Sosiolog
PADA
19 September 1951, presiden pertama RI, Ir Soekarno, menerima gelar doctor
honoris causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gadjah Mada, dengan promotor
Prof Mr Drs Notonegoro.
Pidato Bung
Karno, "Ilmu dan Amal", mencerminkan pandangannya tentang ilmu
pengetahuan, ideologi, politik, dan pemimpin politik. Bung Karno mungkin sekali
adalah kepala negara di dunia yang menerima gelar Dr HC terbanyak, total 26: 7
dari dalam negeri dan 19 dari luar negeri, seperti Amerika Serikat, Kanada, Uni
Soviet, Jerman Barat, Yugoslavia, Cekoslowakia, Polandia, Romania, Bulgaria,
Hongaria, Mesir, Turki, Kamboja, Korea Utara, Filipina, Brasil, dan Bolivia.
Sekalipun
demikian banyak penghormatan dunia akademis terhadapnya, Bung Karno dalam pidato
di depan senat guru besar UGM mengatakan terus terang, setiap kali menerima
gelar kehormatan itu, dirinya selalu bertanya apakah ada alasan cukup untuk
menerima kehormatan seperti itu. Dirinya pada dasarnya bukanlah seorang ilmuwan
karena tak menelurkan teori ilmu pengetahuan yang diterima dalam komunitas ilmu
pengetahuan, tak menulis karya ilmiah yang diperbincangkan para ilmuwan di
dunia, sehingga sumbangannya secara langsung kepada ilmu pengetahuan, dalam
pandangannya sendiri, hampir tidak ada.
Namun, ini tak
mengecilkan hatinya karena, menurut Bung Karno, dirinya tak merasa diri seorang
ilmuwan, dan bahkan tak suka menjadi ilmuwan. "Pembawaanku tidak puas
dengan ilmu an sich. Bagi saya, ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia
dipergunakan untuk mengabdi kepada praktik hidup manusia, atau praktik hidupnya
bangsa, atau praktik hidupnya dunia kemanusiaan."
Karya ilmiah
berpuncak pada ditelurkannya suatu teori ilmiah yang diterima dan didiskusikan
para ilmuwan dalam komunitas mereka, sedangkan Bung Karno merasa dirinya pada
tempat pertama adalah seorang pemimpin politik, tugas utamanya mengaktifkan
rakyat dan masyarakatnya kepada suatu cita-cita yang hendak diperjuangkan
melalui praktik hidup. Berulang kali dia mengutip ucapan dalam bahasa Belanda,
"Kennis zonder daad is doelloos. Daad zonder kennis is richtingloos (Pengetahuan
tanpa perbuatan adalah tanpa tujuan. Perbuatan tanpa pengetahuan adalah tanpa
arah)".
Kalau praktik
hidup dan perbuatan, bagi Bung Karno, hal terpenting, apakah gunanya pengetahuan
dan ilmu pengetahuan, dan mengapa dia membaca dan mempelajari demikian banyak
buku termasuk buku-buku ilmu pengetahuan? Jawaban telah diberikannya sendiri:
pengetahuan dan ilmu pengetahuan dibutuhkan supaya memberi arah yang lebih
jelas sehingga praktik hidup mempunyai tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pada titik ini
menjadi jelas, bagi dia penting sekali menyusun suatu teori tentang arah dan
tujuan bagi praktik hidup yang dijalankan rakyat dan masyarakatnya. Teori itu
dalam pandangannya tak lain dari Pancasila, yang menurut keyakinannya dapat dan
harus menjadi pedoman bagi arah dan tujuan praktik hidup yang dijalankan
masyarakat Indonesia sebagai negara merdeka. Pancasila adalah suatu teori
tentang praktik negara dan berfungsi sebagai ideologi, tetapi sekaligus menjadi
teori tentang praktik hidup masyarakat Indonesia, dan menjadi Weltanschauung,
suatu visi tentang dunia yang menentukan orientasi masyarakat Indonesia
terhadap dunia. Was ist Weltanschauung? Apa itu Weltanschauung? Itulah pertanyaan
filosof Karl Jaspers dalam studinya yang luas dan komprehensif, Psychologie der
Weltanschauungen.
Menurut
Jaspers, visi tentang dunia atau Weltanschauung selalu bersifat filosofis karena
dia menjadi pengetahuan tentang keseluruhan, tentang yang universal, yang
merupakan watak pengetahuan filosofis. Bedanya dari sistem filsafat ialah
Weltanschauung tidak hanya berupa pengetahuan tentang keseluruhan, tetapi bahwa
pengetahuan itu membawa akibat yang menjadi kenyataan dalam jiwa, menjadi
seelische Wirklichkeit der Wirkung.
Tugas pemimpin
politik
Tak begitu
jelas apakah Bung Karno membaca karya Jaspers atau tidak, tetapi nyatanya dia
juga menyatakan Pancasila adalah suatu philosophische grondslag, suatu dasar
filsafat dan filsafat dasar bagi Indonesia, dan bahkan bagi negara lain di
dunia yang mau menerapkannya. Namun, filsafat dasar itu tak akan hidup kecuali
kalau dia dijalankan dan dihayati menjadi praktik hidup. Suatu ideologi negara,
menurut Bung Karno, selalu punya dua fungsi utama: fungsi statis (mempersatukan
semua unsur masyarakat ke dalam satu negara), dan fungsi dinamis (memberi arah
ke mana negara dan masyarakat itu digerakkan). Peran pemimpin politik tak dapat
diabaikan karena dia bertugas mengaktifkan masyarakatnya untuk menjalankan
praktik hidup yang merealisasikan tujuan yang ditetapkan dalam suatu ideologi.
Dalam tugas itu pemimpin politik harus melakukan tiga hal dalam tiga langkah.
Pertama,
pemimpin politik harus sanggup melukiskan cita-cita negara dan masyarakatnya
sebagai tujuan dan impian yang menarik, atraktif, dan appealing. Apakah ada
politisi kita sekarang ini yang sanggup melukiskan kesejahteraan sosial bagi
seluruh masyarakat sebagai gagasan atraktif bagi kehidupan bersama dan ide yang
memikat bagi kaum muda? Apakah ada kemampuan politisi berbicara tentang
kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai cita-cita dan nilai yang layak
dikejar dan diwujudkan dalam praktik hidup karena cita-cita itu punya daya
tarik yang menimbulkan pesona dan memberi ilham yang menggairahkan? Apakah
pembicaraan tentang kebangsaan masih menggelitik patriotisme, dengan rasa
bangga dan rasa syukur, bahwa ada suatu tempat di alam semesta ini yang menjadi
tanah air yang kita miliki, dan sekaligus memiliki diri kita sebagai
rakyatnya-a homeland which belongs to us, and to which we all belong?
Pernahkah kita
mendengar politisi kita berbicara musyawarah dan mufakat sebagai local genius
Indonesia dalam memecahkan masalah dan mencapai konsensus rasional, sambil
menimbulkan rasa hormat dan bermartabat kepada pihak yang beda pandangan? Di
atas segalanya, apakah kita masih menyebut nama Tuhan dengan rasa tremendum et
fascinans, dengan gentar dan terpukau karena kekudusan-Nya, dan apakah ingatan
akan nama-Nya sanggup menahan kita dari nafsu berfoya-foya kekuasaan dan
keserakahan?
Kedua,
pemimpin politik tak cukup hanya menimbulkan rasa tertarik atau terpesona,
tetapi harus sanggup memberikan sugesti kepada masyarakatnya sehingga anggota
masyarakat itu merasa mampu mewujudkan cita-cita yang dilukiskan. Rasa mampu
itu melahirkan keyakinan tentang tekad dan kesanggupan mencapai cita-cita, dan
menjelmakan cita-cita menjadi kenyataan dalam jiwa, menjadi seelische
Wirklichkeit menurut Jaspers. Sugesti menjadi kuat kalau apa yang dikatakan
sejauh mungkin diilustrasikan juga dalam perbuatan. Perasaan mampu akan
diteguhkan apabila rasa itu mendapat pengejawantahannya dalam praktik hidup
yang dapat dilihat dan dialami.
Di sini budaya
politik jadi penting dan memainkan peran instrumental dalam pendidikan
ideologi. Budaya politik dibentuk oleh elite politik. Apa yang dilakukan elite
politik dalam praktik hidup-baik atau buruk-seakan menjadifashion show bagi
rakyat yang melihat dan cenderung mencontohinya. Trickle-down effect dalam
budaya politik berlangsung jauh lebih cepat daripada trickle-down effect dalam
pemerataan kemakmuran ekonomi. Perbedaannya, tiadanya tetesan ke bawah dalam
pemerataan hasil pertumbuhan ekonomi tidak dengan sendirinya memperlemah
pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, tiadanya tetesan ke bawah dalam praktik hidup
elite politik hampir pasti memperlemah ideologi yang dicoba diaktualisasikan
dalam masyarakat.
Suatu
pendidikan ideologi dengan kurikulum yang tersusun rapi, dan dengan metodik dan
didaktik yang paling modern pun, akan mudah digagalkan oleh tiadanya dukungan
budaya politik dari elite politik melalui praktik hidup mereka.
Ketiga,
pemimpin politik harus dapat memfasilitasi peralihan dari adanya rasa mampu ke
pembentukan kemampuan yang riil. Dia mendorong peralihan dari kenyataan dalam
jiwa menjadi kenyataan dalam praktik hidup. Ibaratnya, seorang pemimpin politik
memikat pendengarnya melalui presentasi tentang sebuah destinasi wisata lewat
panorama yang diperlihatkannya melalui film dokumenter. Dia sanggup menimbulkan
ketertarikan serta keinginan dan lambat laun muncul rasa mampu dan tekad pada
pendengarnya untuk mengunjungi destinasi dimaksud. Langkah yang menentukan
adalah membuat pendengarnya mulai menghemat pengeluaran, membatasi belanja
harian, mengumpulkan dana, mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang
destinasi itu, mempelajari alur perjalanan yang paling murah, mengontak
teman-temannya untuk bepergian bersama, kemudian membeli tiket dan selanjutnya
terbang atau naik kapal laut ke destinasi yang demikian diidamkan dengan
membawa program liburan yang sudah tersusun. Pada saat itu kenyataan dalam jiwa
menjelma jadi kenyataan dalam praktik hidup.
Kesetiaan yang
tetap
Inilah tiga
langkah bagi seorang pemimpin politik dalam mengaktifkan masyarakat dan
menggerakkan anggota masyarakat itu ke arah cita-cita yang ada dalam ideologi,
sebagaimana diuraikan panjang lebar oleh Bung Karno dalam kursus yang
diberikannya kepada para kader Pancasila di Istana Negara pada 26 Mei 1958.
Tiga langkah itu adalah gerak-maju dari atraksi ke sugesti dan selanjutnya ke
aktualisasi. Kalau ada kesan dewasa ini bahwa Pancasila sebagai ideologi negara
kita kian kurang diperhatikan, pertanyaannya: pada tahapan mana dan langkah ke
berapa ada hambatan menghidupkan Pancasila sebagai ideologi? Apakah kurang ada
usaha sosialisasi atraktif tentang Pancasila, apakah tak ada kemampuan politisi
memberi sugesti tentang rasa mampu mewujudkan Pancasila sebagai praktik hidup?
Ataukah terputus transisi dari rasa mampu ke pembentukan kemampuan riil untuk
merealisasikan Pancasila sebagai pedoman praktik hidup dalam negara dan
masyarakat Indonesia?
Pancasila
digagaskan konseptornya sebagai Staatsphilosophie (filsafat negara) dan
sekaligus Lebensphilosophie (filsafat hidup masyarakat sebagai warga sebuah
negara). Sebagai filsafat negara, Pancasila akan hidup dalam kebijakan dan
ketetapan yang dibuat negara, dan dalam berbagai tindakan yang dilakukan
negara. Apakah tiap kebijakan dan ketetapan negara mempertimbangkan kelima
prinsip dalam Pancasila sebagai pemberi arah bagi politik yang dijalankan
negara? Memang ini tugas yang berat baik bagi eksekutif, legislatif, maupun
badan pengadilan.
Setiap kali
mereka harus menimbang apakah keputusan itu tidak menyalahi asas Ketuhanan Yang
Maha Esa, berupa kepercayaan kepada Tuhan yang satu? Apakah suatu kebijakan
masih menghormati atau sudah mengabaikan asas kemanusiaan yang adil dan
beradab, yang percaya setiap orang pada dasarnya merindukan dan berhak atas
keadilan dan punya bakat untuk peradaban yang baik, kalau dia dihormati secara
layak dan dijunjung martabatnya sebagai manusia? Pepatah asing, under the skin
we are all the same (di bawah kulit semua kita adalah sama). Apakah dengan
merujuk sila kebangsaan, kedaulatan negara masih dijaga dan dipertahankan, dan
rakyat berhak mendapatkan perlindungan dari negaranya?
Apakah
kebijakan ekonomi masih menerapkan keharusan menciptakan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat dan bukannya membiarkan melebarnya kesenjangan amat mencolok
antara kaya dan miskin, yang beruntung dan kurang beruntung? Apakah demokrasi
kita hanya mengutamakan demokrasi politik dan kebebasan setiap individu, tetapi
mengabaikan demokrasi ekonomi, sambil menutup mata terhadap kenyataan bahwa
inequalities (ketidakmerataan) yang tidak diatasi secara waspada dapat membawa
kita kepada injustice (ketidakadilan)?
Sebagai
filsafat hidup, Pancasila menetapkan bahwa sebagai warga negara Indonesia,
semua rakyat adalah sama, dengan satu pegangan, yaitu before the law we are all
the same (di depan hukum negara kita semua adalah sama). Namun, dalam praktik,
ini harus dicoba terus-menerus.
Perbedaan
sebagai anggota kelompok agama atau kelompok budaya dapat diakomodasi karena
ada kesamaan dasar sebagai warga negara Indonesia. Kesulitan yang muncul dari
berbagai perbedaan dapat diatasi apabila asumsi tentang perbedaan itu bisa
diubah, yaitu bahwa perbedaan bukanlah bahaya yang mengancam, tetapi kesempatan
untuk menjadi semakin matang karena adanya proses belajar mengenai apa yang
tidak kita kenal dalam kelompok kita sendiri dan memahami mengapa hal yang aneh
dan trivial dalam perasaan kita, untuk pihak lain menjadi penting dan bahkan
amat penting. Pengertian baru itu tak perlu mengubah pendirian dan keyakinan
kita sendiri, tetapi dapat memperluas wawasan memperkaya pengalaman kita
sebagai pribadi yang kian matang dan warga negara yang dewasa, terbuka, dan
demokratis, dengan rasa kemanusiaan yang semakin tinggi.
Pancasila
dapat menjadi ideologi subur di antara rakyat Indonesia hanya kalau ada usaha
terus-menerus dari negara maupun masyarakat untuk menerapkannya dalam praktik
hidup seperti berulang kali ditegaskan Bung Karno. Pancasila dapat menjadi
pegangan kalau dia menjelma menjadi kenyataan dalam jiwa yang kemudian
diaktualisasikan dalam tindak-perbuatan.
Presiden
Jokowi memperkenalkan semboyan menarik untuk pemerintahannya, "kerja,
kerja, kerja". Semboyan itu akan semakin hebat dan menggairahkan kalau
kerja yang dilaksanakan tak menjadi sebarang praktik yang diharuskan oleh
tugas, tetapi sekaligus menjadi praksis yang menerjemahkan cita-cita Pancasila
sebagai praktik hidup dalam negara dan bangsa. Praksis itu patut dicoba dan
dilaksanakan terus-menerus dengan berhasil atau kurang berhasil, tetapi dengan
kesetiaan yang tetap. Pepatah Bung Karno: hanya dengan terus-menerus mengalir
ke laut, sebuah sungai tetap setia kepada sumber airnya.
Sumber: Kompas, 21
Juni 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!