Oleh Fahmy Radhi
Pengamat Ekonomi Energi UGM
KOMISI
VII DPR RI menuding Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) telah
melakukan kebohongan publik terkait dengan klaim bahwa pemerintah telah
berhasil melakukan divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Padahal,
selama ini PT Indonesia Asahan Aluminium Persero (Inalum) belum melakukan
pembayaran divestasi Saham.
Ketua Komisi VII
DPR menerangkan bahwa berdasarkan pengakuan Direktur Utama PT Inalum pada rapat
kerja dengan komisinya beberapa waktu lalu, PT Inalum memang sama sekali belum
melakukan pembayaran pembelian saham untuk divestasi 51% saham PTFI.
Belum dibayarnya
pembelian saham PTFI itulah menjadi dasar tudingan bahwa Pemerintahan Jokowi-JK
telah melakukan kebohongan publik, bahkan keberhasilan pemerintah dalam
divestasi 51% saham PTFI tak ubahnya bak ‘Pepesan Kosong’.
Tuduhan itu semakin
menggema setelah stasiun televisi swasta mengangkat tudingan itu dalam talk
show dengan tajuk Pepesan Kosong Divestasi Saham Freeport. Memang benar, hingga
sekarang PT Inalum belum membayar sepeser pun divestasi 51% saham PTFI.
Dengan belum
dilakukan pembayaran itu, benarkah bahwa klaim pemerintah terkait dengan
keberhasilan divestasi 51% saham PTFI merupakan ‘Pepesan Kosong’ belaka? Untuk
menjawab pertanyaan itu, barangkali perlu pemahaman utuh tentang proses
perundingan yang panjang dan berliku terkait dengan divestasi 51% saham PTFI.
Sejak awal,
Pemerintahan Jokowi-JK memang sudah bertekad untuk mengambil alih Freeport
dengan menguasai 51% saham PTFI melalui proses perundingan, yang berdasarkan
prinsip-prinsip perundingan internasional. Tim perunding pemerintah, diwakili
Menteri ESDM, Menteri BUMN, dan Menteri Keuangan.
Tim perunding
mengajukan kepada Freeport untuk mengubah kontrak karya (KK) menjadi izin usaha
pertambangan khusus (IUPK), dengan 3 persyaratan: smelterisasi, divestasi 51%
saham Freeport, dan penerimaan negara yang lebih besar dari pajak dan royalti.
Sebagai kompensasi, pemerintah menyetujui perpanjangan operasi Freeport 2 x 10
tahun dan memberikan jaminan kepastian investasi.
Awalnya,
Freport-McMoran menolak keras perubahan dari KK ke IUPK, bahkan sempat
mengancam untuk mengadukan Indonesia ke Arbitrase Internasional dan
menghentikan produksi, serta PHK besar-besaran, jika Pemerintah Indonesia
memaksakan pemberlakuan IUPK.
Namun, di luar
dugaan setelah pertemuan antara CEO Freeport-McMoran, Richard Adkerson, dengan
Menteri ESDM Ignasius Jonan di Jakarta pada 27 Agustus 2017, Freeport
menyetujui framework of agreement (FoA), yang merupakan kesepakatan kerangka
dasar.
Meskipun sudah
menyetujui FOA, Freeport menolak usulan pemerintah terkait dengan penetapan
harga saham divestasi, yang dihitung berdasarkan nilai aset dan cadangan hingga
2021. Freeport tetap bertahan pada penetapan harga divestasi saham yang
mencerminkan nilai pasar wajar ialah dengan memperhitungkan nilai aset dan
cadangan hingga 2041.
Tidak bisa
dihindari terjadi dead lock dalam perundingan. Di tengah ancaman dead lock, tim
perunding memutuskan membeli participating interest (PI) Rio Tinto, yang ada
pada PTFI sebanyak 40%. Freeport pun juga menyetujui keputusan Indonesia untuk
membeli PI sebagai bagian dalam proses divestasi 51% saham PTFI.
Akhirnya, PT
Inalum, Freeport-McMoRan, dan Rio Tinto sepakat untuk menandatangani head of
agreement (HoA) yang dilakukan pada 12 Agustus 2018. Dalam HoA itu, Inalum
membayar harga divestasi saham sebesar US$3,85 miliar untuk membeli 40% PI Rio
Tinto di PTFI dan 100% saham Freeport di PT Indocopper Investama 9,36% saham di
PTFI.
Kepemilikan Inalum
setelah penjualan saham dari PI Rio Tinto itu menjadi sebesar 51,2%, yang 10%
PI akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah Papua. Sebagai implementasi
kelanjutan dari HoA, PT Inalum dan Freeport McMoran, selaku induk usaha PT
Freeport Indonesia (PTFI), sepakat menandatangani sales and purchase agreement
(SPA) pada 27 September 2018.
Dengan
penandatangan SPA itu menandakan secara resmi dan sah divestasi 51% saham PTFI.
Selanjutnya, kedua belah pihak harus memenuhi kewajiban masing-masing, sesuai
yang diatur dalam SAP. Inalum wajib membayar harga divestasi saham sebesar
US$3,85 miliar, sedangkan McMoran wajib mengalihkan kepemilikan saham PTFI
hingga mencapai 51,2%.
Pengalihan saham
dari McMoran ke Inalum harus diawali dengan perubahan Anggaran Dasar PTFI
terkait dengan perubahan komposisi kepemilikan saham, yang harus disahkan oleh
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Inalum juga perlu membuat pelaporan
persaingan usaha (anti-trust filing) Indonesia dan negara Republik Rakyat
Tiongkok, Jepang, Filipina, dan Korsel.
Setelah semua
persyaratan pengaliham saham, barulah Inalum menyelesaian pembayaran sebesar
US$3,85 miliar untuk divestasi 51,2% saham PTFI. Semua tahapan itu, sebagai
implementasi SAP, akan diselesaikan paling lambat akhir Desember 2018.
Berdasarkan proses
panjang perundingan yang sudah dilalui, sejak disepakati FOA, dilanjutkan
penandatanganan HoA, lalu ditandatanganinya SAP, klaim bahwa pemerintah telah
berhasil melakukan divestasi 51% saham PTFI bukan pepesan kosong belaka.
Kalau ada yang
menuding bahwa klaim pemerintah itu sebagai kebohongan publik justru
mengindikasikan penuding itu gagal paham terkait dengan hasil proses
perundingan panjang dan berliku hingga disepakatinya FoA, HoA, dan SPA, serta
implementasi SPA yang akan dirampungkan akhir Desember 2018.
Kalau penudingnya
ternyata pura-pura gagal paham terhadap proses itu, tidak berlebihan dikatakan
bahwa tuduhan pepesan kosong sebagai upaya kampanye hitam dalam kontestasi
Pemilihan Presiden 2019, yang berpotensi menghambat divestasi 51% saham PTFI.
Sudah seharusnya semua anak bangsa memberikan dukungan sepenuhnya pada proses pengembalian Freeport ke pangkuan Ibu Pertiwi melalui divestasi 51% saham PTFI, bukan malah mengambat proses itu.
Sumber: Media Indonesia, 24 Oktober 2018
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!