Headlines News :
Home » » Rikardus Daton Klobor, Raih S-2 Tepat Dua Tahun

Rikardus Daton Klobor, Raih S-2 Tepat Dua Tahun

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, August 10, 2007 | 11:44 AM

Keberhasilan harus diraih dengan kerja keras dan ketekunan. Rikardus Daton Klobor membuktikannya. Ia berhasil menyelesaikan materi studi Master (S-2) dalam waktu satu setengah tahun di Universitas Parahyiangan Bandung.

Tapi di atas semua usaha dan karya, doa adalah segalanya. Pengakuan jujur ini keluar dari mulut Ir Rikardus Daton Klobor MT, staf pengajar Fakultas Teknik Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, NTT.

“Bagi saya keberhasilan yang kita raih ibarat seorang petani menanam. Kemudian pada musim panen ia memetik hasilnya dengan penuh suka cita,” ujar Rikar Daton. Tahun 2003, misalnya, ia menerima penghargaan bergengsi di bidang arsitektur dan lingkungan.

Saat itu, ia menerima Suwondo Award dari Yayasan Bismo Sutedjo Jakarta kategori Arsitektur dan Lingkungan. Panitia menilai, tesis master Rikar di Program Pascasarja FT Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung merupakan karya yang orisinal dan aplikatif bagi masyarakat di pedasaan.

Ia bangga karena karyanya itu mengalahkan ratusan tesis master bidang arsitektur dan lingkungan seluruh Indonesia. Ia juga berhak atas uang Rp. 14 juta. “Panitia menilai karya saya bagus sehingga Dewan Juri menetapkan sebagai pemenang pertama. Bagi saya ini merupakan penghargaan yang positif bagi saya sebagai seorang pengajar,” kata Rikar.

Rikar sesungguhnya anak kampung dari Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutung, Kabupaten Lembata, NTT. Dari penampilannya, tak ada yang istimewa. Namun ketika diajak ber-sharing- soal pengalaman hidup, sosok dosen yang sederhana bisa bercerita panjang lebar.

Setelah menamatkan sekolah dasarnya (SD) di desanya, Belabaja, ia melanjutkan studi ke Sekolah Teknik (ST) dan Sekolah Teknik Mesin (STM) Bina Karya Larantuka, Kabupaten Flores Timur (Flotim). Sekolah ini milik bruderan Bunda Hati Kudus (BHK).

Soal jurusan yang dipilihnya, Rikar bercerita bukan berhubungan dengan teknik. Semula ia ingin masuk jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Tapi karena dorongan Andreas Bera, kakak sulung yang juga seorang guru maka Rikar masuk jurusan teknik. Kendati demikian, diakuinya, hal ini bukan menjadi halangan.

“Proses itu berjalan alamiah, tidak ada rekayasa. Atas saran dari kakak sulung, saya menekuninya dengan senang hati. Bagi saya hidup ini juga sebuah pilihan. Kita tak hanya pangku tangan lalu meraih sukses. Itu sonde (tidak) ada dalam hidup,” cerita Rikar, ayah empat ini.

Menurutnya, walaupun keinginannya berbeda dengan kakak sulung justru menantang dan mendorong dia lebih giat meraih cita-citanya. “Bagi saya masa depan itu ibarat bola yang harus direbut,” ujar suami dari Yuliana Maria Wea ini menganalogikan.

Wujud perjuangannya Rikar itu benar-benar ditunjukkan ketika melanjutkan kuliah di FT Unwira Kupang. Saat itu, untuk mengatasi kebutuhan kuliahnya, kadang ia menjadi buruh bangunan. Anak desa ini tak malu-malu tinggal di gudang bangunan dalam komplek kampus menjalani profesi sebagai buruh bangunan.

Semua itu ia lakukan demi mencari uang guna membiayai hidupnya. Entah karena merasa prihatin, Ir. Paul Iwo, dosennya di FT Unwira mengajak ia tinggal di rumahnya. Rikar diajak untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan desain. Pembawaan yang kalem dan jujur seorang Rikar membuat Paul Iwo dan istrinya menganggapnya seperti keluarga sendiri.

Dari sini, ia terus menunjukkan kematangan dalam bidang desain dan arsitektur. Rikar berhasil menggambar sejumlah gedung di Kota Kupang dan sekitarnya. Misalnya, Gereja Paroki St Imaculata Kapan dan Kapel Seminari Tinggi St Mikhael Penfui di Keuskupan Agung Kupang.

Kemudian bersama Paul Iwo, ia menggambar Dormitorium Seminari St Rafael Kupang, Gereja Paroki St. Maria Assumpta Walikotamadya Kupang, Gedung BKKKS Kupang dan gedung Soverdi Keuskupan Agung Kupang.

Ia juga menjadi staf ahli PT Arsi Konsultan-Kupang dan pernah dipercayakan menjadi Kepala Lembaga Teknologi Bangunan Unwira periode 1994-1998. Ia juga pernah magang sebagai dosen di Institut Teknologi Surabaya (ITS) selama satu semester tahun 1994.

Bagi Rikar, apapun tugas yang diberikan harus dikerjakan dengan tanggungjawab. Ini merupakan garansi bagi yang memberi kepercayaan. Karena itu, sebelum dan sesudah menyelesaikan tugas, ia selalu teringat akan kebaikan Tuhan sehingga perlu waktu sejenak untuk berkomunikasi dalam doa.

“Saya sadar. Kasih Tuhan senantiasa saya terima. Saat semester tiga, mendapat beasiswa dari Asosiasi Pendidikan Tinggi Katolik sehingga saya bisa menyelesaikan kuliah tahun 1984,” cerita Rikar.
Tapi, ia seolah tak percaya jika tesisnya diseleksi dan meraih juara pertama dari sekian banyak tesis yang diseleksi. Bahkan ketika panitia memberitahu ia datang ke Jakarta, Rikar malah menyuruh seorang ponakannya untuk mengecek kebenaran award itu.

“Saya khawatir jangan sampai pemenang harus menyetor uang ke panitia sebelum hadia kita terima. Ternyata, pendiri yayasan itu salah seorang pendiri Fakultas Teknik UI.

Tesis Rikar terpilih untuk kategori Arsitektur dan Lingkungan. Sedangkan juara dua dan tiga diraih Ir. Elfida Agus MT, dosen Fakultas Teknik (FT) Universitas Bung Hatta Padang, Sumatera Barat dan Ir. Cahyo Utomo, MT staf Dinas Tata Kota Pemerintahan Kota (Pemkot) Surabaya, Jawa Timur.

Saat itu, Ketua Pembina Yayasan Suwondo Bismo Sutedjo, Prof. Dr. Ir. Suwondo Bismo Sutedjo mengemukakan, penentuan ketiga pemenang dilakukan setelah panitia menyeleksi tesis magister (S-2) dari kurang lebih 20 universitas di seluruh Indonesia.

“Yang memberikan jawaban itu sebanyak 5 universitas. Satu karya S-2 pertama yang masuk itu dari Universitas Bung Hatta Padang,” jelas Rikar mengutip Suwondo Bismo Sutedjo. Kemudian satu dari Universitas Mercu Buana Jakarta. Setelah itu dua dari Program Pascasarjana Fakultas Teknik (FT) Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Jawa Tengah juga mengirim dua buah tesis. Delapan tesis itu diseleksi oleh para pakar arsitektur yang tergabung dalam Kelompok Tujuh.

Ketujuh pakar Kelompok Tujuh itu adalah Ir. Achmad Noe’man, Dr. Ir. Bianpoen, Ir. Sonny Sutanto, M. Arch, Ir. Budi A Sukada, Grad. Hons. Dipl. AA, Ir. Triatno Yudo Harjoko, M.Sc, Ph.D, Ir. Atok Wijanarko, MM, dan Ronald L Tambun, MM. Delapan tesis itu diseleksi sesuai dengan topik yang cocok yakni pembentukan komunitas dan lingkungan terutama bagi mereka yang kurang mampu. Topik tesis yang sesuai itu kemudian diteruskan kepada Tim Juri yang terdiri dari Ketua Dr Ir Haryadi, M. Arch (mewakili organisasi profesi), Wakil Ketua Drs Djafar H Assegaf (mewakili masyarakat), dan Anggota Ir. Karnaya, M.A.U.D (mewakili Perguruan Tinggi).

Gempa bumi disertai tsunami yang meluluhlantakkan Pulau Flores pada 1992 menggoda Rikar meneliti bambu sebagai bahan rumah yang tahan gempa. Dosen yang kalem ini akhirnya mengarahkan perhatiannya pada enam desa di Kecamatan Maunori dan Aesesa, Kabupaten Ngada, Flores sebagai sampel penelitiannya.

Desa-desa itu adalah Kota Wuji Timur (Kotim), Kota Wuji Barat (Kobar), Mbae Nua Muri (Mbari), Keli, Maupisa, dan Kota Mbai. Tak hanya desa-desa yang potensial memiliki tumbuh bambu. Hutan bambu dapat ditemukan di seluruh kabupaten Ngada dengan berbagai jenis dan kualitas bambu yang baik.

Rikar melihat, perkembangan teknologi berdampak luas hingga ke seluruh pelosok-pelosok. Hal ini terlihat sepanjang jalur pertumbuan ekonomi yang mengubah pandangan (image) masyarakat sehingga mereka berlomba membangun rumah tembok, sekalipun dalam kondisi kekurangan. Singkatnya, kelompok masyarakat yang belum memiliki rumah tembok, dianggap ketinggalan zaman.

Nah, jika ditelusuri, Ngada merupakan daerah yang labil dan rawan terhadap ancaman gempa. Karena itu, berdasarkan pengalaman maka penggunaan bangunan konstruksi bambu jauh lebih aman dibanding dengan bangunan yang menggunakan materian bata dan semen. Ia memberi gambaran bahwa perbandingan kerusakan saat gempa antara bambu dan beton adalah yaitu 1:9. Ini jika dibandingkan saat terjadi gempa Flores 12 Desember 1992.

Ngada juga merupakan daerah tujuan transmigrasi lokakal (translok). Pada 1998, Pemerinta NTT saat itu sempat memikirkan alternatif rumah bambu sebagai perumahan transmigrasi lokal.

Gagasan tersebut, menurut Rikar, perlu mendapat tanggapan positif. Ini penting karena selain dapat mengantisipasi bahaya dan ancaman gempa, juga dapat menekan serta mempercepat proses konstruksi dan memberi nilai tambah bagi bahan bambu yang hingga saat ini dibiarkan tak berfungsi.

Sayangnya, sejalan dengan derasnya arus komunikasi dan informasi dewasa ini, telah terjadi pergeseran image masyarakat terhadap bambu. Rumah bambu seakan tidak mencerminkan kehidupan modern.

Karena itu, desa-desa yang merupakan pusat pertumbuhan di mana tata nilai kehidupan modern mulai mewarnai kehidupan masyarakat, penggunaan material bambu cenderung ditinggalkan dan diganti dengan rumah yang menggunakan material modern seperti dinding tembok jendela kaca serta atap seng.

Muncul pertanyaan, sejauh mana rumah bambu dapat diterima masyarakat calon pengguna? Jawaban atas pertanyaan itu, ujar Rikar, tidak saja terkait soal bagaimana rumah bambu dapat memenuhi tuntutan fungsional, kekuatan, dan keawetan tertentu hingga layak secara teknis teknologis.

Namun, lebih dari itu terkait pada suka atau tidak suka masyarakat terhadap rumah bambu. Persepsi masyarakat ini menjadi penting artinya. Pasalnya, rumah tidak saja mengemban fungsi fisik dan biologis tetapi juga fungsi sosial dan simbolik yang mencerminkan status sosial dan jati diri penghuninya.

Orisinalitas karya Rikar itu yang dinilai panitia Suwondo Award menarik karena menyentuh masyarakat pedesaan dari aspek arsitektur dan lingkungan. Rikar ingin melihat persepsi dan aspirasi masyarakat Ngada, Flores, NTT mengenai rumah bambu.

Hipotesisnya, rumah bambu sudah dijauhi masyarakat karena mereka sudah berubah. Namun dalam kenyataannya, persepsi dan apresiasi masyarakat masih tinggi. Atas prestasi itu, para pemenang diberikan piagam penghargaan dan uang tunai masing-masing Rp. 14.000.000,00 (juara 1), Rp. 6.000.000,00, dan Rp. 3.000.000,00.

Pengakuan atas karya ilmiah itu, menurut Rikar, merupakan suatu kebanggaan bagi Program Pascasarjana FT Unpar dan almamaternya, Unwira Kupang. Rikar mengakui, pihaknya tidak pernah membayangkan kalau tesisnya terpilih jadi pemenang. “Apalagi ditetapkan masuk juara 1 di antara semua tesis S-2 yang diseleksi panitia. Ini adalah pengakuan bagi saya sebagai orang kampung yang ternyata bisa berprestasi di tingkat nasional,” ujar Rikar merendah.

Ditanya bagaimana hadiah uang sebesar itu akan digunakan, ia merencanakan untuk menerbitkan dalam bentuk buku. Dengan demikian diharapkan bisa digunakan sebagai referensi bagi pengembangan arsitektur, khususnya di NTT.

“Saya akan meminta bantuan Unika dan Bapak Gubernur NTT Piet A Tallo agar membantu saya menerbitkan karya saya ini. Mudah-mudahan bisa menjadi sumbangan berharga bagi NTT,” ujar warga Paroki Santu Yoseph Penfui, Keuskupan Agung Kupang, NTT.

Rikar meraih gelar sarjana pada FT Unwira Kupang. Ia langsung mengabdikan diri sebagai staf pengajar di almamaternya. Rikar kemudian melanjutkan studi pada Program Pascasarjana FT Unpar Bandung, konsentrasi perencanaan arsitektur.

Dosen yang sederhana ini menyelesaikan masternya selama satu setengah tahun dan masuk 10 besar lulusan terbaik. Pada semester keempat, ia diwisuda. Saat itu, ia didampingi istri, anak, dan dua ponakannya yang tinggal di Jakarta.

Saat itu, ia sangat bersyukur dan bahagia karena Tuhan begitu baik hati. Sebagai ungkapan syukur mereka berdoa dalam kamar kos, tak jauh dari kampus. Kemudian mereka menumpang angkutan kota jurusan Ciumbeuleut-Stasiun. Di sekitar Dago, mereka turun dan menikmati makanan dan minuman di sebuah warteg di pinggir jalan.

“Saya sudah bertekad menerbitkan tesis master saya agar bisa jadi referensi mahasiswa teknik. Mudah-mudahan buku ini nantinya bermanfaat bagi adik-adik mahasiswa dalam mempelajari ilmu arsitektur dan desain,” kata Rikar.

Sukses itu, baginya merupakan buah kerja keras dan disiplin yang ditanamkan orangtuanya, Suban Klobor dan Bendikta Ose (keduanya alm). Juga ketiga kakaknya, Andreas Bera Klobor, Juliana Lepang Klobor, dan Wilem Pati Klobor. (Ansel Deri)
Sumber: Mingguan Flores Pos Jakarta
Ket foto: Ir Rikardus Daton Klobor MTA (gbr 1) dan bersama keluarga serta kerabat di kediamannya, Penfui, Kupang, NTT. Foto: dok. Ansel Deri
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger