Headlines News :
Home » » Tak Putus Dirundung Duka

Tak Putus Dirundung Duka

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, March 29, 2007 | 10:26 AM

Oleh Ansel Deri
putra Lembata, tinggal di Jakarta

Berita on-line Harian Umum Pos Kupang edisi Jumat (16/6) menulis judul: 38 Desa di Lembata Rawan Pangan. Pada alinea pertama (alinea selanjutnya tak dapat dibaca karena mungkin ada kesalahan teknis dari Redaksi) ditulis seperti ini.

“Meskipun stok pangan pada bulan ini masih mencukupi, masyarakat pada 38 dari 128 desa di 5 kecamatan di Kabupaten Lembata berisiko rawan pangan. Penetapan desa berisiko itu menurut peta rawan pangan yang dilakukan Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Lembata. Dikhawatirkan kondisi kelaparan tahun lalu berulang lagi.

Berita seperti ini sesungguhnya bukan hal baru. Saat masyarakat Indonesia berduka atas musibah bencana alam dan tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), berita kelaparan yang mendera Lembata muncul dan merapat hingga Kantor Presiden di Jalan Medan Merdeka Jakarta. Saat itu Lembata diberitakan dilanda bencana kelaparan menyusul kekeringan yang mendera kabupaten itu. Gambar yang ditampilkan sejumlah media lokal memperlihatkan tanaman pertanian garing terbakar kemarau panjang. Pemerintah Pusat langsung sigap dan mengirimkan bantuan darurat untuk para korban.

Kabar rawan pangan seperti ini pula bukan hal baru di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sekitar Maret tahun lalu, sebanyak dua belas kabupaten di NTT diberitakan terancan kelaparan menyusul kekeringan yang melanda daerah itu. Dua belas kabupaten diberitakan terancan kelaparan yakni Rote Ndao, Timor Tengah Utara (TTU), Alor, Sikka, Ngada, Flores Timur (Flotim), Sumba Timur, Sumba Barat, Timor Tengah Selatan (TTS), Belu, Kupang, dan Lembata. Kabar “buruk” ini seolah mengamini sindiran bahwa NTT itu sama dengan nasib tak tentu, nanti tuhan tolong dan lain sebagainya. Kabar itu benar-benar membuat NTT seolah –meminjam judul sebuah karya sastra- tak putus dirundung malang.

Berita 38 dari 128 desa di Lembata yang berisiko rawan pangan mengusik hati. Pasalnya, bencana rawan pangan hadir kembali saat masyarakat Lembata mulai menarik nafas usai mengikuti pesta demokrasi: pemilihan kepada daerah (pilkada) secara langsung. Hajatan politik itu pun sudah dipastikan mengantar Drs Anderas Duli Manuk dan Drs Andreas Nula Liliweri menjadi Bupati dan Wakil Bupati Lembata lima tahun ke depan. Hemat saya, ancaman rawan pangan yang kini mendera puluhan desa di Lembata menjadi ujian bagi Bupati dan Wakil Bupati Lembata lima tahun mendatang. Kekeringan yang berakibat gagal penen dan kelaparan hampir menjadi “bencana wajib” bagi Lembata.

Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah daerah memang harus turun tangan mengatasinya. Tentunya dengan kemampuan anggaran yang dimiliki daerah. Juga bantuan pemerintah pusat yang sifatnya darurat untuk kasus-kasus seperti kekeringan yang terjadi di Lembata beberapa tahun lalu.

Kasus rawan pangan itu tentunya membuat kita semua prihatin. Namun, berita itu bisa juga sekaligus mempertanyakan kinerja birokrasi di Lembata. Mulai dari tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten serta anggota DPRD yang setiap kali sidang membicarakan kepentingan rakyat. Tapi apakah presoalan-persoalan rakyat Lembata selama ini sudah dibicarakan secara serius antara eksekutif dan legislatif? Misalnya, masalah gagal panen yang sebenarnya bisa diperkirakan sebelumnya atau penggunaan anggaran daerah yang transparan? Sabar dulu.

Kelaparan dan Aroma KKN

Belum hilang dari ingatan bencana kelaparan yang melanda Lembata beberapa tahun lalu. Saat itu sejumlah warga terpaksa mengkonsumsi buah bakau (mangrove) yang dikhawatirkan bisa berakibat fatal jika tidak diolah menurut standar kesehatan dan ketepatan teknologinya. Tak lama berselang, beberapa waktu lalu ada elemen masyarakat Lembata melaporkan kasus dugaan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Markas Besar (Mabes Polri) di Jalan Trunojoyo, DPR RI, PBHI, ICW, dan sejumlah pihak terkait. Dugaan KKN APBD Tahun 2004 itu sebesar Rp. 94,8 miliar. Sebuah angka yang besar yang kalau ketahuan masih disimpan koruptornya dapat digunakan juga mengatasi 38 desa yang kini rawan pangan atau membangun kembali jembata Waikomo yang ambruk akibat hantaman banjir dasyat beberapa waktu lalu. Padahal, jembatan ini sangat vital menghubungkan sentra-sentra ekonomi di bagian selatan Lembata.

Tapi apa yang terjadi selanjutnya? Kasus dugaan KKN itu hilang bak ditelan bumi. Padahal, laporan yang diberikan ke KPK bernomor surat: 8944/PIPM/KPK/11/2005 tanggal 25 November 2005 yang diterima staf KPK, Tosim Lumbrih, telah membeberkan sejumlah dugaan KKN APBD Lembata tahun 2004. Pertama, tidak adanya Surat Pertanggungjawaban (SPJ) oleh 34 Pemegang Kas yang tidak dilaporkan kepada Bagian Keuangan sebesar Rp 37.484.066.253,00. Kedua, realisasi belanja daerah pada 15 Pengguna Anggaran yang melampaui pagu Dana APBD sebesar Rp 2.281.480.455,00. Juga selisih antara jumlah Daftar Anggaran Satuan Kerja (DASK) dan Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) sebesar Rp 53.818.700.820,00.

Selain itu, Realisasi Belanja tidak tersangka Kabupaten Lembata Tahun Anggaran 2004 yang tidak sesuai ketentuan karena dialihkan untuk membeli satu unit komputer di Polres Lembata sebesar Rp 250.000.000,00. Realisasi Belanja Daerah yang tidak didukung dengan bukti yang lengkap dalam Tahun Anggaran 2004 sebesar Rp 458.954.200,00. Kemudian Realisasi Belanja Operasional Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang melanggar ketentuan dalam Tahun Anggaran 2004 sebesar Rp 215.271.351,00.

Penerimaan Retribusi Pelayanan Kesehatan di RSUD Lewoleba Tahun Anggaran 2004 yang tidak dimasukkan di APBD sebesar Rp 111.762.532,00. Juga Realisasi Biaya Perawatan dan Pengobatan anggota DPRD Lembata periode 1999 – 2004 yang dibayar secara tunai sebesar Rp 101.430.400,00. Hal ini dipandang telah melanggar ketentuan tentang Kedudukan Keuangan bagi pimpinan dan anggota DPRD. Kemudian realisasi belanja daerah yang tidak tepat peruntukannya dalam Tahun Anggaran 2004 sebesar Rp 85.683.200,00.

Lepas dari masalah dugaan KKN APBD Lembata itu, kita sepakat bahwa perhatian Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY kepada masyarakat yang dilanda rawan pangan dan kelaparan sangat besar. Ketika terjadi kelaparan hingga menewaskan 55 orang di Kabupaten Yahukimo, Papua, misalnya, Presiden SBY merasa terusik. Kepala Negara bahkan mengancam memberikan sanksi dan hukuman kepada kepala daerah yang terbukti melalaikan kebutuhan masyarakatnya, terutama kebutuhan pokok. “Saya sedih karena masih terjadi kelangkaan pangan yang disertai kelaparan dan menyebabkan korban jiwa,” kata Presiden SBY saat itu.

Presiden menegaskan, kalau kejadian tersebut karena kelalaian, kepala daerah yang bersangkutan harus bertanggung jawab karena seharusnya mereka turun ke lapangan untuk memantau secara langsung kondisi warganya. Menurutnya, kelalaian itu merupakan kesalahan yang serius yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

Pernyataan Kepala Negara ini memiliki arti penting dalam konteks rawan pangan yang kini melanda 38 desa di Lembata saat ini. Peringatan ini menjadi pedoman bagi Pemerintah Kabupaten Lembata untuk bekerja ekstra keras memenuhi kebutuhan pokok masyarakatnya. Hemat saya tak sampai di sini. Peringatan ini harus diperluas pada upaya pemberantasan praktek KKN yang belakangan ini ditengarai terjadi di Lembata namun tak ketahuan penyelesaiannya. Ambil saja kasus dugaan KKN APBD Tahun 2004 yang bernilai puluhan miliar. Padahal, masalah ini sudah sampai ke meja KPK tetapi hilang bak ditelan bumi. Jika kasus-kasus ini tak terungkap maka bukan tidak mungkin Lembata akan selalu dirundung duka: masyarakat tetap tertinggal dalam pawai pembangunan. Janji Pemerintahan Presiden SBY bersama jajarannya dari pusat hingga ke daerah untuk memberantas praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) ternyata masih sebatas mimpi.
Sumber: Pos Kupang, 19 Juni 2006
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger