Oleh Arman Depari
Deputi Pemberantasan Badan Narkotika
Nasional
DALAM sebuah sidang kabinet terbatas di istana, Presiden Joko Widodo
pernah menyampaikan dengan tegas: "Indonesia darurat narkoba dan Indonesia
perang terhadap narkoba!" Pernyataan orang nomor satu di Indonesia ini
tidak main-main. Saat itu juga Presiden Jokowi langsung menyiapkan enam
instruksi untuk memberantas narkoba.
Pernyataan
sekaligus perintah Presiden Jokowi itu hingga saat ini belum terealisasikan
secara signifikan. Bagaimana tidak, virus narkoba terus berdatangan menyerang
Indonesia secara bergelombang dan menakutkan, situasi ini harus segera
dikendalikan jika tak ingin melihat kerusakan yang lebih parah di masyarakat
Indonesia, terutama generasi muda.
Narkoba musuh
kita bersama
Narkoba jenis
apa pun adalah persoalan serius bagi umat manusia. Narkoba menggerogoti
sendi-sendi kehidupan bangsa di dunia. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
tahun 2016 menjelaskan, terdapat 247 juta orang di dunia menjadi penyalah guna narkoba.
Dari angka itu, sebanyak 1,6 juta jiwa terserang HIV dan 6 juta jiwa terkena
hepatitis C yang dapat mengakibatkan kematian bagi penderitanya.
Di Indonesia,
pengguna narkoba telah mencapai 4,2 juta jiwa. Setiap hari 37 orang meninggal
karena menyalahgunakan narkoba. Biaya ekonomi akibat narkoba ini terbilang
sangat tinggi. Setiap tahun yang terbuang untuk belanja atau pembelian narkoba
dan pengobatannya mencapai angka Rp 72 triliun. Nominal yang sungguh fantastis.
Dari penyalahgunaan narkoba itu timbul tindakan kejahatan-kejahatan ikutannya
(narcotics-related crime), seperti pembunuhan, penculikan, pemerasan,
penyelundupan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan kecelakaan. Bahkan kini
muncul fenomena ibu menjual anak kandungnya sendiri demi memperoleh narkoba.
Barang haram ini benar-benar hadir meneror masyarakat kita.
Belakangan ini
teror narkoba semakin hebat dan dahsyat. Buktinya adalah munculnya beberapa
narkoba jenis baru yang disebut new psychoactive substance (NPS). Republik
Rakyat China mengumumkan telah menemukan kurang lebih 800 jenis NPS, sedangkan Kantor
PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) merilis 648 NPS telah ditemukan di
seluruh dunia. Sementara ini di Indonesia sudah ditemukan 71 jenis. Di antara
yang sering ditemui adalah jenis flakka dengan nama gorilla, hanoman, holyshit.
Jenis ini mengandung canabinoit sintetis yang punya efek jauh lebih dahsyat.
Daya rusaknya 10 kali lipat dari jenis amphetamin type simultant (ATS) seperti
sabu dan ekstasi atau sejenis narkotika lainnya yang alami ataupun sintetis.
Sebenarnya,
dunia internasional telah berupaya mengantisipasi kejahatan dan penyalahgunaan
narkoba itu melalui badan PBB, yakni dengan mengeluarkan beberapa konvensi,
antara lain UN Single Convention on Narcotics Drugs (1961), UN Single
Convention on Psychotropic Substance (1971), dan UN Convention Against Illicit
Traffic in Narcotics Drugs and Psychotropic Substance (1988). Tak terkecuali
Commision on Narcotics Drugs (UNCND) juga telah mengeluarkan Political
Declaration Againts Drugs (2009). Berdasarkan konvensi dan deklarasi itulah
disusun lima pilar utama pemberantasan narkoba, yakni pencegahan, kerja sama,
pemberantasan, terapi dan rehabilitasi, serta pengembangan alternatif
(alternative development) sebagai upaya mengurangi pasokan (supply reduction)
dan meminimalkan permintaan (demand reduction).
Konsep
tersebut kemudian melahirkan deklarasi ASEAN Bebas Narkoba (ASEAN Drugs Free)
2015. Indonesia sebagai anggota negara ASEAN turut pula mengadopsi program
tersebut sehingga di waktu yang lalu ada program Indonesia Bebas Narkoba 2015.
Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
Badan
Narkotika Nasional (BNN) melihat persoalan narkotika dan obat berbahaya itu
dari dua pendekatan, yakni pendekatan ekonomi dan pendekatan budaya. Dalam
konteks ekonomi, narkoba ini tiada lain adalah lahan bisnis gelap yang sangat
berpotensi mengeruk keuntungan tinggi. Tingginya permintaan (demand) di
Indonesia membuat sindikat narkoba memasok dalam jumlah yang besar.
Indonesia saat
ini dipandang sebagai pasar yang empuk lantaran jumlah penduduknya yang
terbilang sangat besar dengan pertumbuhan ekonomi yang baik pula. Maka jangan
heran jika fenomena penyalahgunaan narkotika ini menjadi "langgeng".
Inilah cara pebisnis narkoba mempertahankan kelangsungan ekonominya. Dari lapak
bisnis itu pula mereka meraih kehidupan yang lebih "layak", memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, dan memperoleh kemewahan yang berlimpah. Para
pebisnis ataupun pencandu obat terlarang itu pada umumnya juga turut
berpartisipasi dalam sindikat narkoba.
Sementara
dalam konteks budaya, narkoba menjadi gaya hidup, budaya hura-hura, pesta pora,
pergaulan bebas, tempat hiburan malam, dan kebiasaan berpikir praktis untuk
memecahkan sebuah masalah. Untuk itulah, sebagai pihak yang berada di garda
paling depan (leading sector) penanggulangan narkoba, BNN tak pernah berhenti
berjuang mengurangi permintaan pasar gelap serta memutus pasokan peredaran
narkoba. Termasuk berupaya keras dalam hal terapi atau merehabilitasi para
pencandu guna mengurangi ketergantungannya (harm reduction).
Baik pasokan,
permintaan, maupun mengurangi ketergantungan itu harus dilakukan secara
berimbang dan paralel. Maka, penegakan hukum penyalahgunaan narkoba ini harus
tegas. Pencegahannya pun harus dilakukan sejak dini.
Penegakan
hukum dan pencegahan yang optimal dapat pula dilakukan dengan pemberdayaan
masyarakat. Di sinilah seluruh lapisan masyarakat terlibat untuk memahami
bahaya narkoba. Masyarakat diharapkan mampu menghindari dan menolak narkoba
sebagai musuh bersama. Dengan begitu, mereka bisa membentengi diri sendiri,
keluarga, dan lingkungannya.
Memutus
jaringan sindikat
Salah satu
pilar pemberantasan narkoba adalah kerja sama internasional secara proaktif.
Kerja sama proaktif dapat memperkuat petugas perbatasan di lintas negara (land
border), bandar udara, dan jalur laut. Ruang kerja sama ini sebagai sarana
tukar-menukar informasi intelijen terkait modus dan jejaring peredarannya.
Dengan
demikian, target memutus jaringan sindikat narkoba mulai dari sumbernya di luar
negeri, perbatasan teritorial negara, sampai masuk ke Indonesia, dapat dicapai.
Termasuk dengan memutus peredaran narkoba di lembaga pemasyarakatan (lapas),
sebab narapidana di lapas menjadi pengendali peredaran narkoba di luar penjara
dan sering pula menjadi tempat produksi narkoba.
Dewasa ini,
dalam memutus jaringan sindikat narkoba perlu ada prioritas untuk memutus
pasokan (supply) dengan cara mencari, menemukan, mencegat, dan menyita barang
bukti. Upaya memutus pasokan ini efeknya akan terlihat lebih masif dan
membuahkan banyak hasil. Buktinya adalah saat melumpuhkan sindikat-sindikat
tertentu seperti sindikat Iran dan sindikat Afrika Barat yang beberapa tahun
lalu merajalela di Indonesia, meski sebetulnya kedua sindikat masih terbilang
kecil jika dibandingkan dengan sindikat internasional yang masih beroperasi dan
berkolaborasi dengan sindikat lokal yang eksis di sejumlah daerah di Indonesia.
Salah satu pilar pemberantasan narkoba adalah kerja sama internasional secara
proaktif. Kerja sama proaktif dapat memperkuat petugas perbatasan di lintas
negara (land border), bandar udara, dan jalur laut. Ruang kerja sama ini
sebagai sarana tukar-menukar informasi intelijen terkait modus dan jejaring
peredarannya.
Jaringan itu
khususnya beroperasi di jalur perairan yang terbuka seperti di sepanjang pantai
timur Sumatera, mulai dari Aceh sampai ke Lampung, Kepulauan Riau, terus ke
arah pantai barat dan utara Kalimantan, tanpa terkecuali di beberapa wilayah di
bagian timur Indonesia. Selama ini 80 persen transportasi narkoba melalui jalur
laut sehingga selagi rute laut ini memberikan kesempatan untuk sindikat, mereka
akan tetap melanjutkan penyelundupan-penyelundupan ke Indonesia.
Untuk
menghentikan pasokan atau pengiriman narkoba dari negara sumbernya (hulu) juga
diperlukan kesamaan persepsi. Selama ini, banyak negara Eropa yang tidak mau
bekerja sama dengan Indonesia. Alasan mereka, hukum di Indonesia masih
memberlakukan hukuman mati. Negara itu misalnya Belanda dan Australia, setelah
dieksekusinya pelaku kejahatan narkoba kelompok "Bali Nine".
Selain harus
menangkap dan memutus jaringan sindikat narkoba, penyidik BNN diwajibkan pula
untuk menyidik tindak pidana pencucian uang (TPPU)-nya. Caranya adalah dengan
membekukan serta menyita harta, uang, dan aset para sindikat narkoba. Hal ini dimaksudkan
untuk melumpuhkan kekuatan ekonominya sehingga jejaring sindikat itu tak mampu
lagi beroperasi.
Saat ini, BNN
sedang melakukan penyidikan terhadap transaksi yang diduga berasal dari
penjualan narkoba sebesar Rp 3,6 triliun dan Rp 7,3 triliun yang masih terkait
dengan sindikat almarhum Freddy Budiman. Transaksi itu sebagian besar mengalir
ke luar negeri. Ini cukup sulit untuk menemukan atau mengembalikannya sekalipun
telah dibuatkan permohonan bantuan secara legal (mutual legal assistance on criminal
matters/MLA) karena baru beberapa negara saja yang meresponsnya.
Yang perlu
juga diwaspadai, ke depan jejaring sindikat narkoba akan terus mencari dan
mengembangkan pasarnya seiring dengan kemajuan dan peningkatan ekonomi di
Indonesia, dengan asumsi bahwa penyalah guna narkoba di Indonesia berlimpah
uang dan tingginya jumlah permintaan kebutuhan narkoba. Seperti kata pepatah,
ada gula ada semut. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mengatakan,
belanja narkoba itu akan menggerus daya beli masyarakat. Uang hasil penjualan
narkoba diboyong ke luar negeri dan diganti dengan "racun narkoba"
yang dimasukkan ke Indonesia.
Beberapa
negara Asia lain, seperti Iran, Filipina, dan Singapura, yang gencar serta
keras mengatasi masalah narkoba itu telah mengantisipasi lebih dulu. Jika
Indonesia tidak mengambil langkah yang cepat dan tepat, besar kemungkinan
"jatah" narkoba yang tadinya diperuntukkan ke negara-negara tersebut
bisa dipastikan akan beralih masuk ke Indonesia. Sementara itu, negeri jiran (Malaysia)
masih dikategorikan sebagai negara transit utama dalam jalur penyelundupan
narkoba. Adapun negara segi tiga emas yang dulu produsen utama heroin —kini
untuk kawasan tersebut berubah sebutan menjadi Delta Mekong (Laos, Myanmar, dan
Thailand)— menjadi tempat produksi massal narkoba jenis sabu dan ekstasi.
Lantas apa
solusi untuk mengatasi serangan virus narkoba dan memberantasnya? Dengan
melihat kompleksitas persoalan narkoba, maka dalam penanganannya pun perlu
sinergi di antara pemangku kepentingan di Indonesia. Setidaknya Kementerian
Luar Negeri perlu melakukan lobi atau pendekatan di kawasan Asia khususnya, dan
dunia pada umumnya.
Dengan cara
itu, diharapkan bertambah negara-negara yang akhirnya mau diajak kerja sama
dalam pemberantasan narkoba dari hulu hingga hilir, juga untuk mempercepat
penanganan aset dan uang hasil tindak pidana narkoba yang mengalir sampai luar
negeri. Di sinilah perlu pembicaraan khusus dalam semangat dan komitmen ASEAN
memberantas narkoba, mengingat karena narkoba tidak hanya menghancurkan rakyat
Indonesia, tetapi juga masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia, terutama generasi
muda.
Sumber: Kompas, 9 Maret 2018
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!