Oleh Dr Justin L
Wejak
Dosen Kajian Indonesia Universitas Melbourne;
Warga asal NTT kelahiran Baolangu, Lembata
DI UJUNG tahun
2019 saya diwawancarai Pak Marius Jelamu, Kepala Biro Humas dan Protokol Setda
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Wawancara itu mengenai kunjungan Pak Viktor
Laiskodat ke Eropa. Kunjungan perdana sebagai Gubernur tersebut dalam rangka
memperkenalkan NTT kepada dunia.
Pak Marius yang fasih
dalam beberapa bahasa asing sempat menawarkan kemungkinan wawancara dilakukan
dalam Bahasa Inggris. Namun setelah saling berkiriman pesan melalui Whatsapp, akhirnya
kami sepakat untuk menggunakan saja Bahasa Indonesia.
Sejak wawancara itu
keingintahuan saya tentang Pak Viktor dan kebijakan-kebijakan pembangunannya
bersama Wagub Pak Josef A Nae Soi semakin menggebu. Saya
ingin tahu apa kebijakan-kebijakan mereka, dan bagaimana reaksi masyarakat NTT.
Beberapa pidatonya
yang sempat menggemparkan khalayak saya tonton di Youtube. Terus
terang saya kagum dengan gaya beliau berpidato. Sangat kharismatik. Tulisan-tulisan
tentang Pak Viktor di koran pun saya baca semuanya dengan penuh gairah.
Entah kenapa tumbuh
minat menggebu untuk tahu lebih banyak tentang Pak Viktor: anak kampung dari
Tubululin, dan dari keluarga biasa-biasa, yang menjadi orang “luar biasa” asa NTT di rantau sebelum bale kampung halaman, tanah Flobamora.
NTT harus makin
dikenal dunia
NTT memang harus
makin dikenal dunia; itu bukan pilihan melainkan keperluan. Perjalanan Pak
Viktor ke manca negara penting, selain untuk bertemu langsung dengan foreign
stakeholders, juga (dan terpenting) untuk memperkenalkan NTT kontemporer ke
dunia. Pak Wagub Josef A Nae Soi pun sudah beberapa kali ke Australia dalam
rangka melihat bagaimana misalnya destinasi-destinasi wisata tertentu seperti
Philip Island dikelola.
NTT memang harus makin
dikenal dunia. Kata orang: kenal maka sayang. Makin
dikenal maka makin disayangi.
Pasti untuk alasan
itu, Pak Viktor memboyong sekelompok penari asal Sabu Raijua untuk mementaskan
tarian tradisional dalam Festival Pariwisata di Norwegia beberapa waktu lalu.
Selain tarian, diperkenalkan pula tenunan khas NTT, hal yang dilakukan isterinya, Ibu Julie Laiskodat, yang segera dilantik
sebagai anggota DPR (PAW) menggantikan koleganya, Johnny G Plate, yang ditunjuk
Presiden Jokowi menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika RI. Semua kain
tenunan yang dibawa habis terjual. Itu tanda pembeli memang suka produk tenunan
NTT.
Bukan hanya tarian
dan tenunan, masih ada juga produk-produk asli lain dari NTT yang sedang diperkenalkan
kepada dunia. Termasuk di antaranya minuman keras sophia
(sopi asli), se’i, dan kelor.
Tentang kelor, disinyalir Jepang sudah mengimpor rata-rata 40 ton per minggu. Patut
dicatat, khasiat kelor untuk kesehatan sudah diakui Organisasi Kesehatan Dunia
(World Health Organisation, WHO). Sementara sophia
dilirik para pengusaha minuman Rusia untuk keperluan pembuatan vodka
di negeri pencetak petenis unggul perempuan itu. Awalnya,
seperti diketahui, beberapa pihak memang menolak inisiatif pembuatan Sophia.
Tetapi setelah melihat manfaat ekonomisnya kini mereka tak sungkan mengacungkan
jempolnya.
Keterampilan menenun
dan membuat minuman keras sudah lama ada dalam masyarakat NTT. Tugas pemerintah,
melestarikan keterampilan-keterampilan itu dengan mencarikan pemasarannya di
seantero dunia.
Selain produk-produk
khas NTT: tenunan, sophia, se’i,
pemerintah juga tengah gencar mempromosikan Komodo dan beberapa destinasi
atraktif lain di NTT. Tahun 2019 Bupati Lembata Eliaser Yentji
Sunur bersama rombongan “bertamasya” ke Perth, ibukota Negara Bagian Western
Australia. Tamasya itu penting karena bisa menjadi ajang pembelajaran tentang
bagaimana pariwisata dikelola di belahan dunia lain.
Promosi dan
pengenalan memang penting. Tapi yang tak kalah penting (bahkan lebih penting)
adalah kesiapan daerah. Sudah siapkah kita untuk menjadi “tuan rumah” yang manis
dan ramah bagi para wisatawan –asing dan domestik– sehingga mereka betah di
tempat kita?
Infrastruktur jalanan
ke titik-titik wisata di Lembata, misalnya, belum cukup memberikan rasa aman
dan nyaman kepada para pengunjung. Lamalera yang sudah berabad-abad dikenal
dunia sebagai “kampung paus”, dan pantas dijadikan salah satu ikon
wisata Lembata (bahkan NTT dan Indonesia), justru tergolong wilayah dengan
kondisi jalan raya terparah di Lembata.
Pemerintahan
Kabupaten Lembata di bawah komando Bupati Sunur yang
menjadikan pariwisata sebagai lokomotif pembangunan justru dinilai gagal
membangun sarana dan prasarana memadai untuk mendukung pariwisata seperti
jalan, air dan listrik.
Aspek-aspek
seremonial seperti Festival Tiga Gunung dan beberapa festival lain sudah
beberapa kali diadakan dan dihadiri baik pengunjung lokal maupun
luar. Tujuannya, mempromosi wisata Lembata. Sayang, hasilnya hampir nihil; tak banyak
membawa manfaat ekonomis bagi masyarakat. Justru anak-anak perempuan usia
sekolah menjadi hamil karena “kecelakaan seks”. Apa yang salah dengan promosi
wisata Lembata?
Tak ada yang gratis
Jika promosi wisata
disambut positif dan hasilnya terukur misalnya banyak wisatawan berkunjung,
maka tentu saja ada dan banyak manfaat ekonomisnya. Tak ada kunjungan yang
gratis, bukan? Dalam Bahasa Inggris ada
sebuah ucapan lazim –there is no such thing as a free lunch– artinya tak
ada makan siang gratis. Bukan cuma tak gratis, melainkan diharapkan agar “makan
siang” itu bisa menjadi sumber devisa berlimpah bagi masyarakat.
Teringat ucapan Pak
Viktor sendiri dalam pidatonya di Kupang 14 November 2019. Kala itu beliau
mendorong para pelancong kaya melirik NTT sebagai destinasi wisata. Tentu
selain Bali yang notabene 85% ekonominya mengandalkan industri pariwisata. Apakah
NTT bakal menjadi seperti –bahkan melampaui–
Bali?
Menurut Pak Viktor,
wisata NTT siap masuk kategori wisata premium. Itu artinya NTT siap memanjakan
para wisatawan khususnya yang berduit dengan fasilitas-fasilitas mewahnya dan
pelayanan berkelas. Ditambahkannya, kebanyakan warga NTT miskin; dan mereka tak
ingin melihat pelancong berkantong kempes datang ke NTT. Kemiskinan membuat
warga tertekan dan terbebani.
Ucapan Pak Viktor dalam
pidatonya memang sempat menuai kontroversi, meski tak sekontroversial beberapa
pidatonya yang lain. Beberapa pemandu wisata, misalnya, sempat bereaksi tak suka.
Mereka khawatir kehilangan nafakah hidup lantaran kemungkinan terjadi boikot
dari para pelancong yang menolak datang ke NTT.
Terlepas dari aneka
masalah yang melilit NTT, satu hal yang patut saya kagumi dari sosok Gubernur
NTT adalah keberaniannya. Beliau berani mengucapkan pikirannya. Tak membiarkan
dirinya dirundung ketakutan untuk berbicara apa adanya. Beliau siap menanggung
apapun risiko dari ucapannya.
Felicem
diem natalem
Hari ini 17 Februari,
pas hari ulang tahun Gubernur NTT, Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat. Tulisan ini
hadir sebagai kado ulang tahun buat Pak Viktor. Tentu tak mudah mencarikan
hadiah yang cocok apalagi untuk seseorang yang belum cukup dikenal secara
pribadi.
Namun, untuk Pak
Viktor yang kebetulan adalah seorang Gubernur, hadiah berupa tulisan barangkali
bisa dianggap layak. Setelah sejenak membaca beberapa catatan
Pak
Ansel Deri –staf khusus Pak Viktor saat masih di
Senayan– akhirnya saya putuskan untuk mempersembahkan sekeping tulisan. Maka tulisan
ini hadir sebagai kado ulang tahun buat Pak Viktor, Gubernur Provinsi kelahiranku,
NTT.
Sekali lagi dari
benua seberang ingin saya sampaikan ucapan selamat berbahagia kepada Pak
Viktor: Felicem diem natalem.
Sumber: Victory News, 17 Februari 2020
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!