Headlines News :
Home » » Bonifasius Hargens : Dialektika yang Tak Pernah Berhenti

Bonifasius Hargens : Dialektika yang Tak Pernah Berhenti

Written By ansel-boto.blogspot.com on Sunday, January 05, 2020 | 8:46 PM

Ia meraih gelar Doktor di Walden University, Minneapolis, Amerika Serikat dengan IPK 4,0. “Tuhan selalu hadir dengan cara yang unik dan kadang sukar dimengerti,” ujarnya.

HAMPIR lima tahun belakangan, nama dan wajah pengamat politik dari Lembaga Pemilih Indonesia, Bonifasius Hargens, atau lebih populer dengan nama Boni Hargens, nyaris menghilang dari hingar-bingar politik Tanah Air. Tahun 2010-2013, ia kerap tampil sebagai analis di televisi maupun diskusi terkait situasi politik nasional meski kala itu ia studi di Jerman.

“Sepulang dari Jerman saya aktif kampanye untuk Pak Joko Widodo menjelang Pemilu 2014. Usai pilpres, saya diam-diam fokus kuliah. Hampir semua orang tidak tahu, kecuali staf saya di kantor. Karena saya tidak mau ada yang menghambat. Orangtua dan anggota keluarga baru tahu menjelang sidang akhir disertasi,” ujar Boni.

Kampus bergengsi

Boni mengaku, berdasarkan catatan Universitas Walden, dia adalah mahasiswa asing pertama asal Indonesia yang kuliah di Walden University. Universitas di negeri Paman Sam itu tergolong kampus besar yang fokus mencetak para agen perubahan sosial dengan jaringan global yang memadai.

“Untuk masuk kampus Walden, paling utama butuh kemampuan berbahasa Inggris. Kita diwawancara secara lisan setelah melengkapi dokumen pendaftaran. Selain itu, yang juga penting adalah komitmen moral untuk terlibat dalam upaya membangun perubahan sosial di tengah masyarakat,” kata Boni.

Meski ia orang Indonesia pertama di Walden, ia juga merindukan ke depan lebih banyak lagi anak muda yang tertarik kuliah di kampus yang sama. Pendidikan masa depan harus berorientasi pada perubahan sosial yang nyata, maka ilmu pengetahuan dan moral harus sejalan. “Prinsip itu yang menonjol di Universitas Walden,” ujar mantan frater Kongregasi Hati Tak Bernoda Maria (CICM) yang juga pernah mengajar di SMU Tarakanita I, Jakarta Selatan, ini.

Boni berhasil menyelesaikan seluruh materi kuliah selama dua tahun, dan seharusnya disertasi selesai tahun 2018. Namun, karena alasan kesehatan, terpaksa studinya sedikit tertunda. “Itu sebabnya sidang akhir disertasi saya baru selesai November lalu,” kata Boni yang terpilih sebagai salah satu Mahasiswa Terbaik Indonesia versi SCTV selama kuliah sarjana di Universitas Indonesia.

Memuaskan

Sejak dulu, kajian oligarki dan partai kartel adalah konsentrasi Boni dalam studi ilmu politik. Ia pun mengamini bahwa oligarki dan kartel politik merupakan kekuatan yang riil menguasai Indonesia setelah 1998. Salah satu mata kuliah yang ia ajar di Universitas Indonesia adalah “Kekuatan-Kekuatan Politik di Indonesia”. Jalan lapang baginya karena ia juga dosen yang gaul dengan para ahli politik tak hanya dalam negeri tapi juga dunia.

Ia misalnya, akrab dengan Jeffrey Alan Winters dari Northwestern University, Amerika Serikat. Ia juga dekat dengan ahli Indonesia dari Universitas Humboldt, Jerman, Vincent Houben, termasuk dengan Indonesianis dari Australian National University, Marcus Mietzner. Marcus asal Jerman itu pernah memberikan kuliah umum di Universitas Humboldt, Jerman, pada 2012, saat Boni studi di sana. Sejak itu, mereka sering berhubungan lewat surel dan sekali-kali bertemu di Jakarta.

Ia juga dekat dengan antropolog senior dari National University of Singapore, Maribeth Erb, yang menekuni isu demokrasi lokal di Indonesia, khususnya Flores. Masih banyak ahli lain yang terkenal di dunia yang akrab dengannya. “Mereka orang-orang yang berjasa besar dalam memberikan saran dan kritik selama komplesi disertasi saya meskipun mereka bukan pembimbing resmi saya,” ujar Boni.

Menurut Boni, sebetulnya teori oligarki dan teori partai kartel adalah dua teori yang berbeda sama sekali. Penganut teori oligarki percaya bahwa segelintir orang kuat yang berkuasa karena kekayaan yang mereka miliki adalah penentu kekuasaan Indonesia setelah 1998. Penganut teori partai kartel (aslinya dari Katz dan Mair) seperti Dan Slater (dari Universitas Michigan, Amerika Serikat) dan Andreas Ufen (dari GIGA Hamburg, Jerman) meyakini bahwa demokrasi Indonesia setelah Soeharto ditandai oleh adanya gejala kartelisasi di kalangan partai politik yang ditandai oleh adanya kolusi antarpartai, lemahnya oposisi di parlemen, dan interpenetrasi kolusif antara partai dan negara.

“Saya melihatnya secara berbeda. Disertasi saya mengawinkan dua teori itu. Basis argumentasinya jelas bahwa kekuatan yang mengendalikan Indonesia kontemporer masih merupakan oligarki partai, namun dalam relasi antarpartai dan relasi partai dengan negara, para oligark partai menjelma menjadi kartel. Mereka membangun jejaring kartelisasi untuk mempertahankan status quo dan hegemoni partai besar, termasuk mencegah masuknya partai baru ke parlemen. Tujuan akhir dari partai kartel adalah mempertahankan monopoli atas sumber daya negara,” jelas anggota Fulbright Association itu.

Ia menambahkan, di dalam internal partai, para oligark bertindak sebagai oligarki murni. Namun, dalam pemilu dan segala bentuk relasi dengan partai lain dan dengan negara, mereka menjelma menjadi kartel. Gejala inilah yang ia namai sebagai “kartelisasi oligarkis”.

Teori yang ia bangun ini bermaksud mengakhiri pertentangan di kalangan para penganut teori oligarki dan teori partai kartel. “Sekaligus untuk memberikan nuansa baru dalam memahami Indonesia modern dengan sudut pandang lokal yang lebih jernih dan obyektif. Sebagai yang mengamati politik dari dalam, saya merasa layak mengajukan teori baru ini sebagai pengamatan yang obyektif dalam membaca Indonesia modern. Tentu saja apa yang saya tulis bisa dibantah, dan seharusnya dibantah, oleh mereka yang fanatik dengan teori oligarki murni ataupun teori partai kartel’” ujarnya.

Anugrah dan panggilan

Bagi Boni, capaian akademik tentu hal membanggakan, namun ada yang lebih membanggakan, yakni “menjadi orang Katolik”. Baginya, menjadi Katolik adalah anugerah sekaligus panggilan hidup yang memerdekakan secara jasmani dan rohani. Dalam sejarah hidupnya, Tuhan selalu hadir dengan cara yang unik dan terkadang sulit dinalar dengan akal sehat semata.

Sebagai manusia, ia juga kadang terjebak dalam perasaan hampa. Tiap kali rasa itu datang, ia selalu teringat pada coretan di dinding Ghetto Warsawa, yang ditulis tangan seorang Yahudi sesaat sebelum digas mati oleh serdadu Hitler. Bunyinya: “Ich glaube an die Sonne, auch wenn sie nich scheint. Ich glaube an die Liebe, auch wenn ich sie nicht fühle. Ich glaube an Gott, auch wenn er schweigt”. 

Artinya, dalam terjemahan Boni, “aku percaya pada matahari, meski ia tak terbit. Aku percaya pada cinta, meski aku tak merasakannya. Aku percaya pada Tuhan, meski Ia diam tersembunyi”. Tulisan itu selalu menjadi inspirasi yang mengingatkannya bahwa disadari atau tidak, Tuhan selalu ada, dalam segala keadaan, untuk mereka yang percaya.

Itu sebabnya, dalam sambutan disertasinya, Boni menulis, “Saya harap, gelar Ph.D ini menjadi modal berharga bagi saya untuk memperkuat komitmen etis dalam mendorong perubahan sosial di tengah masyarakat –sebagai semacam ucapan syukur atas berkat Tuhan yang diberikan sejauh ini dalam hidup saya”.

Bonifasius Hargens

Tanggal Lahir: 22 Februari 1981

Pendidikan:
– SD Negeri Anam, Manggarai, Flores
– Seminari Pius XII Kisol, Manggarai, Flores (SMP-SMA)
– Pernah kuliah di STF Driyarkara ketika masih bergabung dengan biara CICM di Jakarta
– Ilmu Politik, Universitas Indonesia
– Hartnack Schule, Berlin, Jerman
– Studi Asia Tenggara, Universitas Humboldt, Jerman
– Studi Criminal Justice System, Universitas Walden, Minneapolis, AS
– Doktor Filsafat di Bidang Kebijakan Publik dan Administrasi dari Universitas Walden, Minneapolis, AS

Pengalaman Kerja:
– Dosen Departemen Ilmu Politik, Fisip UI tahun 2005-2010
– Dosen Universitas Petra Surabaya, Jawa Timur tahun 2008-2009
– Direktur Lembaga Pemilih Indonesia 2008 – sekarang
– Dewan Pengawas LKBN ANTARA Januari 2016-Agustus 2017
– Back-Office Analyst, Kantor Staf Khusus Presiden, Jenderal Gories Mere, 2016-2019


Penghargaan dan Organisasi:
– Sampoerna Foundation Scholarship selama kuliah sarjana di UI
– Penerima Katholischer Akademischer Auslanderdienst untuk studi Pascasarjana di Universitas Humboldt, Jerman
– Anggota Phi Alpha, The Global Honor Society for Public Affairs & Administration, AS
– Anggota Fullbright Association, AS
– Anggota Golden Key International Honour Society, AS
– Anggota The National Society of Leadership and Succes AS

Karya Buku:
– Kebangkrutan Agama dan Politik (2005)
– Demokrasi Radikal: Kritik terhadap Demokrasi Liberal (2006)
– Kebuntuan Demokrasi Lokal (2009)
– Sepuluh Dosa Politik SBY (2007)
– Trilogi Dosa Politik (2008) 
Ansel Deri 
Sumber: HIDUP NO. 01 2020, 5 Januari 2020 
Ket foto: Boni Hargens menerima penghargaan yang diserahkan Presiden Joko Widodo
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger