Oleh W Wempy Hadir
Peneliti Indopolling Network &
Direktur Nation and
Character Building Institute
BEBERAPA politikus mengartikan demokrasi secara
praktis. Misalnya, Presiden Pertama AS, Abraham Lincoln, menegaskan bahwa
demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Namun, secara etimologis, kata demokrasi terdiri dua suku kata, yaitu demos dan
cracy. Demos adalah warga atau warga negara, dan cracy (dari kata Latin, kratos)
adalah kekuasaan/kedaulatan untuk mengatur atau untuk memberlakukan
(aturan-aturan).
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang didasarkan
pada kedaulatan rakyat untuk membangun masa depan mereka sendiri. Lalu,
pertanyaannya adalah masa depan seperti apa yang hendak dibangun? Dan,
bagaiamana seharusnya peran warga dalam demokrasi?
Partisipasi
aktif
Jika kita
sepakat bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat, dapat dipastikan bahwa rakyat ialah subjek dari demokrasi. Kalau rakyat
sebagai subjek dari demokrasi, dia harus/mempunyai peran yang dominan sehingga
demokrasi bisa terwujud. Hal tersebut senada dengan apa yang dikemukan David
Mathews (seorang historian dari Alabama AS) mengatakan seharusnya demkorasi
berbasiskan pada warga. Dengan demikian cita-cita demokrasi yang ideal atau
setidaknya mendekati yang ideal bisa tercapai. Kalau demokrasi berpusat pada
warga, perlu ada kesadaran masyarakat dalam memahami peran warga dalam
demokrasi.
Demokrasi
harus hidup dan tumbuh dalam komunitas yang paling kecil, misalnya mulai dari
dalam keluarga. Keluarga harus menjadi rumah pertama demokrasi diba-ngun.
Bagaimana kita membahas demokrasi yang lebih luas kalau dalam rumah sebagai
komunitas yang kecil saja kita tidak menumbuhkan demokrasi. Setelah demokrasi
tumbuh di setiap keluarga, dia bisa menyebar dalam komunitas kecil dan
selanjutnya merambah kepada komunitas yang lebih besar. Ini merupakan ekologi
demokrasi (mengutip perkataan Mathews, dalam buku Ecology of Democracy, 2014).
Artinya, setiap sendi-sendi kehidupan memiliki ketergantungan satu sama lain.
Jika satunya
sakit/rusak bisa berpengaruh terhadap yang lain. Jika warga tidak
berpartisipasi aktif dalam demokrasi, dipastikan mereka akan menjadi objek dari
demokrasi dan dieksploitasi kelompok kepentingan tertentu yang tidak sejalan
dengan demokrasi. Selain itu, partisipasi warga dalam demokrasi akan tumbuh
dengan baik manakala ditopang berbagai faktor. Salah satu faktor yang
berpengaruh ialah pendidikan. Dalam demokrasi sangat mutlak dibutuhkan
masyarakat komunikatif. Dalam masyarakat komunikatif sangat dimungkinkan
terjadi dialog antarwarga untuk membicarakan kepentingan umum demi terwujudnya
kesejahteraan bersama.
Dengan
demikian, semua warga terlibat aktif untuk membahas bagaimana sebaiknya
kehidupan bersama dikelola untuk kebaikan bersama. Dampak dari masyarakat
komunikatif ialah terwujudnya demokrasi yang partisipatif. Demokrasi tidak lagi
menjadi hegemoni sekelompok orang. Karena itu, jika masyarakat tidak aktif
dalam membicarakan urusan publik, dapat dipastikan bahwa kelompok tertentu yang
cenderung mementingkan kelompok atau golongannya memanfaatkan situasi ini demi
kepentingan pribadi terutama bagi mereka pemburu rente kekuasaan. Lalu, apakah
itu terjadi? Jawabannya bisa ya dan tidak.
Dalam konteks
Indonesia, bisa saja kita menjawab ya, jika melihat realitas demokrasi kita
yang hanya melibatkan warga dalam kontestasi semata. Setelah kontestasi,
masyaralat tidak dilibatkan dalam membahas program-program yang berkaitan
dengan kepentingan publik. Pembahasan program kesannya dilakukan di ruangan yang
steril dan gelap sehingga susah dipantau publik.
Maka, jangan
heran begitu banyak program yang tidak menjawab kebutuhan publik. Impilkasinya
ialah banyak yang tejebak dalam kasus korupsi. Misalnya, belakangan kita sering
mendengar operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK. Selain itu,
rendahnya partisipasi dan pemahaman publik akan pentingnya peran aktif
masyarakat dalam demokrasi menjadi pekerjaan rumah yang panjang bagi demokrasi
kita di Indonesia.
Mestinya
masyarakat harus kritis terhadap berbagai kebijakan yang merugikan kepentingan
umum dan tidak hanya terlibat pada saat kontestasi pemilu/pilkada semata,
tetapi mengawal hingga pelaksanaan kekuasaan dan kebijakan. Itulah esensi yang
sesungguhnya dari demokrasi. Selanjutnya, masyarakat juga mesti memberikan
perhatian terhadap berbagai aturan yang sedang dibahas legislatif. Misalnya,
saat ini kita ketahui bahwa DPR sedang membahas RUU pemilu. Pembahasan RUU
Pemilu itu molor dari perkiraan awal. Hal ini tidak terlepas dari tarik ulurnya
kepentingan tiap-tiap partai yang ada di Senayan.
Dampaknya
ialah mepetnya waktu bagi penyelenggara untuk mempersiapkan pemilu serta
melakukan verifikasi parpol. Jauh yang lebih penting dari itu juga ialah soal
sistem pemilu. Pada Pemilu 2009 menggunakan sistem terbuka, artinya bahwa siapa
yang memperoleh suara terbanyak, dia bisa menduduki kursi DPR. Namun, ada opsi
lain yang dimunculkan dalam pembahasan RUU pemilu, yakni sistem terbuka
terbatas. Artinya penentuan kursi menjadi otoritas Dewan Pengurus Pusat Partai dan
nomor urut. Jika ini yang terjadi tentu merugikan masyarakat yang telah memilih
seseorang yang mereka percayai untuk mewakili mereka di gedung Senayan.
Jika yang
terjadi ialah sistem terbuka terbatas, peluang terjadi patron klien
relationship dalam menyelenggarakan kekuasaan tidak bisa dielakkan. Tentu ini
tidak sehat dalam membangun demokrasi yang baik bagi RI. Mestinya tetap
menggunakan sistem yang terbuka dengan catatan partai melakukan fungsinya
secara baik, misalnya fungsi pendidikan bagi kader yang hendak terjun dalam
kontestasi sehingga kader yang diusung layak untuk dipilih untuk masyarakat.
Peran warga
Dalam
demokrasi elektoral seperti saat ini peran warga sangat sentral. Dalam
demokrasi, warga yang diam akan dimanfaatkan kelompok tertentu sebagai kayu
bakar politik semata. Oleh karena itu, jika warga atau rakyat tidak ingin
menjadi korban dari demokrasi, perlu kesadaran publik. Kesadaran publik akan
men-dorong partisipasi dalam membangun demokrasi yang berbasiskan pada warga,
bukan berbasis elite. Demokrasi warga menjadi sebuah kebutuhan dalam membangun
demokrasi yang bisa membawa dampak kebaikan publik.
Kebaikan
publik akan terjadi jika masyarakat sadar dan mau terlibat membicarkan nasibnya
sendiri. Masyarakat tidak bisa lagi menyerahkan nasibnya kepada orang yang
tidak mementingan kepentingan publik. Dalam demokrasi warga, masyarakat
seharusnya secara sadar dan mengerti bahwa ketika memilih seseorang untuk
menduduki jabatan publik, pastikan yang bersangkutan mempunyai kapasitas dan
bisa dipercaya untuk menyelenggarakan kekuasaan demi kepentingan warga. Hanya
dengan cara demikian demokrasi bisa memberikan manfaat daripada mudaratnya.
Sumber: Media Indonesia, 22 Juni 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!