SABAN hari ia hidup di tengah ladang. Satu tugas lagi ia emban yakni sebagai Sekretaris Desa Belabaja, Nagawutun. Tapi di balik itu ia menyimpan potensi sebagai penyair. Sejumlah karya sastra berupa puisi dan drama tercipta dari tangannya.
Kluang hanya sebuah dusun kecil di kaki Gunung Labalekan, Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Desa ini merupakan pemekaran dari desa induk, Labalimut.
Di sinilah sehari-hari Joseph Enga Alior menghabiskan hari-harinya bersama isteri, Rosalia Barek de Ona serta anak-anaknya Harto, Elisa Pute, Mardin, dan Pius Guma Topo.
Membersihkan kebun, memberi makan ternak, dan merawat tanaman niaga adalah rutinitasnya sebagai petani. Selain itu, ia masih mengabdikan diri sebagai sekretaris desa (sekdes) mendampingi Kepala Desa Paulus Genere Pattyona.
Berpuisi
Yos, begitu ia disapa, juga ternyata jago menciptakan puisi yang bisa dibacakan atau dilombakan. Ia juga bisa mengarang naskah drama untuk dipentaskan muda-mudi Katolik (Mudika) Paroki Boto di setiap stasi. Bersama istrinya, mereka kadang ikut sebagai pemerannya.
Jiwa bersastra ternyata sudah tertanam sejak kecil saat ia akrab dengan buku-buku sastra. Saat duduk di bangku SMA Kawula Karya Lewoleba, Lembata, kegemaran ini pun terus ia mantapkan.
Saat itu Yos berhasil menulis tiga drama: Banjir Dara di Lembah Argoni, Badai Perjalanan, dan Mawar Untuk Ibu. Ketiga dirampungkan dengan mudah karena ia sudah terbiasa menulis cerita pendek (cerpen).
“Saya membuat coretan-coretan kemudian merevisinya untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan punya nilai seni,” katanya. Kemampuan itu mengantarnya masuk sebagai staf redaksi Genta Kawula, majalah dinding sekolahnya.
Talenta yang dimilikinya terus dikembangkan selepas SMA. Yos malah makin memantapkan hobinya itu. Puisi yang ia tulis antara lain Untukmu Pahlawanku, Rintihan dari Suara Tak Bersuara, Cintaku Guruku, Suara, Buatmu Kasihku, Dalam Malam, dan Di Makam Ibu.
Begitu juga naskah cerpennya seperti Saat Senja Merapat dimuat Surat Kabar Mingguan (SKM) Sinar Pagi Minggu terbitan Jakarta. Cerpen ini, menurut Yos, melukiskan kisah cinta sepasang remaja dengan latar belakang Pantai Lewoleba, kota Kabupaten Lembata.
“Honor naskah cerpen ini Rp. 5.000. Teman-teman ketua RT dan RW menertawakan saya karena hanya dihadiai honor sebesar itu. Bagi saya tak ada masalah. Malah saya bangga karena cerpen seorang petani mendapat pengakuan kemudian dimuat,” katanya.
Sementara itu sejumlah naskah drama ia tulis berhasil dipentaskan oleh kelompok muda mudi Katolik (Mudika) Stasi Boto ke berbagai stasi di Paroki Boto seperti Puor, Atawai, Imulolong, Posiwatu dan sejumlah stasi di Paroki Mingar seperti Idalolong, Dekanat Lembata, Keuskupan Larantuka.
Tiga drama Banjir Dara dan Air Mata, Rintihan Anak Jalanan, dan Mawar Untukmu Ibu hasil karyanya dipentaskan mudika. Ia dan istrinya terlibat. “Dalam drama ini saya bertindak selaku sutradara sedangkan istri saya sebagai pemeran utama,” kenang Yos.
Kegigihan menggeluti puisi dan drama mengantar Yos meraih juara pertama lomba baca puisi tingkat kecamatan. Ia juga pernah keluar sebagai juara satu lomba baca Alkitab tingkat kabupaten pada perayaan HUT ke-3 Otonomi Daerah (Otda) Kabupaten Lembata di Lewoleba.
Komentator
Kemampuan putera pasangan Karolus Ketoj Alior dan Elisabeth Pute Tufaona ini tak sebatas itu. Ia juga termasuk komentator handal dalam berbagai even pertandingan bola kaki tingkat kecamatan.
Bahkan suara baritonnya mampu menghipnotis pentonton pertandingan bola kaki. Konsistensi di dunia tulis-menulis membuka cakrawala sang kades tentang makna karya sastra. Baginya, sastra itu sebuah dunia yang otonom, tak terikat. Ia hadir berdasarkan pengalaman.
“Penyair Libanon Khalil Gibran telah mengajarkan saya tentang kata-kata. ‘Aku ingin mengucapkan satu-dua patah kata yang hendak kuamanatkan sekarang. Namun, apabila ajal mencegahnya, amanat itu akan terucapkan Esok karena Esok tak kan menghilangkan sebuah rahasia pun dalam buku Keabadian.’ Begitu kata-kata Gibran dalam Sang Guru. Ini memantapkan saya dalam bersastra,” katanya.
Ternyata kemampuan menulis puisi dan mengarang naskah drama itu juga terinspirasi oleh seniman besar WS Rendra. Saat tinggal di Jakarta, ia sempat menyaksikan sastrawan dengan julukan Si Burung Merak, tampil membacakan puisi-puisinya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
“Beberapa kali saya sempat menonton Rendra tampil. Dari penyair besar ini saya banyak belajar bagaimana menciptakan puisi. Bagi saya Rendra adalah teks hidup. Ia menjadi kiblat dalam bersastra. Nah, kami di desa juga butuh mengeksplorasi jiwa seni kami meskipun dalam bentuk yang sederhana,” katanya. (Paul Lima/Ansel Deri)
Sumber: Mingguan Flores Pos Jakarta edisi 15 – 22 Juli 2007
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!