HARIAN ini menurunkan berita (dan tanggapan) penolakan masyarakat Leragere, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, terkait rencana PT Merukh Enterprises melakukan kegiatan penambangan di Leragere.
Atas nama lingkungan dan masa depan masyarakat serta hak-hak ulayatnya, dua rohaniwan, Pater Marselinus Vande Raring, SVD dan Romo Sebastian Ola Nama, Pr juga ikut berunjuk rasa di Kantor Bupati Lembata, Gedung DPRD, dan Dinas Pertambangan dan Energi setempat.
Areal penambangan yang mencakup ribuan hektar sangat membahayakan tak hanya warga sekitar tapi Pulau Lembata, karena sebagian besar terdiri dari patahan. Tenggelamnya Kampung Tobilolong di Desa Kowapa, Kecamatan Atadei pada 1990-an menjadi pelajaran berharga.
Areal penambangan yang mencakup ribuan hektar sangat membahayakan tak hanya warga sekitar tapi Pulau Lembata, karena sebagian besar terdiri dari patahan. Tenggelamnya Kampung Tobilolong di Desa Kowapa, Kecamatan Atadei pada 1990-an menjadi pelajaran berharga.
Karena itu, mereka menuntut pemerintah setempat membatalkan semua rencana penambangan karena dinilai cuma menguntungkan pengusaha dan merugikan masyarakat. Pater Raring bahkan menegaskan bahwa masyarakat Leragere dihantui kegelisahan, apakah bupati dan wakil rakyat masih menghargai hak rakyat dan tanah dalam hidupnya.
“Kami mengalami suatu perlakuan ketidakadilan oleh kebijakan penguasa yang semena-mena yang terjun bebas dalam mekanisme kolusi dan nepotisme dengan pemilik modal dan bersembunyi di belakang argumentasi demi kesejahteraan rakyat dengan menjual hak hidup rakyat atas tanah untuk mengeruk keuntungan tertentu. Apa artinya kesejahteraan kalau rakyat dikorbankan?” tanya Pater Vande.
Kalau terjadi penambangan, maka pemiskinan model baru akan berlangsung di Lembata. Rakyat kehilangan tanah untuk hidup, sementara investor menjadi kaya raya. Kasus tambang di Freeport, Timika, Buyat, Sumbawa Besar, jelasnya, harus menjadi pelajaran bahwa rakyat tak pernah sejahtera, malah menjadi korban (Pos Kupang 16/1 2007).
“Kami mengalami suatu perlakuan ketidakadilan oleh kebijakan penguasa yang semena-mena yang terjun bebas dalam mekanisme kolusi dan nepotisme dengan pemilik modal dan bersembunyi di belakang argumentasi demi kesejahteraan rakyat dengan menjual hak hidup rakyat atas tanah untuk mengeruk keuntungan tertentu. Apa artinya kesejahteraan kalau rakyat dikorbankan?” tanya Pater Vande.
Kalau terjadi penambangan, maka pemiskinan model baru akan berlangsung di Lembata. Rakyat kehilangan tanah untuk hidup, sementara investor menjadi kaya raya. Kasus tambang di Freeport, Timika, Buyat, Sumbawa Besar, jelasnya, harus menjadi pelajaran bahwa rakyat tak pernah sejahtera, malah menjadi korban (Pos Kupang 16/1 2007).
Otonomi yang mulai berlaku pada 1 Januari 2001, merupakan kesempatan emas bagi daerah untuk mengurus diri sendiri. Tentu pula dengan kekuatan sendiri. Karena itu, investasi juga menjadi syarat mutlak bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata untuk memajukan daerahnya.
Dengan otonomi, Pemkab Lembata dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat.
Dengan kondisi seperti itu maka peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah (enginee of growth). Pemkab Lembata, tentunya juga diharapkan mampu menarik investor untuk mendorong pertumbuhanekonomi daerah serta menimbulkan efek multiplier yang besar.
Tapi, apakah investasi di bidang pertambangan menjadi begitu penting bagi Pemkab Lembata dalam rangka mensejahterakan masyarakatnya? Apakah benar perut Lembata menyimpan kekayaan alam yang besar? Yang jelas, situs resmi Pemkab Lembata telah ‘mempromosikan’ kepada calon investor peluang investasi di Lembata.
Dalam situs itu disebutkan, Pulau Lomblen (Lembata) menyimpan kekayaan alam yang besar namun belum bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin karena keterbatasan sarana, prasarana dan teknologi.
Kekayaan alam itu meliputi Batu Barit di Atanila, Kecamatan Omesuri, minyak tanah di Tewaowutun, Kecamatan Nagawutun, Timah Hitam di Tapolangu Kecamatan Lebatukan, bahan galian C lainnya.
Dan salah satu kekayaan alam yang bisa memberi peluang investasi yang besar adalah kandungan Emas Pulau Lomblen, sehingga Pulau Lomblen dijuluki Pulau Emas hasil foto satelit melalui penginderaan jarak jauh. Kandungan emas pulau Lomblen diperkirakan lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dari emas yang dihasilkan di Cikotok, Jawa Barat. Kandungan emas di Cikotok sebesar 4 gram/ton bebatuan sementara di penambangan Kalimantan berkisar 2 gram/ton.
Penemuan ini merupakan hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengembangan Geoteknologi (LPPG) Bandung yang melakukan penelitian bersama Geologica Survey of Japan (GSJ), Lembaga Penelitian Geologi di bawah Agency of Industrial Science an Technologi (AIST) milik Ministry of International Trade and Industry (MITI) Jepang.
Ditemukan sampel bahwa kandungan emas di Pulau Lomblen lebih dari 150 kali lipat kandungan emas di Cikotok. Dari hasil foto Landsat-3 tampak adanya struktur lingkaran yang didu-ga bekas ‘caldera’, sejenis gunung berapi yang berdia-meter 10 km di bagian timur Lomblen.
Dari hasil penemuan ini perlu adanya pengembangan lebih lanjut, untuk itu perlu adanya investasi yang lebih besar dan pemanfaatan teknologi yang tepat. Karena itu, terkait rencana penambangan oleh PT Merukh Enterprises di Leragere maka sebaiknya Pemkab Lembata memikirkan serius untuk menunda bahkan kalau perlu membatalkan rencana itu karena risiko lingkungannya sangat besar sebagaimana dikhawatirkan pula oleh masyarakat Leragere.
Kerusakan lingkungan
Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia akibat kegiatan penambangan kian hari kian memrihatinkan. Banjir dan longsor yang terjadi kerap dikaitkan dengan kehadiran perusahaan pertambangan.
Pemerintah sebagai pengelola negara juga sepertinya tidak peduli dengan protes, kritik, dan saran yang diberikan oleh organisasi-organisasi lingkungan hidup dan masyarakat. Masyarakat Leragere, misalnya, merasa berkepentingan menolak rencana kegiatan penambangan PT Merukh Enterprises.
Bahkan para pejuang lingkungan kerap bersuara keras bahwasejarah membuktikan, kehadiran perusahaan penambangan di suatu daerah lebih banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaatnya.
Dalam refleksi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), tanah bagi masyarakat merupakan tempat kediaman yang harus dijaga sungguh-sungguh agar kehidupan di muka bumi ini terus berlangsung.
Bumi (tanah) bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang inilah yang pen-ting untuk dibicarakan. Inter-nasionalisasi modal telah menjadi ancaman paling be-sar terhadap bumi dan ling-kungan hidup secara lebih khusus. Watak dasar kapitalisme yang eksploitatif dan akumulatif telah menjadi ancaman terbesar bagi bumi dan lingkungan hidup.
Eks-ploitasi tambang, mineral, gas, hutan, laut, air untuk mengejar apa yang dinamakan sebagai pertumbuhan ekonomi, telah menyebabkan sebuah kerja keras habis-habisan tanpa terkendali.
Kondisi bumi yang ditandai oleh kerusakan lingkungan hidup memperlihatkan keadaan yang semakin parah. Bencana sebagai akibat ketidakseimbangan dan berkurangnya kemampuan bumi dalam melindungi dirinya, hilangnya kemampuan lingkungan untuk mengimbangi watak eksploitatif para pemburu harta dan kekayaan bumi telah membawa bencana hebat. Bencana alam akibat kerusakan yang ditimbulkan manusia telah melanda seluruh belahan dunia.
Nah, bisa dipahami jika rencana penambangan me-nuai protes masyarakat Lera-gere karena mengkhawatirkan (jika terealisir) biaya lingkungan dari kegiatan penambangan sangat besar. Apalagi, masyarakat kerap berada di pihak yang dikor-bankan jika berhadapan dengan pemodal.
Karena itu, sebaiknya rencana itu diper-timbangan dan dikaji secara mendalam oleh Pemkab Lembata dengan melibatkan semua stakeholder, termasuk pemangku kepentingan lokal. Masih banyak potensi Lembata seperti perikanan yang bisa dipromosikan ke-pada calon investor untuk menanamkan modalnya di sektor ini.
Dalam sebuah seminar di Hotel Shangri-La Jakarta beberapa waktu lalu tentang pembangunan ekonomi Flores dan pulau-pulau sekitarnya, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Lembata Petrus Toda Atawolo pun menyampaikan bahwa potensi per-ikanan Lembata sangat besar.
Atawolo menceritakan, seorang nelayan akan mengatakan, "Saya pigi (pergi-Red) tangkap ikan, bukan saya pigi cari ikan." Artinya, bahwa potensi perikanan Lembata sangat besar se-hingga nelayan langsung menangkapnya tanpa perlu bersusah payah.
Informasi ini membuat Deputi Senior Gubernur BI Prof. Dr. Anwar Nasution, Dirut Bank Mandiri ECW Nelloe (kini mantan) dan Menteri Kawasan Timur Indonesia Manuel Kaisiepo (saat itu) tersenyum. Pengusaha NTT Yusuf A Merukh yang disebut-sebut memiliki saham 20 % di PT Newmont Nusa Tenggara di Batu Hijau, NTB, juga hadir saat itu.
Nah, mungkin lewat Pak Yusuf Merukh, Pemkab Lembata menjalin kerja sama di sektor perikanan untuk peningkatkan taraf hidup masyarakat Lembata.
Nah, mungkin lewat Pak Yusuf Merukh, Pemkab Lembata menjalin kerja sama di sektor perikanan untuk peningkatkan taraf hidup masyarakat Lembata.
Sumber: Pos Kupang, 15 Februari 2007
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!