TAHUN 2000 saya ke Tanjung Priuk
dari Rawasari, belakang kampus Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi
(STMT) Trisakti, tak jauh dari lampu merah Jalan Haji Ten arah ke
Bangunan Barat, Kampung Ambon. Jalan kaki keluar di samping kampus elite
itu, saya menahan taksi Blue Bird. Di depan halte di seberang jalan
depan kampus itu saya segera duduk di belakang supir. "Masuk tol atau
lewat bawah, om?." Si supir bertanya. "Masuk tol aja. Kalo bawah takut
macet. Agak keburuh sih," kata saya. Taksi segera masuk gerbang tol
Rawasari arah ke Pelabuhan Tanjung Priuk. "Jemput keluarga ya, mas?"
Pengemudi agak ramah. Masih pagi. "Jemput orang yang saya kasihi," saya
jawab enteng. Ia tersenyum. Taksi melaju di tol. Cuaca cerah secerah
hati menemui orang yang saya kasihi (lihat: gambar 1).
Di ruang
tunggu para penumpang berjubel. Dua minggu sebelum Dobonsolo merapat di
Tanjung Priuk, saya diberi tahu Bu Hermien, kaka perempuan saya paling
besar: ayah kami, Petrus Samong Mudaj akan tiba dengan KM Dobonsolo di
Jakarta. "Ade jangan lupa jemput bapa di Tanjung Periuk. Beliau dan bapa
Mikel Bala tiba di pelabuhan. Kalau lagi dinas sebaiknya ijin di kantor
dulu," kata kakak saya mengingatkan. Kakak saya ini sudah tahu hiruk
pikuk Jakarta karena menyelesaikan SMP-SMA di Jakarta. Saya sengaja
meyakinkan ayah ke Jakarta agar bisa libur sebulan. Itu sudah lebih dari
cukup. Tapi dalam hati saya perlu tarik ulur agar tak cuma sebulan.
"Kalau engko ke Jakarta bisa pulang kampung untuk libur k tida?".
Pertanyaan itu selalu ayah ajukan saat saya menyampaikan niat masuk
Jakarta. "Saya mau 'melarat' di Jakarta agar laki-laki kecil bisa
kuliah. Saya rasa tidak enak karena dia korban tahan tahun lalu untuk
lanjut kuliah. Jadi saya 'melarat' di Jakarta," kata saya meyakinkan
ayah saaf kami dua di kebun, di Gerok, arah ke Loang, kota Kecamatan
Nagawutun. "Tapi nanti libur ke kampung. Engko jangan tinggal terus di
sana," kata ayah. "Ya, kalau ari-ari ditanam di Jakarta bisa saja saya
lupa pulang. Tapi kan ditanam di hutan di kampung jadi pasti pulang,"
kata saya meyakinkan ayah.
Di ruang tunggu, ayah saya duduk
santai. Sandal jepitnya dipegang, tak dipakai. Tas kecil beliau gantung
di tangan kiri. Ayah mengenakan lipah yang sering beliau pake pas Misa
Hari Minggu di Gereja. Ia tak terbiasa bahkan tak pernah mengenakan
celana panjang. Ke kebun pun hanya celana pendek dibalut lipah. Saya
memeluknya, menciumnya. Tanpa sadar air mata saya jatuh. Saya memegang
tangan ayah. Tas dan sandal jepit ayah, saya pegang. Segera keluar pintu
ruang tunggu pelabuhan saya ajak ngeteh tak jauh dari situ. Masih dalam
area pelabuhan. "Kita dua minum teh dan sarapan dulu. Saya sudah mulai
rasa lapar. Nanti di rumah kita makan tambah," kata saya. "Saya rasa
tida enak karna saya datang tangan kosong. Jangan marah e?," kata ayah.
"Tanaman kita di kebun jadi semua kah?" Saya bertanya. "Jadi k. Setiap
saat kita bersihkan. Taro api terus di lumbung supaya binatang hutan
tidak dekat," katanya. Sambil ngeteh saya dan ayah segera keluar warung.
"Kita jalan kaki atau naik oto?" Saya tersenyum mendengar kata-katanya.
"Jalan kaki macam kita pigi kebun saja," kata saya. Beliau tertawa.
Mobil melaju di atas tol jurusan Tanjung Priuk-Rawasari. Ayah punya
rasa ingin tahu tinggi. Bahkan mulai heran. "Fundamen ini tinggi sekali.
Tukang dorang cor pake naik tangga kah?" Pertanyaan itu meluncur dari
ayah. Saya setia mendengar. Rumah-rumah di bawah sangat dekat satu
dengan yang lainnya. "Kalau anak-anak main pmantik atau garis (korek
api) bisa terbakar semua," kata ayah. Saya tertawa. Ayah saya heran
dengan sepotong wajah kota Jakarta. Jalan tol membuat ayah saya kagum.
Ia mengira tol adalah fundemen (pondasi rumah). Begitu juga jarak rumah
yang padat membuatnya cemas kalau sewaktu-waktu ada anak kecil yang
iseng main korek api atau pemantik yang bisa berakibat terjadi
kebakaran. Padahal, tentu tak mudah terjadi karena instalasi listrik
dipasang dengan aman.
Sesaat taksi keluar pintu tol Rawasari, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. Ayah heran begitu cepat tiba di rumah setelah taksi belok kiri dan tak lama saya buka pintu taksi. Raut wajah ayah agak lelah. Saya beritahu agar istirahat dulu. Bangun tidur nanti berdua lanjutkan cerita. Saya sengaja ijin di kantor di Jalan Ros Merah, Cipinang Indah. Saya ingin mendengar lebih banyak cerita tentang kebunnya di Tapbaran, Rotok, Kasa, Smener. Juga kebun kemirinya di Fagarina, Belokol, Klua Lef Molu, Paubakata Eka, Gledar, Ledar, Fai Daten, dan lain-lain. Juga tentang jerat yang ia pasang di sekitar Tebor, Bel Pat Ifong atau Pau Fusu. "Saya buka taro dulu. Kalau ada (babi atau rusa) yang kena jerat, tida ada orang yang liat," katanya sembari menikmati susu di gelas.
Usai mandi saya
ajak ayah keluar. Jalan-jalan. Saya tak berterus terang jalan-jalan agak
jauh. Khawatir ia menolak. Saya berniat mengajak ke Monumen Nasional
(Monas). Untungnya beliau tak keberatan. Usai mandi ia mengenakan lipah.
Sandal ia tak mau pake. Takut terlepas kalau jalan kaki. "Pake celana
saya ini y? Pake juga sandal ini. Pas naik oto lebih gampang. Sandal ini
juga tida bisa terlepas dari kaki," kata saya. Ia menolak pake celana
panjang. "Saya malu pake celana panjang. Apalagi dengan sandal begini.
Nanti kalau ada orang dari kampung liat saya, mereka bilang saya
sombong. Di Jakarta baru pake celana panjang dan sandal," katanya. Saya
tertawa. Betapa sulit meyakinkan ayah pake celana panjang. Ia lebih
nyaman pake celana pendek dibalut lipah. "Dulu engko wisuda saya juga
kan pake lipah dan sandal swallow to. Di sini lain kah?" Ia bertanya.
Ayah lebih enjoy pake celana pendek dilapis lipah. "Nanti kita dua
mampir di kantor saya dulu," kata saya. Alasan ini yang tak bisa beliau
tolak. Ia luluh dan mau pake celana. Tapi malu-malu. Ini pertama kali
dalam hidup pake celana panjang. Pun kaos oblong kesukaan saya. Ogah isi
dalam (sisip). Malu, katanya. Ya, sudah.
Di silang Monas, ia
heran. Saya membawanya mengelilingi Monas. Dari dalam kawasan itu saya
menunjuk Istana Presiden. Dua anggota pasukan pengamanan Istana berdiri
kaku tanpa gerak. "Ada yang mau bikin kaco di Istana Presiden kah. Saya
liat tentara dorang itu berdiri dengan senapan di samping. Kalau bikin
kaco, dorang lepas satu kali saja langsung mati," kata ayah saya. Kami
dua ketawa. "Tentara dorang dua itu jaga Istana. Kita datang cuma liat
dorang dari jauh saja. Mereka juga orang baik-baik. Dorang jaga gantian
dengan temannya," kata saya. "Presiden ada di dalam kah?" tanya ayah
saya. "Presiden ada atau tidak ada dalam Istana, tentara dorang jaga
terus di pos," kata saya. Saya mengajaknya jalan-jalan di kawasan Monas.
Barat itu saya mengabadikan momen langka ini. "Kaka tes naik kuda. Kan bisa ada cerita," kata saya. Ia tertawa. "Macam kita main-main. Lebih baik engko punya uang itu kita pake beli tuak klapa e. Kan bisa kenyang," kata kaka saya. Saya pecah ketawa. "Di sini tidak ada tuak klapa. Jual pun agak sulit karena mesti ijin kalau jual minuman macam tuak klapa rumah di Kluang," kata saya (lihat: gambar 02l.
Kakak saya, Frans Pati Mudaj juga berkesempatan libur di
Jakarta (lihat: gambar 2). Kakak nomor dua ini lebih beruntung. Tiba di
Jakarta, ia berkesempatan ke Bandung, Jawa Barat. "Kalau kaka tiba, kita
janjian agar kamu dua ke Bandung. Pas saya masih di Bandung. Kalau saya
tugas keluar kota mungkin kita tidak bisa ketemu " kata Romo Patris,
kerabat dekat kami yang tugas di Bandung. Perjalanan ke Bandung lancar.
Nginap semalam di asrama frateran di Jalan Nako, Badung, kami diajak
umat kenalan pastor ke Tangkuban Parahu. Di puncak taman wisata alam
terkenal di Jawa.
Pada 8 Februari 2014, di tengah hujan yang mengguyur Jakarta tiba-tiba
telepon genggam berdering. Ayah terkasih memenuhi.panggilan Tuhan, Sang
Sabda, dalam usia 83 tahun. "Saya doakan supaya kalau saya dipanggil Ata
Rajan, engko bisa liat saya sebelum saya ke Gereja bertemu umat dalam
Misa," kata ayah saya saat ia libur di Jakarta. Siang 8 Februari 2014,
saya segera booking tiket Jakarta-Kupang. Beberapa rekan juga membantu
mencari tiket apakah 9/2 2014 dini hari saya bisa tiba di Kupang
kemudian sampe kampung siang atau sore. Traveloka segera membantu dengan
mudah. Saya segera ke ATM untuk bayar tiket. "Reu, saya sudah booking
dan bayar tiket Jakarta-Kupang. Terbang jam 03.15 WIB. Saya turut berdoa
semoga perjalanan ke Boto lancar," kata Paulus, rekan saya di Surabaya.
Saya urung ke ATM membayar tiket yang saya book-ing. Terima kasih,
sahabat.
Saya mencoba fokus agar bisa dapat penerbangan
Kupang-Lewoleba pada tanggal 9/2 2014. Saya kembali buka laptop untuk
mencari tiket besok pagi. Tiba-tiba telpon berdering. Sahabat baik Lawe,
chief engineer di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, juga akan ke Kupang dini
hari itu. Ia rupanya tahu informasi berpulangnya ayah saya. "Besok pagi
langsung ke Lewoleba?" tanya Lawe. "Saya berharap masih ada seat kosong.
Atau ada penumpang yang cancle. Saya bisa langsung Lewoleba terus
kampung," kata saya. "Adik saya tunda dulu. Kaka dan saya duluan terbang
ke Lewoleba. Biar kaka langsung liat bapa tua sebelum prosesi
pemakaman," kata Lawe. "Terima kasih, ama," kata saya. Di samping
jenazah ayah saya, air mata saya jatuh. Saya berdoa,. Kemudian mencium
dahinya. Sore hari (9/2 2014), kami semua antar ke Gereja. Ia bertemu
umat dalam doa sebelum dibawa ke tempat istirahat terakhirnya di TPU
Boto, pinggiran kampung Boto, Desa Labalimut. Hari ini, 6 tahun lalu,
ayah ke rumah-Nya. Selang beberapa tahun, kakak saya, Frans Pati Mudaj
menyusul ayah. Terima kasih, ayah dan kakaku terkasih. Anak & adikmu
sekeluarga mengingatmu berdua dalam doa. Doa dan salamku dari rantau.
Jakarta, 8 Februari 2020
Ansel Deri
Mengenang 20 tahun lalu ayahanda terkasih, Petrus Samong Mudaj (gbr 1) libur di Jakarta & 6 tahun ia berpulang. Kakak saya Frans Pati Mudaj (alm) saat liburan di Taman Wisata Alam Tangkuban Parahu, Bandung Barat, Jawa Barat (gbr 2).
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!