanya mendengar gema suara mereka sendiri.
Kita, yang selama
ini membanggakan persatuan dalam keberagaman, layak bertanya-tanya:
"Akankah persatuan ini langgeng? Apakah keberagaman itu justru jadi sumber
malapetaka bagi generasi mendatang?"
Situasi hari ini
tentu mengusik alam pikiran kita. Seolah-olah negeri ini terbelah menjadi dua
kutub yang saling berhadapan, "Pro-Kebinekaan" versus
"Pro-Islam".
Di satu pihak, ada
yang beranggapan seolah-olah Islam tidak lagi kompatibel dengan nilai-nilai
demokrasi. Sebaliknya di pihak lain, tidak sepenuhnya memahami dan menerima
nilai-nilai kebinekaan. Realitas ini bagaikan api dalam sekam.
Dalam hal ini, saya
berdoa semoga tidak ada pemantik yang akan membuat api membesar dan melalap
segalanya. Cukup sudah kita mengalami kerusuhan-kerusuhan sosial, yang memutus
tali persaudaraan dan kebangsaan seperti di masa lalu.
Kita membaca bahwa
saat ini ada kontestasi yang sengit. Sebagian karena warisan kompetisi politik
nasional tahun 2014 yang belum tuntas. Dampaknya kental mewarnai pemilihan
gubernur DKI Jakarta 2017 kemarin. Warga Jakarta seolah terkunci hanya pada dua
pilihan yang berseberangan.
Manipulasi persepsi
Kontestasi yang
sengit dalam politik itu biasa. Yang luar biasa, kalau itu dilakukan dengan
memanipulasi persepsi publik. Kita melihat produksi informasi menyesatkan
(hoaks), fitnah, dan ujaran kebencian yang meningkat pesat serta tersirkulasi
ke mana-mana, menjangkau hampir semua orang dari berbagai latar belakang, di
mana pun mereka berada, dan seketika.
Volume informasi
melimpah dengan konten berisi sensasi dan kurangnya kemampuan kita berpikir
kritis membuat kita sendiri menjadi bingung. Keadaan bertambah buruk karena
sebagian media massa justru kehilangan kredibilitas sebagai penyampai fakta
yang benar. Apa yang mesti kita kerjakan?
Pertama, pendekatan
persuasif dan edukatif. Semua level kepemimpinan harus berupaya menenangkan
semua elemen masyarakat. Pendekatan paralel, seperti penyelesaian konflik
komunal di Poso dan Ambon, bisa kita adaptasi dalam skala yang lebih luas.
Pejabat pemerintah, tokoh agama dan masyarakat agar berbicara kepada
kelompok-kelompok yang sedang dipenuhi prasangka dan amarah.
Dialog
antarkelompok identitas yang berbeda seperti dilakukan Presiden Jokowi harus
diperbanyak. Ini penting untuk mencari konsensus bersama dengan tetap setia
pada ideologi dan falsafah Pancasila, yang menjadi sumpah para abdi negara,
termasuk prajurit TNI dan Polri.
Jangan mengompori
Jangan ada pejabat
pemerintah, tokoh agama dan masyarakat mengompor-ngompori. Juga, jangan ada
fenomena lilin versus obor. Tenangkan masyarakat, supaya hati dan pikiran
mereka jernih, serta tidak terprovokasi untuk saling berhadapan.
Di samping itu,
media massa mempunyai peran kunci. Penting sekali bagi media massa untuk
berpikir obyektif dalam menyikapi berbagai peristiwa dan opini yang
mengiringinya agar masyarakat paham situasi sebenarnya.
Kedua, penegakan
hukum secara adil. Memang Indonesia negara demokrasi yang menjunjung kebebasan
berekspresi, tetapi bebas bukan berarti bablas. Keadaban kita sebagai bangsa
justru tecermin pada kebebasan yang bertanggung jawab, menjunjung tinggi etika
dan norma hukum, sehingga mencegah munculnya tindakan anarkistis.
Ketiga, sebesar apa
pun masalah kita, mari kita selesaikan sendiri secara bersama. Jangan menjual
isu apa pun ke luar negeri sehingga memancing dunia internasional untuk
mencampuri urusan kita. Toh, mereka juga belum tentu paham akar dan konteks
permasalahannya.
Selain itu, kita
juga wajib waspada terhadap agenda asing yang dapat mengancam kedaulatan bangsa
dan negara.
Mari bersatu
Akhirnya, mari kita
bersatu mendukung pemerintah, tokoh agama dan masyarakat untuk menghadapi ujian
ini. Lakukan rekonsiliasi, jangan menunggu terjadinya konflik, apalagi krisis.
Sebab, satu krisis akan memicu krisis lain, baik politik, ekonomi, sosial,
maupun keamanan.
Kita sendiri dapat
berperan aktif dalam mengatasi potensi konflik ini. Cara paling mudah adalah
berpikir kritis dan bersikap bijaksana. Jangan mudah menyebarkan informasi yang
belum tentu benar. Lihat segala sesuatu dengan jernih dari berbagai perspektif.
Meskipun ada perbedaan cara pandang, dahulukan semangat persatuan dan
persaudaraan, di mana pun kita berada.
Dengan demikian,
persatuan Indonesia akan langgeng dan keberagaman ini menjadi berkah dari Tuhan
Yang Mahakuasa.
Atas rida-Nya, kita
akan berhasil melalui ujian demokrasi dan kebangsaan ini dengan baik, bahkan
insya Allah lebih baik dari para pendahulu kita. Selamat Hari Kebangkitan
Nasional.
Sumber: Kompas, 23
Mei 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!