Oleh Ansel Deri
Alumni Undana Kupang
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) kesal dan mengeluarkan term "sontoloyo" saat
berlangsung pembagian
sertifikat tanah di Kebayoran Lama, Jakarta, Selasa (23/10/2018). Pasalnya, tatkala pemerintah menggelontorkan
program dana kelurahan sebesar Rp
3 triliun, reaksi sejumlah politisi
berupa kritik berseliweran. Padahal, dana
dimaksud penting untuk membangun berbagai infrastruktur
dan fasilitas di tiap kelurahan.
Bahkan boleh jadi Jokowi juga kesal karena dalam pengamatannya selama
ini banyak politisi yang menggunakan cara-cara tidak sehat
seperti politik adu domba, politik pecah belah, dan politik kebencian. Karena itu, Presiden Jokowi mengingatkan masyarakat
agar berhati-hati dengan kritik politisi. Jokowi, calon presiden petahana,
rupanya geram. Apa katanya? "Hati-hati. Banyak politikus yang baik-baik,
tapi juga banyak politikus yang sontoloyo."
Sontak, sematan "politikus sontoloyo" tak sekadar membuat kuping segelintir politisi merah bahkan menjadi bahan pergunjingan dan diskusi elite politik di tingkat nasional namun juga menyasar elite politik
lokal. Politisi Partai Gerindra Fadli Son menilai penggunaan kata
"sontoloyo" itu tak pantas dilontarkan seorang Kepala Negara. Fadli
menilai, "Saya kira itu kan istilah yang agak kasar." Begitu reaksi
Fadli, yang saat ini menjabat Wakil Ketua DPR RI, di kantornya, DPR RI Senayan
tak lama berselang.
Politisi lainnya, Hinca
Pandjaitan, meminta Presiden Jokowi tidak
antikritik. Kata Hinca, Sekjen Partai
Demokrat, kritik adalah hal yang diperlukan dan lumrah
dalam demokrasi. Kritik para politisi masih sesuatu yang
normal. Hinca menilai, gaya komunikasi Jokowi agak berbeda dengan
sebelumnya. Ia mengatakan, dinamika politik selama 5-6 bulan ke depan akan
semakin dinamis dan hal itu akan membuat setiap politisi memperlihatkan
karakter aslinya.
Kian menjauh
Mengapa Presiden Jokowi yang juga kader PDI Perjuangan geram kemudian "melabrak" perilaku segelintir politisi yang gemar memainkan irama
politik
adu domba, pecah belah, dan penuh dendam kesumat dengan sebutan "politikus sontoloyo"? Mengapa pula frasa itu seperti duri menusuk ulu
hati? Lalu mengapa sebagian besar politisi kita begitu reaktif bahkan gusar dengan
frasa "politikus
sontoloyo"?
Hemat saya, paling kurang ada dua alasan mengapa Presiden Jokowi geram
kemudian keluar sebutan "politisi
sontoloyo?" Pertama,
politik yang santun, etis, dan beradab kian menjauh dari hati dan sanubari segelintir
elite politik kita dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka lupa
hakekat hadirnya partai politik atau parpol menyediakan ‘rahim”-nya, tempat
mereka (politisi) tumbuh kembang dan menempah diri menjadi calon pemimpin.
Padahal, kita tahu parpol lahir guna memenuhi syarat mutlak sebuah negara
yang menganut sistem demokrasi. Ihwal berdirinya parpol juga tak
lain untuk menyalurkan
aspirasi rakyat melalui para kader yang duduk, misalnya, di lembaga
legislatif. Namun, perilaku segelintir elite parpol dalam mengawal dan
mengawasi kekuasaan kerap melenceng dan cenderung mengutamakan kepentingan
kelompok maupun pribadi segelintir politisi ketimbang kepentingan umum.
Politik tak diarahkan
menggapai kebaikan bersama (bonum commune), namun sengaja dibelokkan guna meraih
kepentingan dan kebutuhan insidentil kelompok, golongan bahkan pribadi
segelintir politisi. Arah politik politisi yang demikian boleh jadi oleh Jokowi
dilabeli dengan sebutan "sontoloyo", yang merujuk pada makna leksikal:
konyol,
tidak beres, bodoh (dipakai sebagai kata makian).
Kedua, menjelang pilpres dan pileg 2019, suhu politik diprediksi kian
memanas. Presiden Jokowi berkewajiban mengingatkan seluruh elemen masyarakat
dan para elite politik untuk tidak saja berpolitik dengan santun tetapi juga berpijak
pada etika dan moral untuk memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat. Ajakan
demikian perlu karena bukan tidak mungkin, gaya berpolitik yang konyol, tidak
beres, berpotensi digunakan sebagai senjata
guna meraih simpati dan dukungan masyarakat terutama dalam menghadapi
kontestasi mendatang.
Etika politik
Menjelang pilpres
maupun pileg, politik yang santun dan beretika menjadi keutamaan.
Nilai-humanitas dan keadaban yang merupakan fondasi atau pilar
arsitektur politik, termasuk kejujuran dan tanggung jawab,
perlu terus dimaksimalkan agar berfungsi dengan efektif demi
kemajuan bersama. Ruang politik mestinya menjadi tempat
membangun
kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih sejahtera dan
berkeadilan.
Dalam Kerasulan Politik (2013) Surip
Stanislaus menyebut, belakangan ini nampaknya orang tidak enggan lagi berbicara
tentang politik. Bisa jadi karena hiruk pikuk politisi bermasalah yang
diekspose terang-terangan oleh mass media. Banyak orang pun makin melek dan
asyik berpolitik. Namun, bagi orang yang beranggapan politik itu kotor,
berbagai kasus moral yang sedang membelit para politisi seolah mengesahkan
kebenaran anggapannya. Benarkan politik itu kotor?
Intinya, politik adalah
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat masyarakat dengan
melibatkan sejumlah ketentuan politik untuk kepentingan dan kebaikan bersama.
Karena itu, rasanya tidak dengan sendirinya bahwa politik itu kotor. Bisa jadi
karena para politisinya tidak berpolitik etis (seperti mengutamakan kepentngan
partainya dan mencari keuntungan pribadi), maka praktek politik seperti itu
menjadi kotor.
Frumen Gions (2012)
berpandangan, sayang sekali kalau kita masih memahami politik melulu dengan
perspektif serba negatif dan dengan begitu menumpulkan simpati untuk membangun
masyarakat yang layak dihuni. Kenyataan-kenyataan buruk bisa muncul dalam
kehidupan bersama lantaran kita sendiri tak lagi punya sensivitas untuk
kehidupan sosial. Inilah sebabnya sekarang ini berbicara tentang politik
sebagai partisipasi untuk kesejahteraan bersama pertama-tama berarti berbicara
tentang pembalikan cara berpikir.
Politik bukanlah
wilayah yang demikian kotor sehingga kita mesti mencuci tangan dan
menyingkirkan diri dari tugas untuk berkecimpung di dalamnya. Kenyataan bahwa
politik itu penuh dengan hasrat dan tindakan yang mengorbankan kesejahteraan
umum seharusnya menggugah kita untuk lebih terlibat lagi sesuai dengan tugas
panggilan kita masing-masing.
Pada simpul ini dibutuhkan
juga politisi sungguh menjadikan rakyat, bangsa, dan negara kiblat utama
pengabdian. Politisi yang tak berpolitik dengan cara-cara tidak sehat seperti
politik adu domba, memecah belah, dan penuh kebencian.
Kenyataan menunjukkan, masih ada saja segelintir elite politik yang
menghalalkan berbagai cara untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat.
Bahkan tak jarang pula
menyerang lawan politik dengan cara-cara yang kurang patut, tak beretika, dan
abai tata krama. Menyerang lawan politik dengan cara-cara yang kurang elok
seperti itu, bisa jadi serta merta membenarkan apa yang disebut Jokowi sebagai
politisi "sontoloyo". Inilah tantangan politik kita ke depan. Tapi,
satu hal pasti adalah bagaimana memanfaatkan kesadaran kolektif masyarakat
untuk setia membangun
dan merawat
sifat-sifat
keutamaan politik guna meraih kebaikan bersama seluruh anak bangsa.
Sumber: Pos Kupang, 31 Oktober 2018
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!