KALAU engko datang wawancara, harus siapkan diri baik-baik.
Kuasai topik dulu yang mau engko tanyakan ke narasumber. Biar apa yang engko
gali bisa engko dapat. Beritakan seimbang agar pembaca punya pemahaman yang
utuh. Jadi wartawan yang profesional, mengabdi kebenaran. Jangan minta uang
dari narasumber. Apalagi peras dorang. Jauh-jauh dari kampung moe mesti jadi
atadiken. Bapa mengaji soro moe.
Di depan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Daerah Pemilihan NTT II, Ir Umbu
Mehang Kunda, nasehat Petrus Boliona Keraf itu muncul. Saya meluncur ke Gedung
DPR / MPR RI Senayan, Jakarta. Tahun 1998, saya meluncur ke Senayan. Saya
membuat janjian untuk wawancara dengan Ir Umbu Mehang Kunda. Kala itu Umbu,
anggota DPR RI asal Pulau Sumba itu ditunjuk Fraksi Partai Golkar menjadi Ketua
Komisi III DPR RI. Komisi Ini membidangi juga masalah kehutanan dan pertanian.
"Angalai, engko sudah makan?" "Belum, bapa." "Kalau
begitu engko makan baru kita omong-omong," kata Umbu, sembari beranjak dan
mengambil nasi kotak di samping meja kerjanya. Di lantai II Gedung Nusantara II
DPR, kami makan siang.
Sejak tiba di
Jakarta akhir Agustus 2008, saya tak langsung masuk dunia jurnalistik. Masih
gagap dengan Ibu Kota. Masih agak bego, kata orang Jakarta. Karena itu saya
muter-muter dulu ketemu teman-teman sesama dari NTT yang sudah jadi kuli disket
di Ibu Kota. Kerap nongkrong di YLBHI, Gedung DPR RI atau margasiswa PMKRI
Jalan Sam Ratoelangi 01, Menteng, Jakarta Pusat. Selain mendiskusikan isu-isu
aktual, juga agar lidah saya tak kaku lagi kalau omong. Maklum. Baru dari
kampung. Kalau omong, lidah bahasa Indonesia saya terasa masih kaku dan baku
seperti dalam buku Tata Bahasa Indonesia karya ahli bahasa Indonesia Prof Dr
Gregorius Perawin Keraf, kerabat Piter Keraf dari lefo Lamalerap.
Karena itu, jika
saya main-main ke kantor DPR /MPR RI, (alm) Pak Umbu Mehang Kunda selalu
ingatkan saya. Di DPR RI sini bukan hanya Umbu tapi juga ada orangtua, anggota
DPR RI lainnya dari NTT. "Bukan hanya Pak Piter Keraf. Tapi juga ada Pak
Manafe. Angalai sudah ketemu Pa Piter?" "Ketemu langsung, belum. Tapi
pasti saya akan ketemu," jawab saya. Umbu orang rendah hati, cerdas,
menguasai bidang yang dipercayakan. "Pak Piter Keraf tengah siapkan diri
jadi Penjabat Bupati kalau Lembata sudah resmi pisah dari induknya, Flores
Timur. Kami akan all out bantu Lembata agar segera maju seperti daerah otonom
baru lainnya di Indonesia," kata Umbu Mehang Kunda.
Dalam hati saya
bersyukur. Saya bertemu seorang politisi yang tengah mengemban mandat sebagai
wakil rakyat di Senayan. Beliau menyapa saya dengan "angalai". Setahu
saya istilah ini sudah saya dengar di Kupang. Umbu seorang yang sangat
familiar. Posisinya yang strategis sebagai ketua komisi, sangat leluasa menjadi
tempat para wartawan bertanya soal kebikakan politik pembangunan bidang
kehutanan dan pertanian. Tak terkecuali NTT. Karena itu, dalam konteks NTT
beliau juga mengingatkan agar jangan hanya ia yang dikejar tuk bicara tetapi
juga perlu bertemu Pak Manafe dan Pak Piter Keraf. "Jangan lupa ketemu Pak
Manafe dan Pak Piter Keraf. Kalau sudah bicara menyangkut NTT, beliau berdua
sangat welcome," kata Umbu Mehang Kunda.
Tahun 1991 saat
mulai kuliah di Undana, saya sudah dengar nama Drs Petrus Boliona Keraf. Saat
itu, Piter Keraf, begitu ia akrab disapa menjadi anggota DPRD NTT. Saya dan Pak
Rikardus Daton Klobor pernah bertemu Pak Piter di rumahnya, Naikoten. Begitu
juga keluarga mantan Ketua DPRD NTT Pak Jan Kia Poli dan mantan Bupati Flores
Timur Pak Drs Anton Buga Langoday. Kami berdua Pak Rikard Klobor bertemu para
sesepuh dan mantan pejabat asal Lembata untuk urusan pembangunan Gereja Katolik
Santu Joseph Boto, Dekanat Lembata, Keuskupan Larantuka.
Saya dan Pak Rikar
berinisiatif menemui Pak Piter Keraf, keluarga Pak Jan Kia Poli dan Pak Anton
Buga Langoday. Ketiga sesepuh asal Lembata ini juga sangat senang. Mereka
bertiga juga masing-masing membantu uang tunai untuk Panitia Pembangunan Gereja
Santu Joseph Paroki Boto. "Kamu dua nanti telegram beritau panitia. Boto
itu bayak kemiri. Kalau bisa satu kepala keluarga timbang seluluh kilo kemiri
di Loang dan uangnya untuk ikut tambah kamu bikin gereja itu. Gereja Boto itu
pusat SSpS, kampung potensial tumbuhnya benih panggilan imam, biarawan,
biarawati, suster dan bruder," kata magun Piter sambil kami tiga ngopi
bareng.
Piter Keraf sangat
familiar. Ia politisi yang cerdas. Ia orangtua yang luwes dalam keseharian. Hal
yang juga saya temui dari sang adik, Dr Alexander Sonny Keraf. Sonny Keraf,
misalnya. Intensitas pertemuan saya dengan Sonny pun tatkala nama beliau
digadang-gadang masuk jajaran Kabinet Presiden Abdurrahman Wahid. Saya
menyambangi rumah Sonny di kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur. Sekadar diskusi
soal pro-kontra nama beliau masuk sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup,
terutama para aktivis lingkungan hidup. Juga mendiskusikan bagaimana
pembangunan yang berkelanjutan, sustainable, dengan menjaga kualitas lingkungan
hidup bagi umat manusia. "Kita biarkan saja ade. Itulah dinamika dalam
politik. Tapi sebagai anak bangsa, kalau dipercaya menjadi menteri harus siap.
Itulah tanggungjawab sebagai warga bangsa dan Gereja," kata Sonny Keraf.
Kata Sonny, di wilayah Rukun Tetangga (RT), warga tengah mengincarnya jadi
Ketua RT. Tapi, ia gagal karena terpilih jadi Menteri Lingkungan Hidup era Gus
Dur. Saat membantu SKM Dian sebagai reporter lepas dari Jakarta, saya juga
menulis di Dian. Saya ingat judulnya, Sonny Keraf: Diincar Jadi RT, Keburu Jadi
Menteri.
Baik Piter maupun
Sonny Keraf adalah sosok lain asal Lembata di Jakarta yang punya andil besar
bersama pemerintah daerah saat-saat proses final Lembata menjadi kabupaten
penuh. Begitu pula tokoh asal Lembata lainnya. Saat bersama tim otonomi Lembata
baik dari daerah dan Jakarta, saya sudah mulai familiar dengan sejumlah nama
dalam proses final itu. Sebut saja H. Suleman L Hamsa, pengusaha kaya raya di
Papua. Pak Haji Suleman malah mengontrak beberapa kamar di Hotel Marcopolo,
Menteng selama berbulan-bulan untuk delegasi dari Lembata. Begitu juga ada
(sekadar menyebut beberapa nama) sosok Brigjen Pol (Purn) Drs Anton Enga
Tifaona, Petrus Boli Warat, Petrus Ola Atawolo, Anton Tukan, Petrus Tedu
Bataona, Herman Wutun, Pius Kia Tapoona, Siprianus Pletu Botoor, Jos Pattyona,
Petrus Bala Pattyona, Joachim Boli Ladjar, Saidi Beda, Thomas Ataladjar, Viktus
Murin, Polce Ruing, Jery Sabaleku, dan lain-lain.
Perjuangan panjang
mendorong Lembata yang dimulai melalui sejumlah tokoh (sekadar menyebut
beberapa) seperti guru Petrus Gute Betekeneng, orangtua H. Muhammad Raya Belen,
Sio Amuntoda, dan kawan-kawan hingga proses akhir Lembata menjadi kabupaten
penuh, mengantar Piter Keraf duduk sebagai Penjabat Bupati Lembata, sebelum
akhirnya bupati definitif Drs Andreas Duli Manuk dan ketua DPRD dijabat Piter
Keraf. Tatkala libur di kampung halaman tahun 2001, saya sempat ngobrol dengan
Piter Keraf di ruang kerjanya. Mereka sungguh bekerja all out bersama
masyarakat menata Lembata agar perlahan-lahan maju sebagai daerah otonom baru.
Saat awal menjabat, ia meyakinkan Pemerintah Pusat agar membantu Lembata dalam
urusan pembangunan jalan raya. "Kita beruntung karena Pemerintah Pusat
melalui APBN membantu kita bangun jalan dari Lewoleba ke Lewopenutung. Saya
patahkan mitos "sampai kucing bertanduk, jalan Lewoleba-Lewopenutung sulit
dibangun karena medannya sangat sulit'. Dan itu sudah saya buktikan. Sekarang
jalan ke Lewopwnutung oto sudah bisa lewat," kata Piter Keraf.
Pagi ini, kabar
duka itu sampai di Jakarta. Putera Piter Keraf (78), reu Abdy Keraf
mengabarkan ayahnya menutup mata selamanya. Abdy mewakili keluarga besar Drs.
Piter Keraf menyampaikan berita duka. Sang ayah telah berpulang pada Selasa, 7
Januari 2020 pukul 08.20 WITA di RSU WZ Yohanes Kupang. Jenazah sementara akan
disemayamkan di rumah duka Jalan PS da Cunha Nomor 38 Naikoten 2 Kupang,
belakang kantor lurah sambil menunggu rencana keluarga selanjutnya. Terima
kasih, dan mohon dukungan doa bagi bapak kami agar dapat diterima di sisi Tuhan
Yang Maha Esa.
Keluarga besar
Keraf kehilangan sosok orang yang dikasihi. Pun masyarakat NTT juga kehilangan
seorang mantan anggota DPRD NTT. Pemerintah dan masyarakat juga kehilangan
seorang sosok pemimpin, mantan Penjabat Bupati dan mantan Ketua DPRD Lembata.
Reu Abdy, Hari ini magu na panaf nai heru Alepte Kbelek teti Surga ona.
Keluarga besar
tentu sangat kehilangan sosok orang yang sangat dikasihi. Namun, cinta Tuhan
melampaui cinta keluarga. "Terima kasih, magu Piter. Jasa moe juga lefo
Lamalerap, levotana Lembata, no ata ribu kame glupak hala, magu. Kame mengaji
soro moe. Mengaji juga me soro kame fahakae". Doaku juga untuk rekanmu,
alm Bapa Umbu Mehang Kunda. Terima kasih untuk nasi kotaknya selama saya menjadi
kuli disket di Senayan. Bahagia di rumah Bapa di Surga....
Jakarta, 7 Januari
2020
Ansel Deri
Mengenang Alm Piter Keraf, mantan Penjabat Bupati
Sumber
foto: oranglembata.com
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!