Headlines News :
Home » » Kemiskinan Informasi yang Memprihatinkan

Kemiskinan Informasi yang Memprihatinkan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, November 08, 2007 | 4:02 PM

Bagi rakyat Nusa Tenggara Timur, mendapatkan makanan bergizi sangatlah sulit, tetapi mendapatkan informasi justru lebih sulit. Informasi menjadi kebutuhan yang amat mahal, susah dijangkau karena keterbatasan daya beli dan hambatan infrastruktur. Sejumlah perkembangan di ibu kota provinsi, bahkan di pusat kabupaten, tak dapat diikuti masyarakat kecamatan dan desa terpencil.
Ketua Pengawas Pendidikan Dasar Pulau Adonara, Flores Timur, Laurens Todo Way, beberapa waktu lalu di Baniona, Adonara, mengatakan, meski jaringan telepon seluler sudah merambah masuk ke seluruh pelosok Nusa Tenggara Timur (NTT), hampir 80 persen masyarakat di daerah itu belum mampu mengakses informasi melalui media massa.

"Hari ini saya baru dengar nama internet untuk mendapatkan informasi lengkap, padahal saya seorang pengawas pendidikan. Apalagi masyarakat biasa. Kami hanya tahu koran Pos Kupang, Flores Pos, Kompas, dan Jawa Pos. Koran-koran ini pun kami tahu saat berbelanja di pasar; dipakai membungkus hasil belanjaan. Koran bekas ini sering kami sambung satu demi satu potong, kemudian kami baca untuk mendapatkan informasi. Pedagang mendapatkan koran bekas ini dari Larantuka," tutur Way.

NTT adalah satu dari delapan provinsi yang berbentuk kepulauan. Jumlah pulaunya 566 buah, 42 pulau sudah dihuni, 524 belum. Sebanyak 246 pulau sudah dinamai, 320 pulau belum punya nama. Luas daratan 47.393,9 km², perairan 191.484 km². Kondisi sebagian pulau di NTT termasuk sangat terbelakang, tidak tersentuh pembangunan. Masyarakat di pulau-pulau itu tidak bisa menjangkau informasi sama sekali, baik melalui media elektronik maupun cetak.

Way menuturkan, peribahasa katak dalam tempurung sangat cocok bagi masyarakat di daerah itu. Mereka sama sekali tidak mengikuti perkembangan di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Perkembangan Kota Kupang dan Larantuka pun tidak mampu mereka ikuti dari hari ke hari. Kejadian di Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, baru mereka ketahui dua atau tiga hari kemudian.

Bukan hanya warga biasa. Para pelajar dari tingkat SD sampai SMU di daerah itu pun ketinggalan informasi. Para guru yang mengajar di sekolah-sekolah pun semata-mata bergantung pada buku catatan lama yang mereka miliki. Tidak ada tambahan informasi yang dimiliki guru untuk mengapresiasikan mata pelajaran yang ada. Bahkan, guru di desa-desa terpencil cenderung mengajar sesuai selera mereka, tidak berpedoman pada kurikulum yang berlaku.

Menurut Way, semestinya di sekolah-sekolah di desa-desa terpencil itu disediakan sebuah perangkat televisi lengkap dengan parabola. Perangkat ini diletakkan di ruang guru atau kepala sekolah.

Dari 750 kepala keluarga di Kecamatan Wotan Ulumado, Adonara Barat, hanya tujuh keluarga yang memiliki parabola. Namun, parabola tersebut hanya dapat dimanfaatkan pada malam hari setiap pukul 19.00 Wita, sesuai jadwal penerangan listrik setempat.

Stasiun TVRI sebagai sarana pemersatu, mencerdaskan masyarakat, dan menyosialisasikan program pemerintah pun dalam tiga tahun terakhir tidak dapat beroperasi normal karena keterbatasan bahan bakar minyak. Sarana radio pun hanya dimiliki beberapa keluarga, tetapi tidak bisa dibunyikan karena tidak ada baterai atau daya listrik kurang.

Koran lokal seperti Pos Kupang, Timor Express, Flores Pos, Rote Ndao Pos, dan Lembata Pos hanya beredar di kalangan pejabat dan warga kota. Keterbatasan sarana dan prasarana angkutan ke desa-desa dan pulau-pulau menyebabkan sirkulasi koran terkendala, sementara masyarakat tingkat bawah tidak mampu membeli atau berlangganan koran.

Meski koran dijual seharga Rp 2.000-Rp 2.500 per eksemplar, warga tetap tidak mampu membeli. Daya beli mereka sangat rendah sehingga kebutuhan pokok pangan merupakan prioritas.

Way menilai, kalau soal kebutuhan makanan, masyarakat dapat memproduksinya sendiri di daerah. Namun, kebutuhan akan informasi jelas perlu dukungan dari berbagai pihak. Informasi jauh lebih mahal dan sulit diperoleh daripada makanan atau pakaian. Sudah saatnya informasi menjadi salah satu kebutuhan pokok.

Telepon seluler ini baru masuk tahun 2005 di Pulau Adonara dan sekitarnya. Namun, telepon seluler ini termasuk sarana cukup mahal bagi masyarakat pedesaan. Hanya beberapa warga masyarakat yang memiliki telepon genggam setelah mendapat kiriman uang dari anggota keluarga di Malaysia. Pada umumnya mereka memiliki telepon ini hanya untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga di Malaysia.

Kebanyakan para perantau menelepon dari Malaysia karena masyarakat di Adonara sulit membeli pulsa. Kecuali ada soal penting di desa, mereka hanya melakukan SMS ke anggota keluarga di Malaysia.

Dengan hadirnya telepon seluler yang bisa diakses di daerah terpencil ini, intensitas surat-menyurat yang berlangsung sudah puluhan tahun antara perantau dan anggota keluarga sedikit berkurang.

Akan tetapi, telepon seluler hanya sebatas komunikasi lisan. Tidak tersedia informasi lengkap seperti tersaji di media massa, baik elektronik maupun cetak.

Bupati mengakui
Bupati Kupang IA Medah ketika berbicara pada dialog tentang penguatan forum multipihak di Kupang memang mengungkapkan, meski Kabupaten Kupang berdampingan dengan Kota Kupang, masih sekitar 50 persen penduduk Kabupaten Kupang sangat ketinggalan informasi. Informasi atau sarana mendapatkan informasi dinilai masyarakat sangat mahal dan sulit dijangkau.

Masyarakat di Pulau Sabu, misalnya, sangat sulit mengakses informasi karena perlu delapan jam perjalanan dari Kota Kupang dengan feri. Koran yang sudah kedaluwarsa harganya mencapai Rp 5.000 per eksemplar, padahal informasinya sudah basi.

"Untuk makan dan minum sehari-hari saja sulit, apalagi untuk membeli koran atau baterai untuk mengaktifkan pesawat radio," kata Medah. Hal itu berlaku terutama bagi mereka yang tinggal di pulau-pulau terpencil, seperti Adonara, Solor, Sabu, Kera, dan Semau.
Medah menilai koran adalah sarana paling tepat untuk menyosialisasikan program dan hasil pembangunan kepada masyarakat. Akan tetapi, koran-koran seperti itu sulit masuk ke desa dan kecamatan terpencil. Bahkan, camat pun jarang membaca koran dan sulit mengikuti perkembangan di pusat kota atau kabupaten.

Kepala Badan Informasi dan Komunikasi NTT Umbu Saga Anakaka merasa prihatin atas tidak tercukupinya kebutuhan akan informasi di kalangan masyarakat itu. Hanya sekitar 15 persen warga NTT yang kebutuhannya terhadap informasi terpenuhi secara rutin, baik informasi tingkat lokal maupun nasional.

Di Kota Kupang, hanya masyarakat kalangan atas, seperti pejabat, pegawai negeri, pengusaha, dan pemilik toko, yang mampu membeli koran atau mengikuti peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Informasi, menurut Umbu, memang merupakan satu dari 10 kebutuhan pokok masyarakat. Hanya kebutuhan itu belum disadari kalangan tingkat bawah, kecuali informasi terkait kebutuhan mereka sendiri, seperti soal pendidikan, anak-anak, pengobatan, dan harga kebutuhan pokok di pasar. Informasi ini pun sering diabaikan.

Semestinya ada program pembelajaran terhadap masyarakat pedesaan melalui pengadaan televisi desa, koran masuk desa, dan pesawat radio desa. Sarana dan prasarana ini ditempatkan di ruang publik, tempat berkumpulnya warga. Bukannya dimonopoli aparat desa. Membuatnya menjadi kenyataan rasanya bukan hal sulit bukan? 
Sumber: KOMPAS, Sabtu, 04 Juni 2005
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger