Headlines News :
Home » » Drs Inu Kencana Safiie, M.Si, Bersuara Atas Nama Kebenaran

Drs Inu Kencana Safiie, M.Si, Bersuara Atas Nama Kebenaran

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, July 19, 2007 | 10:19 AM

Ia membuka sejumlah kasus di IPDN Jatinangor, Jawa Barat, yang selama ini tertutup rapat. Tapi, ia malah dituding mencari popularitas, jabatan, uang bahkan sensasi. “Semua itu saya lakukan atas nama kebenaran,” katanya.

Nama Inu Kencana Safiie melangit setelah dua kasus kekerasan yang mengakibatkan dua praja di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, tewas.

Pertama, ia membongkar kasus kekerasan yang mengakibatkan praja Wahyu Hidayat tewas pada September 2003. Kemudian, kasus kekerasan yang mengakibatkan Cliff Muntu, praja asal Manado, Sulawesi Utara meregang nyawa pada April 2007.

Kasus terakhir, malah menggegerkan masyarakat Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya turun tangan. Sebuah tim yang dipimpin Prof Dr Ryaas Rasyid diterjunkan guna mengusut kasus itu. Juga mengevaluasi keberadaan lembaga pendidikan pencetak calon birokrat itu.

Sebenarnya, tidak hanya kasus kekerasan yang dipraktekkan praja senior kepada para yuniornya di kampus itu. Malah, ada berbagai praktek haram yang ditengarai terjadi di kampus itu terbungkus rapi dan tak pernah terkuak.

Nah, demi mencari kebenaran sejati, Inu membongkarnya melalui IPDN Undercover: Sebuah Kesaksian Bernurani. Buku yang merupakan biografinya itu membuat banyak pihak, terutama lingkungan internal kampus, merasa keberatan. Protes pun bermunculan, terutama praja wanita yang merasa dilecehkan Inu, dosennya sendiri.

“Dalam buku yang saya tulis itu, saya ingin mencari kebenaran. Setelah ibu dan ayah saya meninggal, hidup saya sangat miskin. Nah, rupanya kebenaran itu Tuhan. Maka ketika terjadi ketidakadilan, ternyata mereka sedang menginjak-injak ayat-ayat kebenaran. Mereka sedang menginjak-injak ayat-ayat Tuhan. Saya ingin menyampaikan bahwa inilah kebenaran yang hakiki,” ujar Inu Kencana kepada penulis di Hotel Aston Atrium Senen, Jakarta Pusat belum lama ini.

Tak Boleh Ditutupi

Dosen yang kalem ini juga mengaku kejujuran menjadi sangat penting sekalipun kadang nyawa jadi taruhan. Tapi, ia yakin kebenaran itu Tuhan. Setiap agama mengajarkan tentang kebenaran.

“Sebuah ayat dari Alkitab sangat bagus. ‘Akulah jalan, kebenaran, dan hidup.’ Itu yang sangat penting tapi justru saat ini kebenaran sedang diinjak-injak. Padahal, menurut saya informasi itu tidak boleh tertutup. Kecuali memang rahasia negara. Justru ada yang menuding saya telah membuka aib. Ini bukan masuk kategori rahasia negara,” tegasnya.

Inu memberikan ilustrasi sederhana. Kalau anak seseorang cacat kemudian ia sampaikan kepada orang lain maka itu aib. Namun, jika ada penjahat yang hendak memperkosa anak seseorang kemudian penjahat itu ditangkap dan digelandang ke polisi maka itu kebenaran.

Tapi, langkahnya menguak praktek kekerasan, narkoba, seks bebas dan lain-lain yang terjadi di kampus itu dianggap “kontraproduktif”. “Memang terlihat seperti itu karena cara berpikir orang hanya uang. Masak kejahatan itu ditutup-tutupi lalu dapat uang? Itu nggak benar, dong. Pembunuhan Wahyu Hidayat itu Rp. 300 juta. Tapi, orang mengatakan tidak ada buktinya. Ya, memang karena tidak ada kwitansinya, dong! Bisa dibayangkan orang yang membunuh Wahyu Hidayat itu bisa lulus,” katanya menegaskan.

Lapor Presiden

Tak tahan dengan upaya menutup-nutupi kasus itu, Inu melaporkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui juru bicara kepresidenan, Dr. Andi Alfian Mallarangeng. Andi mempersilahkan Inu membongkarnya jika memang kejadiannya seperti itu.

Setelah mendapat lampu hijau, Inu akhirnya “bernyanyi” di koran bahwa presiden melantik narapidana. Setelah berita itu menyebar semua orang marah. Pejabat-pejabat IPDN juga marah karena merasa terganggu dengan berita itu. Kemudian, laporan itu dicek lagi di Pengadilan Negeri Sumedang dan Pengadilan Tinggi Jawa Barat.

“Setelah kasus kematian Cliff Muntu mencuat, anak itu (pelaku kematian Wahyu Hidayat-pen) harus berhenti dari pegawai. Ini bukan berarti saya kejam tetapi kebenaran harus ditegakkan,” lanjut Inu.

Inu mengaku merasa pilu dengan segala bentuk kekerasan yang terjadi di IPDN sehingga harus mengungkapkannya ke publik. Ia bukan merasa jenuh. Jika ia merasa jenuh maka tentunya ia harus keluar dari IPDN. Dosen yang masih belum punya rumah pribadi ini tak mau dituduh sebagai pengecut.

“Saya sempat dinonaktifkan selama dua hari dari IPDN. Saya diaktifkan kembali karena publik memihak saya. Saya dituding mencari popularitas. Tapi, untuk apa mencari popularitas? Yang ada dalam hati dan pikiran saya adalah bahwa kebenaran yang paling hakiki harus diperjuangkan. Suara rakyat itu suara Tuhan. Orang Latin mengatakan, vox populi, vox dei. Ini memang agak filosofis. Tapi kalau bicara hukum saya justru harus minta bantuan pengacara,” kata Inu menunjuk pengacaranya, Petrus Bala Pattyona, SH, MH yang setia mendampinginya.

Merasa Kampungan

Inu Kencana Safiie lahir di Nagari Simalanggang, Sumatera Barat pada 14 Juni 1952. Ia lahir dari pasangan H. Abdullah Safiie dan Hj. Zaidar Safiie. Ayahnya adalah Bupati Payakumbuh. Ia tergolong bupati miskin yang tak pernah korupsi. Sedang ibunya guru Sekolah Keputrian Raja Siak Sri Indra Pura.


“Saat menutup pintu ruang kerja, saya membayangkan wanita mulia yang pernah meneteskan darah karena melahirkan saya. Wanita agung yang memberikan saya air kehidupan hingga usia tiga tahun lebih,” kata Inu dalam biografinya.

Sebagaimana ia ungkapkan dalam biografinya, masa sekolah dilewati di Nagari Simalanggang, Payakumbuh. Tapi, saat di bangku kelas 2 Sekolah Rakyat di Payakumbuh, ia mendengar kabar bahwa ayahnya meninggal di Bengkalis. Bersama ibunda, mereka menuju Bengkalis.

“Tiba di sana kami langsung ke makam ayah. Tanah kuburannya masih merah. Kami menangis karena tidak semua kakak saya hadir,” kenangnya.

Setamat SR, ia sekolah di SMP Negeri III Payakumbuh. Inu terus menunjukkan prestasi. Di SR, misalnya, ia sempat mendapat rangking tiga di kelasnya. Kemudian, di SMP ia juara umum kedua di sekolahnya.

Namun, di sekolah ini Inu hanya bertahan setahun karena bersama ibunya ia dibawa kakaknya, Sudra Syafiie ke Jakarta. Di Ibu Kota ia masuk di SMP Negeri VIII Jakarta. Meski tak mendapat juara karena masih butuh penyesuaian, toh, di SMA Negeri V Filial Jakarta ia kembali juara. Inu mulai merasa percaya diri sekalipun ia mengaku menjadi orang yang paling kampungan.

“Bayangkan saja. Dari Jalan Salemba Raya, tepatnya di Gang Haji Murtado, kami harus berjalan kaki sampai ke Jalan Thamrin di Jakarta Pusat. Kami naik tangga berjalan (eskalator) di Toserba Sarina (Jl. Thamrin) dan ditangkap satpam karena tidak memakai sandal,” ujar Inu.

Meski sempat SMA di Jakarta, Inu akhirnya tamat di SMA Negeri I Paspal di Kota Pangkalan Brandan tahun 1071. Ia kemudian kembali ke Jakarta dan mencoba masuk Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI).

Cita-cita menjadi dokter tetap membara. Ia akhirnya masuk di FK Universitas Trisakti. Di kampus ini, ia berteman dengan Rudy Hartono. Belakangan Rudy Hartono terkenal sebagai juara dunia Bulutangkis All England.

“Saat petugas tagih uang SPP, saya hengkang dari Trisakti. Apalagi, uang praktek terasa sangat menyulitkan. Saya akhirnya jadi pengangguran. Ibunda mulai didera sakit jantung. Ibu akhirnya meninggal di atas mobil kakak saya di bawah jembatan Semanggi. Saat itu saya marah kepada Allah,” kenangnya.

Tetap Semangat
Meski ditinggal pergi ayah dan bunda tercinta, toh, Inu Kencana tak patah arang. Ia tetap tekun menata hidup lewat pendidikan. Setelah dtinggal ibu tercinta, Inu diajak kakak perempuan ke Irian Jaya.

Saat itu ia bertugas di sebuah Puskesmas sebagai dokter gigi. Sedang suaminya bertugas sebagai Kepala Sub Diorektorat Pendaftaran Tanah Provinsi Irian Jaya di Jayapura. Setiba di Jayapura, Inu kuliah di Akademi Ilmu Administrasi dan Akuntansi Jayapura.

Di sini, ia berkenalan dengan Ermaya Suryadinata yang belakangan sempat menjadi Gubernur Lemhannas. Oleh kakanya, Inu dikuliahkan di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Jayapura.

Semangat juang yang tinggi mengantar Inu menjadi sosok pemikir yang brilian. Ia akhirnya mempersunting Indah Prasetiati, gadis pilihannya yang kini telah memberinya tiga anak. Ketiganya, Raka Manggala Safiie, Nagara Belagama Safiie, dan Periskha Bunda Safiie.

Inu juga mulai mendapat berbagai tugas dan jabatan di Papua hingga dipercayakan menjadi dosen IPDN di Jatinangor. Sejumlah buku lahir dari tangan dosen yang kalem ini. Terakhir, ia menulis biografinya, IPDN Undercover: Sebuah Kesaksian Bernurani yang membuat heboh kampusnya sendiri. Apa perlu ada perubahan radikal terhadap sistem pendidikan di IPDN? “Menurut saya, pejabatnya harus jujur. The man behind the gun. Anak-anak murid itu ibarat kertas putih,” kata Inu. (Ansel Deri)
Sumber: HIDUP, 24 Juni 2007
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger