Ia meraih
gelar Doktor di Walden University, Minneapolis, Amerika Serikat dengan IPK 4,0.
“Tuhan selalu hadir dengan cara yang unik dan kadang sukar dimengerti,”
ujarnya.
HAMPIR lima
tahun belakangan, nama dan wajah pengamat politik dari Lembaga Pemilih
Indonesia, Bonifasius Hargens, atau lebih populer dengan nama Boni Hargens,
nyaris menghilang dari hingar-bingar politik Tanah Air. Tahun 2010-2013, ia
kerap tampil sebagai analis di televisi maupun diskusi terkait situasi politik
nasional meski kala itu ia studi di Jerman.
“Sepulang dari
Jerman saya aktif kampanye untuk Pak Joko Widodo menjelang Pemilu 2014. Usai
pilpres, saya diam-diam fokus kuliah. Hampir semua orang tidak tahu, kecuali
staf saya di kantor. Karena saya tidak mau ada yang menghambat. Orangtua dan
anggota keluarga baru tahu menjelang sidang akhir disertasi,” ujar Boni.
Kampus bergengsi
Boni mengaku,
berdasarkan catatan Universitas Walden, dia adalah mahasiswa asing pertama asal
Indonesia yang kuliah di Walden University. Universitas di negeri Paman Sam itu
tergolong kampus besar yang fokus mencetak para agen perubahan sosial dengan
jaringan global yang memadai.
“Untuk masuk
kampus Walden, paling utama butuh kemampuan berbahasa Inggris. Kita diwawancara
secara lisan setelah melengkapi dokumen pendaftaran. Selain itu, yang juga
penting adalah komitmen moral untuk terlibat dalam upaya membangun perubahan
sosial di tengah masyarakat,” kata Boni.
Meski ia orang
Indonesia pertama di Walden, ia juga merindukan ke depan lebih banyak lagi anak
muda yang tertarik kuliah di kampus yang sama. Pendidikan masa depan harus
berorientasi pada perubahan sosial yang nyata, maka ilmu pengetahuan dan moral
harus sejalan. “Prinsip itu yang menonjol di Universitas Walden,” ujar mantan
frater Kongregasi Hati Tak Bernoda Maria (CICM) yang juga pernah mengajar di
SMU Tarakanita I, Jakarta Selatan, ini.
Boni berhasil
menyelesaikan seluruh materi kuliah selama dua tahun, dan seharusnya disertasi
selesai tahun 2018. Namun, karena alasan kesehatan, terpaksa studinya sedikit
tertunda. “Itu sebabnya sidang akhir disertasi saya baru selesai November
lalu,” kata Boni yang terpilih sebagai salah satu Mahasiswa Terbaik Indonesia
versi SCTV selama kuliah sarjana di Universitas Indonesia.
Memuaskan
Sejak dulu,
kajian oligarki dan partai kartel adalah konsentrasi Boni dalam studi ilmu
politik. Ia pun mengamini bahwa oligarki dan kartel politik merupakan kekuatan
yang riil menguasai Indonesia setelah 1998. Salah satu mata kuliah yang ia ajar
di Universitas Indonesia adalah “Kekuatan-Kekuatan Politik di Indonesia”. Jalan
lapang baginya karena ia juga dosen yang gaul dengan para ahli politik tak
hanya dalam negeri tapi juga dunia.
Ia misalnya,
akrab dengan Jeffrey Alan Winters dari Northwestern University, Amerika
Serikat. Ia juga dekat dengan ahli Indonesia dari Universitas Humboldt, Jerman,
Vincent Houben, termasuk dengan Indonesianis dari Australian National University,
Marcus Mietzner. Marcus asal Jerman itu pernah memberikan kuliah umum di
Universitas Humboldt, Jerman, pada 2012, saat Boni studi di sana. Sejak itu,
mereka sering berhubungan lewat surel dan sekali-kali bertemu di Jakarta.
Ia juga dekat
dengan antropolog senior dari National University of Singapore, Maribeth Erb,
yang menekuni isu demokrasi lokal di Indonesia, khususnya Flores. Masih banyak
ahli lain yang terkenal di dunia yang akrab dengannya. “Mereka orang-orang yang
berjasa besar dalam memberikan saran dan kritik selama komplesi disertasi saya
meskipun mereka bukan pembimbing resmi saya,” ujar Boni.
Menurut Boni,
sebetulnya teori oligarki dan teori partai kartel adalah dua teori yang berbeda
sama sekali. Penganut teori oligarki percaya bahwa segelintir orang kuat yang
berkuasa karena kekayaan yang mereka miliki adalah penentu kekuasaan Indonesia
setelah 1998. Penganut teori partai kartel (aslinya dari Katz dan Mair) seperti
Dan Slater (dari Universitas Michigan, Amerika Serikat) dan Andreas Ufen (dari
GIGA Hamburg, Jerman) meyakini bahwa demokrasi Indonesia setelah Soeharto
ditandai oleh adanya gejala kartelisasi di kalangan partai politik yang
ditandai oleh adanya kolusi antarpartai, lemahnya oposisi di parlemen, dan
interpenetrasi kolusif antara partai dan negara.
“Saya
melihatnya secara berbeda. Disertasi saya mengawinkan dua teori itu. Basis
argumentasinya jelas bahwa kekuatan yang mengendalikan Indonesia kontemporer
masih merupakan oligarki partai, namun dalam relasi antarpartai dan relasi
partai dengan negara, para oligark partai menjelma menjadi kartel. Mereka
membangun jejaring kartelisasi untuk mempertahankan status quo dan hegemoni
partai besar, termasuk mencegah masuknya partai baru ke parlemen. Tujuan akhir
dari partai kartel adalah mempertahankan monopoli atas sumber daya negara,”
jelas anggota Fulbright Association itu.
Ia
menambahkan, di dalam internal partai, para oligark bertindak sebagai oligarki
murni. Namun, dalam pemilu dan segala bentuk relasi dengan partai lain dan
dengan negara, mereka menjelma menjadi kartel. Gejala inilah yang ia namai
sebagai “kartelisasi oligarkis”.
Teori yang ia
bangun ini bermaksud mengakhiri pertentangan di kalangan para penganut teori
oligarki dan teori partai kartel. “Sekaligus untuk memberikan nuansa baru dalam
memahami Indonesia modern dengan sudut pandang lokal yang lebih jernih dan
obyektif. Sebagai yang mengamati politik dari dalam, saya merasa layak
mengajukan teori baru ini sebagai pengamatan yang obyektif dalam membaca
Indonesia modern. Tentu saja apa yang saya tulis bisa dibantah, dan seharusnya
dibantah, oleh mereka yang fanatik dengan teori oligarki murni ataupun teori
partai kartel’”
ujarnya.
Anugrah dan panggilan
Bagi Boni,
capaian akademik tentu hal membanggakan, namun ada yang lebih membanggakan,
yakni “menjadi orang Katolik”. Baginya, menjadi Katolik adalah anugerah
sekaligus panggilan hidup yang memerdekakan secara jasmani dan rohani. Dalam
sejarah hidupnya, Tuhan selalu hadir dengan cara yang unik dan terkadang sulit
dinalar dengan akal sehat semata.
Sebagai
manusia, ia juga kadang terjebak dalam perasaan hampa. Tiap kali rasa itu
datang, ia selalu teringat pada coretan di dinding Ghetto Warsawa, yang ditulis
tangan seorang Yahudi sesaat sebelum digas mati oleh serdadu Hitler. Bunyinya: “Ich
glaube an die Sonne, auch wenn sie nich scheint. Ich glaube an die Liebe, auch
wenn ich sie nicht fühle. Ich glaube an Gott, auch wenn er schweigt”.
Artinya, dalam terjemahan Boni, “aku percaya pada matahari, meski ia tak terbit. Aku percaya pada cinta, meski aku tak merasakannya. Aku percaya pada Tuhan, meski Ia diam tersembunyi”. Tulisan itu selalu menjadi inspirasi yang mengingatkannya bahwa disadari atau tidak, Tuhan selalu ada, dalam segala keadaan, untuk mereka yang percaya.
Artinya, dalam terjemahan Boni, “aku percaya pada matahari, meski ia tak terbit. Aku percaya pada cinta, meski aku tak merasakannya. Aku percaya pada Tuhan, meski Ia diam tersembunyi”. Tulisan itu selalu menjadi inspirasi yang mengingatkannya bahwa disadari atau tidak, Tuhan selalu ada, dalam segala keadaan, untuk mereka yang percaya.
Itu sebabnya,
dalam sambutan disertasinya, Boni menulis, “Saya harap, gelar Ph.D ini menjadi
modal berharga bagi saya untuk memperkuat komitmen etis dalam mendorong
perubahan sosial di tengah masyarakat –sebagai semacam ucapan syukur atas
berkat Tuhan yang diberikan sejauh ini dalam hidup saya”.
Tanggal Lahir:
22 Februari 1981
Pendidikan:
– SD Negeri
Anam, Manggarai, Flores– Seminari Pius XII Kisol, Manggarai, Flores (SMP-SMA)
– Pernah kuliah di STF Driyarkara ketika masih bergabung dengan biara CICM di Jakarta
– Ilmu Politik, Universitas Indonesia
– Hartnack Schule, Berlin, Jerman
– Studi Asia Tenggara, Universitas Humboldt, Jerman
– Studi Criminal Justice System, Universitas Walden, Minneapolis, AS
– Doktor Filsafat di Bidang Kebijakan Publik dan Administrasi dari Universitas Walden, Minneapolis, AS
Pengalaman
Kerja:
– Dosen
Departemen Ilmu Politik, Fisip UI tahun 2005-2010– Dosen Universitas Petra Surabaya, Jawa Timur tahun 2008-2009
– Direktur Lembaga Pemilih Indonesia 2008 – sekarang
– Dewan Pengawas LKBN ANTARA Januari 2016-Agustus 2017
– Back-Office Analyst, Kantor Staf Khusus Presiden, Jenderal Gories Mere, 2016-2019
Penghargaan
dan Organisasi:
– Sampoerna
Foundation Scholarship selama kuliah sarjana di UI– Penerima Katholischer Akademischer Auslanderdienst untuk studi Pascasarjana di Universitas Humboldt, Jerman
– Anggota Phi Alpha, The Global Honor Society for Public Affairs & Administration, AS
– Anggota Fullbright Association, AS
– Anggota Golden Key International Honour Society, AS
– Anggota The National Society of Leadership and Succes AS
Karya Buku:
– Kebangkrutan
Agama dan Politik (2005)– Demokrasi Radikal: Kritik terhadap Demokrasi Liberal (2006)
– Kebuntuan Demokrasi Lokal (2009)
– Sepuluh Dosa Politik SBY (2007)
– Trilogi Dosa Politik (2008)
Ansel Deri
Sumber: HIDUP NO. 01 2020, 5 Januari 2020
Ket foto:
Boni Hargens menerima penghargaan yang diserahkan Presiden Joko Widodo
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!