Headlines News :
Home » » Petrus CJL Bello SH, MH, Bukan Soal Menang Kalah

Petrus CJL Bello SH, MH, Bukan Soal Menang Kalah

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, August 09, 2007 | 10:28 AM

“Yang harus diperjuangkan adalah kebenaran dan keadilan. Bukan soal kalah atau menang. Keyakinan merupakan faktor utama bagi pengacara dalam menjalankan profesinya, yaitu keyakinan bahwa kebenaran dan keadilan selalu akan menjadi pemenang,” demikian prinsip yang dipegang Petrus CKL Bello SH, MH.

Sejak kecil, Petrus sudah bercita-cita menjadi pengacara atau dokter. Cita-cita itu terus membuncah saat ingin kuliah di Universitas Airlangga Surabaya. Tahun 1986, ia sebenarnya ingin kuliah kedokteran di Unair, maka ia mencantumkannya sebagai pilihan pertama.


Baginya, sosok dokter sangat menarik dan dibutuhkan masyarakat. Kemudian, pilihan kedua jatuh pada hukum. Pilihan ini juga menarik bagi Petrus. Apalagi, ditopang dengan hobinya membaca biografi tokoh-tokoh sukses. Termasuk novel-novel best seller seperti Shidney Sheldon dan Agatha Christie serta cerita-cerita kriminal lainnya.


“Jadi saat itu, saya mau memilih masuk salah satu dari dua fakultas yaitu kedokteran dan hukum karena saya pikir dua profesi itu sama-sama menolong orang,” ungkapnya. Bedanya, dokter menolong orang yang sakit secara fisik dan psikis. Sedangkan pengacara menolong orang yang sakit secara sosial atau biasa disebut pesakitan. Kalau dokter melihat anatomi penyakit klien yang sakit kemudian memberi obat. “Tapi, pengacara menolong klien yang sakit secara sosial lebih rumit (complicated) daripada usaha-usaha yang dilakukan oleh seorang dokter dalam menolong kliennya,” kata pemilik Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Bello & Partners Jakarta ini.


Akhirnya Petrus diterima di fakultas hukum. Awalnya, ia tidak begitu tertarik kuliah di jurusan hukum. Namun, lama kelamaan tertarik ia bisa menikmati juga. “Di sini saya belajar bermacam-macam karekter orang dan agregatnya. Saya juga belajar tentang hukum dalam kaitannya dengan keadilan, kebenaran, kebebasan, persamaan, dan sebagainya,” tutur Petrus.


Menurut Petrus, seorang pengacara harus bisa masuk ke latar belakang kliennya yang mengalami masalah. Untuk itu, seorang lawyer dituntut kemampuan lebih dari sekadar tahu hukum (legalistik), tetapi juga mempunyai pengetahuan lain seperti psikologi, sosiologi, antropologi, filsafat manusia, filsafat hukum, dan sebagainya.


Seorang pengacara juga harus terus menimbah ilmu pengetahuan dan memperbanyak pengalaman. Karena itu, ia terus memperkaya wawasan dan pengalamannya. “Sampai saat ini saya masih terus belajar menimba ilmu pengetahuan (teori) dan filsafat. Hemat saya, teori hukum dan filsafat hukum adalah penting,” tandasnya. Ia menguraikan, keduanya sebagai dasar agar hukum dan praktik hukum tidak sewenang-wenang. Di mana teori hukum dan filsafat hukum tidak membatasi diri pada hukum yang berlaku, melainkan pada usaha pencarian ‘hukum yang benar’. “Jadi sebagai pengacara, saya berjuang untuk lebih mementingkan kebenaran dan keadilan ketimbang hal yang lainnya misalnya hal-hal yang sifatnya teknis,“ ujar ayah tiga anak ini. Karena itu, baginya, memenangkan sebuah perkara bukan segala-galanya atau tujuan utama berperkara.


Seperti air


Di mata Petrus, usaha mendapat keadilan itu seperti air yang mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Ia masih melihat hukum lebih banyak menjangkau orang-orang yang berada di posisi bawah ketimbang yang di atas. Orang miskin selalu jadi korban dalam penegakan hukum. Mereka selalu tidak mendapatkan keadilan. Berbeda dengan orang kaya atau yang mempunyai kedudukan (strata) tinggi di masyarakat, yang bisa membayar pengacara. “Kadang, yang salah pun bisa jadi benar. Yang hitam bisa jadi putih atau yang putih jadi hitam. Padahal, aturan hukum sudah cukup jelas,” katanya.


Selain itu, Petrus mengungkapkan masalah yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan itu sendiri. Di mana kadang terlalu dipaksakan pembuatannya tanpa melihat aspek yang lain. Misalnya, aspek kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah, adanya pluralitas moral yang dimiliki oleh warga masyarakat. Juga mentalitas penegak hukum yang belum siap.


Petrus berpendapat, ke depan perlu diupayakan pendidikan hukum bagi masyarakat melalui sosialisasi budaya sadar hukum di masyarakat, pembangunan sikap dan perilaku para penegak hukum yang baik.


Pengacara muda


Setelah merampungkan studi pada Fakultas Hukum Unair awal 1991, Petrus langsung memutuskan bekerja sebagai pengacara. Saat itu ia berumur 23 tahun. Tak pernah terlintas dalam benaknya untuk menjadi jaksa, hakim, polisi bahkan pegawai negeri sipil (PNS).


Hobi membaca kisah sukses para tokoh dunia menopang cita-citanya menjadi pengacara terkenal. Profesi pengacara adalah panggilan hidupnya yang ingin dapat menolong kesulitan yang dihadapi sesamanya. Ini berbeda dengan kebanyakan orang saat ini yang masuk Fakultas Hukum sekadar ingin jadi pengacara untuk cepat kaya.


Saat Petrus menjadi pengacara tahun 1991, profesi itu belum menjanjikan. Waktu itu, orang beranggapan bahwa supremasi hukum, rule of law belum berjalan karena politik dan kekuasaan masih mendominasi hukum (rule by law). Karena itu, orang tidak tertarik menjadi pengacara dan memilih profesi lain. “Memang saat itu ada juga pengacara tapi jumlahnya nggak sebanyak seperti sekarang. Tahun 1991, saya sudah mengantongi ijin praktek pengacara dan mulai menangani kasus-kasus hukum,” katanya.


Malang melintang di beberapa kantor pengacara, membuat Petrus memutuskan membuka kantor pengacara sendiri. Keputusan ini diambil setelah ia mempertimbangkan pengalaman dan kepercayaan yang diberikan oleh para relasi dan klien selama ini. Februari tahun 2000, ia membuka kantor sendiri.


Ambil bagian


Meski sibuk dengan profesi pengacara, bukan berarti tugas-tugas lain diabaikan. Ia, misalnya, dipercaya sebagai Ketua Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAK) Dekanat Jakarta Pusat. Pengacara ini juga duduk sebagai wakil Katolik dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kotamadya Jakarta Pusat.


Kesibukan lainnya yang lain, ia menjadi peserta program Pasca Sarjana (S2) Filsafat STF Driyarkara, mengikuti Program Doktoral Bidang Hukum Universitas Indonesia, dan tampil sebagai pembicara dan moderator dalam berbagai kegiatan seminar dan lokakarya. Baik yang diselenggarakan paroki-paroki maupun seminar-seminar umum.


Di lingkup keluarganya, ia juga termasuk sosok yang sangat peduli dengan urusan pendidikan. Sebanyak tujuh anak dari kampungnya, Adonara, ia biayai sejak di bangku SLTA hingga kuliah. “Ini penting karena pendidikan menjadi jaminan mengatasi sebagian besar persoalan hidup. Saya harus menanamkan pentingnya pendidikan kepada keluarga saya,” tekad Petrus. (Ansel Deri)


Lahir : Surabaya, 19 Mei 1968

Istri : Paulina Surat Geroda
Anak : -Justicia Bello
-Valentino Rosary Bello
-Theresia Bello

Pendidikan : - S-1 Fakultas Hukum Unair tahun 1991.

- S-2 Hukum Ekonomi UI tahun 2006.
- Mahasiswa S-2 STF Driyarkara, 2007- sekarang.
- Mahasiswa S-3 Bidang Hukum UI, 2007 – sekarang.
- Peserta Extention Course STF Driyarkara Jakarta, 2005 – sekarang.

Riwayat Pekerjaan:

- Advokat dan Pengacara sejak 1991.
- Pendiri Law Firm Bello & Partners tahun 2000.

Aktivitas Lain : - Ketua Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAK)

Dekenat Jakarta Pusat.
-Wakil Katolik dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Kotamadya Jakarta Pusat.
-Menjadi pembicara dan moderator dalam berbagai seminar.

Alamat Kantor : Gedung Arthaloka Lt. 16, Suite 1610

Jl Jendral Sudirman Kav. 2 Jakarta Pusat 10350
Tlp/Fax: (021) 2512475-76/2512476 – E-mail:bellopartner@cbn.net.id
Website: www.bellolaw.co.id
Sumber: HIDUP tanggal 5 Agustus 2007
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger