Oleh Arya Budi
Dosen Departemen Politik & Pemerintahan UGM;
Research Associate Poltracking Indonesia
PEMILIHAN kepala
daerah (pilkada) yang dilaksanakan serentak pada Juni 2018 pada dasarnya ialah
pilkada serentak ketiga setelah Pilkada serentak 2015 dan terakhir Pilkada
serentak 2017. Artinya, dalam kacamata penyelenggara atau pihak-pihak yang
bertanggung jawab, ada banyak hal yang telah menjadi pembelajaran, evaluasi,
dan perbaikan.
Namun, Pilkada 2018 menjadi salah satu
momentum politik elektoral paling krusial dan berbeda dari dua kali pilkada
serentak sebelumnya dimana ada beberapa variabel yang sangat mungkin tidak
ditemukan pada pilkada serentak sebelumnya. Ada dua hal yang menyebabkan
Pilkada 2018 sangat krusial. Pertama, daerah yang menyelenggarakan; dan kedua,
waktu penyelenggaraan.
Daerah kunci
Pertama, secara kuantitas daerah yang
menyelenggarakan Pilkada serentak 2018 sebenarnya tidak sebanyak Pilkada
serentak 2015, yakni diselenggarakan di lebih dari 250 daerah. Artinya, titik
krusial Pilkada 2018 tidak terletak pada jumlah, tetapi pada skop daerahnya
yang meliputi variabel-variabel penting politik elektoral seperti populasi
pemilih di daerah, posisi politik daerah, dan aktor-aktor politik yang ikut
berpartisipasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Berbeda dengan dua pilkada sebelumnya,
Pilkada 2018 diikuti oleh 17 provinsi dalam suksesi gubernur-wakil gubernur.
Secara administratif, jumlah ini sudah mencakup separuh jumlah total provinsi
di Indonesia. Namun, secara kualitatif, populasi di 17 provinsi dalam Pilkada
2018 ini sudah jauh lebih dari separuh total pemilih di Indonesia. Artinya, ada
mobilisasi politik besar yang terjadi di provinsi-provinsi itu dengan jumlah
populasi di atas 50% total pemilih atau kira-kira 100 juta atau lebih pemilih
yang tersebur di 17 provinsi.
Apalagi, meskipun satu provinsi pada
Pilkada serentak 2017 lalu menjadi titik konsentrasi perhatian nasional, pada
Pilkada serentak 2018 ini konsentrasi tersebar di banyak provinsi kunci karena
populasi pemilih, posisi politik, dan aktor-aktor politiknya.
Provinsi-provinsi ini meliputi 'tiga
Jawa' (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), Sulawesi Selatan, dan Sumatra
Utara. Bahkan adagium 'Jawa ialah kunci' yang beredar pada politik elektoral
Indonesia tahun 1955 masih dipegang oleh elite politik dan secara elektoral
berlaku hingga kini. Hal ini belum termasuk provinsi-provinsi rentak konflik
dan mobilisasi sosial seperti Papua, Maluku, dan Lampung.
Beberapa provinsi bahkan mempunyai
posisi politik yang penting baik bagi institusi partai dan elite politik
nasional. Jawa Tengah, misalnya, menjadi 'kandang' suara Partai Banteng alias
PDIP, Jawa Timur menjadi 'pondok' berkumpulnya suara Partai Nahdliyin atau PKB,
sementara Sulawesi Selatan menjadi 'tanah subur' suara Partai Beringin alias
Partai Golkar. Jawa Barat, Kalimantan Barat dan Sumatra Utara provinsi pertaruhan
banyak aktor karena proporsi populasi pemilihnya sangat determinan dalam etape
elektoral selanjutnya.
Momentum kunci
Kedua, momentum waktu penyelenggaraan
Pilkada 2018 tidak terlepas dari kalender elektoral, baik yang diatur oleh
penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum maupun kalender elektoral
yang telah disusun oleh setiap partai politik menuju pemilu legislatif dan
pemilu presiden yang diselenggarakan pada April 2019 tahun depan.
Singkat cerita, tahun 2018 ialah tahun
kandidasi, tahun para kandidat yang akan berkontestasi di level nasional
diseleksi dan dinominasikan. Hal ini logis karena pencalonan anggota legislatif
jatuh pada bulan Juli 2018 ini, dan pencalonan pasangan kandidat
capres-cawapres jatuh pada Agustus 2018 ini.
Artinya, Pilkada 2018 yang jatuh pada
Juni 2018 nanti berada tepat sebelum pencalonan anggota legislatif dan
pencalonan capres-cawapres. Dengan kata lain, figur dan elite politik akan
mempertaruhkan kinerjanya pada Pilkada Juni 2018 sebagai salah satu bargaining
tiket calon anggota legislatif. Di sisi lain, gubernur-wakil gubernur yang
terpilih dari hasil Pilkada 2018 akan sangat menentukan peta koalisi dan peta
pencalonan capres-cawapres untuk Pemilu 2019.
Karena kalender Pilkada 2018 yang
berimpitan dengan momentum-momentum kunci Pemilu 2019, maka eskalasi kampanye
dan kontestasi politik akan mempunyai efek resonansi pada tahapan Pemilu 2019
yang paralel. Tidak jauh berbeda dengan resonansi eskalasi politik Pilkada DKI
2017 yang masih bertahan hingga hampir satu tahun ini.
Aktor kunci
Apalagi, peta koalisi Pemilu 2019 sudah
mulai terpetakan dengan potensi besar kembali lahirnya dua blok politik
sebagaimana Pemilu Presiden 2014. Kalaupun bukan dua blok politik, peta koalisi
pencalonan presiden maksimal akan berakhir pada tiga blok koalisi, tetapi
akhirnya tetap akan berakhir pada dua blok koalisi. Karena sistem pemilihan
majority atau two run-off, yakni pasangan presiden-wakil presiden harus
memperoleh suara 50%+1 untuk menang sebagai pasangan terpilih.
Dua blok koalisi ini pun tidak jauh
berbeda dengan Pemilu Presiden 2015. Sebabnya tiga hal. Pertama, konstruksi
hukum pencalonan presiden; kedua, peta elektoral figur kandidat; dan ketiga;
kontestasi elite partai. Dalam konstruksi hukum pencalonan, UUD 1945 Pasal 6A
menegaskan bahwa partai politik ialah satu-satunya institusi yang dapat
mencalonkan presiden dengan ambang batas pencalonan ialah 20% kursi DPR atau
25% suara partai.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi pada
Januari 2018 ini memperkuat skema regulasi pencalonan ini dimana perolehan
kursi/suara pada pemilu sebelumnya menjadi dasar untuk memenuhi angka ambang
batas tersebut. Singkatnya, hanya 10 partai di DPR saat inilah yang dapat
mencalonakan presiden. Tidak ada satu pun partai bisa mencalonkan presiden
tanpa berkoalisi (bergabung) dengan partai lain meskipun persentase kursi PDIP
(19%) nyaris memenuhi threshold 20% tersebut.
Di sisi lain, peta elektoral kandidat
yang terekam oleh banyak survei termasuk oleh survei Poltracking sebagaimana
dirilis pada akhir tahun 2017 lalu, menunjukkan hanya ada dua figur kandidat
capres yang mempunyai angka tingkat keterpilihan (elektabilitas) dua digit atau
di atas 10%. Dua figur ini ialah presiden petahana Jokowi dan mantan rivalnya,
Prabowo Subianto, meski Prabowo terpaut di bawah Jokowi sekitar 20% suara dalam
survei.
Kandidat di luar dua figur ini bahkan
mempunyai elektabilitas tak lebih dari 5%. Artinya, partai-partai di DPR saat
ini akan sangat berpotensi kembali merapat pada dua figur kandidat ini,
terlepas dengan siapa calon wakil presidennya.
Terakhir, kontestasi antarelite
menunjukkan paling tidak ada tiga blok politik yang terdiri dari: 1) blok
pendukung pemerintahan petahana yang dipimpin oleh PDIP dengan figur kandidat
Jokowi, 2) blok penentang pemerintah yang dipimpin oleh 'sekutu' Gerindra-PKS
dengan figur kandidat Prabowo, serta 3) blok tengah yang dipimpin oleh Demokrat
dengan figur kandidat 'Yudhoyono junior' alias Agus Harimurti Yudhoyono. Tiga
blok inilah yang juga akan sangat berkepentingan pada Pilkada 2018.
Akhir kata, jika Pilkada 2017 terutama
pada pilkada DKI Jakarta lalu melibatkan aktor-aktor politik kunci, Pilkada
2018 ini bukan hanya melibatkan para tokoh kunci, tetapi juga berada pada
momentum dan di daerah-daerah kunci.
Sumber: Media Indonesia, 31 Maret 2018
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!