Headlines News :
Home » » Jakarta, Bandung, dan Kluang

Jakarta, Bandung, dan Kluang

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, February 15, 2020 | 1:13 AM

TAHUN 2000 saya ke Tanjung Priuk dari Rawasari, belakang kampus Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi (STMT) Trisakti, tak jauh dari lampu merah Jalan Haji Ten arah ke Bangunan Barat, Kampung Ambon. Jalan kaki keluar di samping kampus elite itu, saya menahan taksi Blue Bird. Di depan halte di seberang jalan depan kampus itu saya segera duduk di belakang supir. "Masuk tol atau lewat bawah, om?." Si supir bertanya. "Masuk tol aja. Kalo bawah takut macet. Agak keburuh sih," kata saya. Taksi segera masuk gerbang tol Rawasari arah ke Pelabuhan Tanjung Priuk. "Jemput keluarga ya, mas?" Pengemudi agak ramah. Masih pagi. "Jemput orang yang saya kasihi," saya jawab enteng. Ia tersenyum. Taksi melaju di tol. Cuaca cerah secerah hati menemui orang yang saya kasihi (lihat: gambar 1).

Di ruang tunggu para penumpang berjubel. Dua minggu sebelum Dobonsolo merapat di Tanjung Priuk, saya diberi tahu Bu Hermien, kaka perempuan saya paling besar: ayah kami, Petrus Samong Mudaj akan tiba dengan KM Dobonsolo di Jakarta. "Ade jangan lupa jemput bapa di Tanjung Periuk. Beliau dan bapa Mikel Bala tiba di pelabuhan. Kalau lagi dinas sebaiknya ijin di kantor dulu," kata kakak saya mengingatkan. Kakak saya ini sudah tahu hiruk pikuk Jakarta karena menyelesaikan SMP-SMA di Jakarta. Saya sengaja meyakinkan ayah ke Jakarta agar bisa libur sebulan. Itu sudah lebih dari cukup. Tapi dalam hati saya perlu tarik ulur agar tak cuma sebulan. "Kalau engko ke Jakarta bisa pulang kampung untuk libur k tida?". Pertanyaan itu selalu ayah ajukan saat saya menyampaikan niat masuk Jakarta. "Saya mau 'melarat' di Jakarta agar laki-laki kecil bisa kuliah. Saya rasa tidak enak karena dia korban tahan tahun lalu untuk lanjut kuliah. Jadi saya 'melarat' di Jakarta," kata saya meyakinkan ayah saaf kami dua di kebun, di Gerok, arah ke Loang, kota Kecamatan Nagawutun. "Tapi nanti libur ke kampung. Engko jangan tinggal terus di sana," kata ayah. "Ya, kalau ari-ari ditanam di Jakarta bisa saja saya lupa pulang. Tapi kan ditanam di hutan di kampung jadi pasti pulang," kata saya meyakinkan ayah.

Di ruang tunggu, ayah saya duduk santai. Sandal jepitnya dipegang, tak dipakai. Tas kecil beliau gantung di tangan kiri. Ayah mengenakan lipah yang sering beliau pake pas Misa Hari Minggu di Gereja. Ia tak terbiasa bahkan tak pernah mengenakan celana panjang. Ke kebun pun hanya celana pendek dibalut lipah. Saya memeluknya, menciumnya. Tanpa sadar air mata saya jatuh. Saya memegang tangan ayah. Tas dan sandal jepit ayah, saya pegang. Segera keluar pintu ruang tunggu pelabuhan saya ajak ngeteh tak jauh dari situ. Masih dalam area pelabuhan. "Kita dua minum teh dan sarapan dulu. Saya sudah mulai rasa lapar. Nanti di rumah kita makan tambah," kata saya. "Saya rasa tida enak karna saya datang tangan kosong. Jangan marah e?," kata ayah. "Tanaman kita di kebun jadi semua kah?" Saya bertanya. "Jadi k. Setiap saat kita bersihkan. Taro api terus di lumbung supaya binatang hutan tidak dekat," katanya. Sambil ngeteh saya dan ayah segera keluar warung. "Kita jalan kaki atau naik oto?" Saya tersenyum mendengar kata-katanya. "Jalan kaki macam kita pigi kebun saja," kata saya. Beliau tertawa. 

Mobil melaju di atas tol jurusan Tanjung Priuk-Rawasari. Ayah punya rasa ingin tahu tinggi. Bahkan mulai heran. "Fundamen ini tinggi sekali. Tukang dorang cor pake naik tangga kah?" Pertanyaan itu meluncur dari ayah. Saya setia mendengar. Rumah-rumah di bawah sangat dekat satu dengan yang lainnya. "Kalau anak-anak main pmantik atau garis (korek api) bisa terbakar semua," kata ayah. Saya tertawa. Ayah saya heran dengan sepotong wajah kota Jakarta. Jalan tol membuat ayah saya kagum. Ia mengira tol adalah fundemen (pondasi rumah). Begitu juga jarak rumah yang padat membuatnya cemas kalau sewaktu-waktu ada anak kecil yang iseng main korek api atau pemantik yang bisa berakibat terjadi kebakaran. Padahal, tentu tak mudah terjadi karena instalasi listrik dipasang dengan aman.

Sesaat taksi keluar pintu tol Rawasari, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. Ayah heran begitu cepat tiba di rumah setelah taksi belok kiri dan tak lama saya buka pintu taksi. Raut wajah ayah agak lelah. Saya beritahu agar istirahat dulu. Bangun tidur nanti berdua lanjutkan cerita. Saya sengaja ijin di kantor di Jalan Ros Merah, Cipinang Indah. Saya ingin mendengar lebih banyak cerita tentang kebunnya di Tapbaran, Rotok, Kasa, Smener. Juga kebun kemirinya di Fagarina, Belokol, Klua Lef Molu, Paubakata Eka, Gledar, Ledar, Fai Daten, dan lain-lain. Juga tentang jerat yang ia pasang di sekitar Tebor, Bel Pat Ifong atau Pau Fusu. "Saya buka taro dulu. Kalau ada (babi atau rusa) yang kena jerat, tida ada orang yang liat," katanya sembari menikmati susu di gelas.

Usai mandi saya ajak ayah keluar. Jalan-jalan. Saya tak berterus terang jalan-jalan agak jauh. Khawatir ia menolak. Saya berniat mengajak ke Monumen Nasional (Monas). Untungnya beliau tak keberatan. Usai mandi ia mengenakan lipah. Sandal ia tak mau pake. Takut terlepas kalau jalan kaki. "Pake celana saya ini y? Pake juga sandal ini. Pas naik oto lebih gampang. Sandal ini juga tida bisa terlepas dari kaki," kata saya. Ia menolak pake celana panjang. "Saya malu pake celana panjang. Apalagi dengan sandal begini. Nanti kalau ada orang dari kampung liat saya, mereka bilang saya sombong. Di Jakarta baru pake celana panjang dan sandal," katanya. Saya tertawa. Betapa sulit meyakinkan ayah pake celana panjang. Ia lebih nyaman pake celana pendek dibalut lipah. "Dulu engko wisuda saya juga kan pake lipah dan sandal swallow to. Di sini lain kah?" Ia bertanya. Ayah lebih enjoy pake celana pendek dilapis lipah. "Nanti kita dua mampir di kantor saya dulu," kata saya. Alasan ini yang tak bisa beliau tolak. Ia luluh dan mau pake celana. Tapi malu-malu. Ini pertama kali dalam hidup pake celana panjang. Pun kaos oblong kesukaan saya. Ogah isi dalam (sisip). Malu, katanya. Ya, sudah.

Di silang Monas, ia heran. Saya membawanya mengelilingi Monas. Dari dalam kawasan itu saya menunjuk Istana Presiden. Dua anggota pasukan pengamanan Istana berdiri kaku tanpa gerak. "Ada yang mau bikin kaco di Istana Presiden kah. Saya liat tentara dorang itu berdiri dengan senapan di samping. Kalau bikin kaco, dorang lepas satu kali saja langsung mati," kata ayah saya. Kami dua ketawa. "Tentara dorang dua itu jaga Istana. Kita datang cuma liat dorang dari jauh saja. Mereka juga orang baik-baik. Dorang jaga gantian dengan temannya," kata saya. "Presiden ada di dalam kah?" tanya ayah saya. "Presiden ada atau tidak ada dalam Istana, tentara dorang jaga terus di pos," kata saya. Saya mengajaknya jalan-jalan di kawasan Monas.

Barat itu saya mengabadikan momen langka ini. "Kaka tes naik kuda. Kan bisa ada cerita," kata saya. Ia tertawa. "Macam kita main-main. Lebih baik engko punya uang itu kita pake beli tuak klapa e. Kan bisa kenyang," kata kaka saya. Saya pecah ketawa. "Di sini tidak ada tuak klapa. Jual pun agak sulit karena mesti ijin kalau jual minuman macam tuak klapa rumah di Kluang," kata saya (lihat: gambar 02l.
Kakak saya, Frans Pati Mudaj juga berkesempatan libur di Jakarta (lihat: gambar 2). Kakak nomor dua ini lebih beruntung. Tiba di Jakarta, ia berkesempatan ke Bandung, Jawa Barat. "Kalau kaka tiba, kita janjian agar kamu dua ke Bandung. Pas saya masih di Bandung. Kalau saya tugas keluar kota mungkin kita tidak bisa ketemu " kata Romo Patris, kerabat dekat kami yang tugas di Bandung. Perjalanan ke Bandung lancar. Nginap semalam di asrama frateran di Jalan Nako, Badung, kami diajak umat kenalan pastor ke Tangkuban Parahu. Di puncak taman wisata alam terkenal di Jawa.

Pada 8 Februari 2014, di tengah hujan yang mengguyur Jakarta tiba-tiba telepon genggam berdering. Ayah terkasih memenuhi.panggilan Tuhan, Sang Sabda, dalam usia 83 tahun. "Saya doakan supaya kalau saya dipanggil Ata Rajan, engko bisa liat saya sebelum saya ke Gereja bertemu umat dalam Misa," kata ayah saya saat ia libur di Jakarta. Siang 8 Februari 2014, saya segera booking tiket Jakarta-Kupang. Beberapa rekan juga membantu mencari tiket apakah 9/2 2014 dini hari saya bisa tiba di Kupang kemudian sampe kampung siang atau sore. Traveloka segera membantu dengan mudah. Saya segera ke ATM untuk bayar tiket. "Reu, saya sudah booking dan bayar tiket Jakarta-Kupang. Terbang jam 03.15 WIB. Saya turut berdoa semoga perjalanan ke Boto lancar," kata Paulus, rekan saya di Surabaya. Saya urung ke ATM membayar tiket yang saya book-ing. Terima kasih, sahabat.

Saya mencoba fokus agar bisa dapat penerbangan Kupang-Lewoleba pada tanggal 9/2 2014. Saya kembali buka laptop untuk mencari tiket besok pagi. Tiba-tiba telpon berdering. Sahabat baik Lawe, chief engineer di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, juga akan ke Kupang dini hari itu. Ia rupanya tahu informasi berpulangnya ayah saya. "Besok pagi langsung ke Lewoleba?" tanya Lawe. "Saya berharap masih ada seat kosong. Atau ada penumpang yang cancle. Saya bisa langsung Lewoleba terus kampung," kata saya. "Adik saya tunda dulu. Kaka dan saya duluan terbang ke Lewoleba. Biar kaka langsung liat bapa tua sebelum prosesi pemakaman," kata Lawe. "Terima kasih, ama," kata saya. Di samping jenazah ayah saya, air mata saya jatuh. Saya berdoa,. Kemudian mencium dahinya. Sore hari (9/2 2014), kami semua antar ke Gereja. Ia bertemu umat dalam doa sebelum dibawa ke tempat istirahat terakhirnya di TPU Boto, pinggiran kampung Boto, Desa Labalimut. Hari ini, 6 tahun lalu, ayah ke rumah-Nya. Selang beberapa tahun, kakak saya, Frans Pati Mudaj menyusul ayah. Terima kasih, ayah dan kakaku terkasih. Anak & adikmu sekeluarga mengingatmu berdua dalam doa. Doa dan salamku dari rantau. 
Jakarta, 8 Februari 2020 
Ansel Deri 
Mengenang 20 tahun lalu ayahanda terkasih, Petrus Samong Mudaj (gbr 1) libur di Jakarta & 6 tahun ia berpulang. Kakak saya Frans Pati Mudaj (alm) saat liburan di Taman Wisata Alam Tangkuban Parahu, Bandung Barat, Jawa Barat (gbr 2).
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger