Headlines News :
Home » » Yayasan Ansila Domini, Menabur Kasih di Kota Karang

Yayasan Ansila Domini, Menabur Kasih di Kota Karang

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, November 08, 2007 | 9:39 AM

Sejak hadir di Indonesia tahun 1977 Kongregasi RVM bertekad memiliki sekolah sendiri. Kini, impian itu terwujud setelah seorang donatur menyerahkan sebagian tanahnya untuk mendirikan sekolah milik kongregasi.

SUATU pagi usai Misa di Gereja St Maria Assumpta, kawasan Walikota Kupang, Sr Maria Puresa, RVM dan beberapa rekan suster lainnya bertemu dengan Herman Yosef Loli Wutun dan istrinya, Ny Petronela Peni Sanga. Mereka larut dalam suasana penuh kekeluargaan. Tak disangka dari perjumpaan itu kasih Tuhan pun lahir. Saat itu, Herman Wutun dan istrinya menyampaikan bahwa mereka ingin menghibahkan sebagian tanahnya untuk Kongregasi RVM. 

Pimpinan RVM Kupang, Sr Maria Puresa RVM, mengajak beberapa rekan suster untuk bertandang ke rumah Herman di kawasan Kelurahan Maulafa, Kota Kupang. “Sesampai di sana kami disambut baik Pak Herman dan Ibu. Kami sangat bahagia karena kami semua langsung dibawa menuju lokasi tanah yang akan diberikan kepada kami,” kata Sr. Dra. Maria Agnes Liko Watun, RVM, MA, pimpinan RVM Kupang.

Herman Wutun dan istrinya, Ny Petronela bersama keempat anaknya, MB Mawarni G Wutun, Hermawati Rose LT Wutun, Pedro Sarmento Aster Pehan Wutun, dan Mathilda Oliander NM Wutun, ternyata sudah merintis sebuah panti asuhan. Panti ini menampung anak-anak yang kurang mampu atau yang kehilangan orangtua.

Lahir Yayasan Ansila Domini

Tak lama berselang, lahirlah Yayasan Pendidikan Ansila Domini yang menangani TK dan SDK Rosa Mystica Penfui, Kupang. Lembaga ini tak jauh dari Bandara Udara Penfui Kupang. Dalam bahasa Latin, Ansila Domini berarti, ‘Aku ini hamba Tuhan. Terjadilan padaku menurut perkataanmu.’ Ini jawaban Bunda Maria saat dikunjungi Malaikat Gabriel dan dikabarkan bahwa Maria akan mengandung putera Allah. Yayasan ini mengelola dua lembaga pendidikan setingkat TK dan SD. 

Ansila Domini memulai kegiatan belajar mengajarnya pada tahun 2004. Yayasan ini sekaligus ikut membantu menangani panti asuhan keluarga Herman Wutun. Sebenarnya, keinginan memiliki sekolah sendiri sudah menjadi impian Kongregasi RVM Indonesia. Saat hadir pertama kali di Indonesia, tepatnya di Denpasar, Bali, tahun 1977 belum terpikirkan karena tenaga-tenaga konggregasi masih sangat terbatas.

Nah, seiring perjalanan waktu dan ordo ini melebarkan sayapnya di Seon, Keuskupan Atambua, Kabupaten Belu, NTT cita-cita memiliki sebuah lembaga pendidikan pun belum terwujud. Alasannya sama. Tenaga suster-suster RVM masih sangat terbatas untuk karya-karya sosial mereka. Sementara para suster yang ahli di bidang pendidikan yang dimiliki masih dibutuhkan untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah-sekolah. Nah, kerinduan itu akhirnya terwujud setelah keluarga Herman Wutun memberikan kongregasi ini sebuah tempat untuk bisa memberikan pelayananan di bidang pendidikan.

Menurut Sr Maria Watun, kongregasinya diajak bermitra untuk menangani panti asuhan milik keluarga Herman Wutun. Setelah bersedia, pihaknya berpikir bahwa daripada harus mengirim anak-anak panti bersekolah di tempat lain, alangkah baiknya mereka mempunyai sekolah sendiri. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan membina anak-anak di sekolah sendiri. Apalagi, anak-anak dari panti asuhan ini berasal dari keluarga tak mampu. Kongregasi ini juga berpikir bahwa melalui lembaga itu mereka dapat mengambil bagian dan solider dengan orang kecil. 

“Makanya, kami berpikir bahwa anak-anak ini kami sekolahkan di sekolah kami sendiri tanpa memungut biaya. Itu pikiran kongregasi kami. Jadi, konggregasi punya visi dan misi demikian. Paling kurang kami bisa mengambil bagian dalam pelayanan kaum kecil,” ujar suster pemegang gelar Master of Arts (MA) bidang Bimbingan dan Konseling (BK) dari Sint Thomas University, Manila, Filipina, tahun 2000.

Kehadiran lembaga pendidikan itu juga menggenapi karya kongregasi di bidang sosial. Apalagi, selama ini mereka belum memiliki pelayanan sosial sendiri untuk kaum kecil di Indonesia. “Ya, kami berpikir bahwa daripada kita hanya berbicara tentang orang kecil dan belum menyentuh mereka secara langsung maka lembaga pendidikan ini hadir untuk memberikan pelayanan secara nyata bersama umat. Anak-anak ini berasal dari keluarga tidak mampu semua,” jelas Sr Maria Watun. Menurutnya, dengan usaha keluarga Herman Wutun maka mereka juga ikut ambil bagian dalam memperhatikan anak-anak yang kurang mampu. Nah, kedua belah pihak pun akhirnya menyatukan visi-misi bersama agar anak-anak bisa langsung dididik di sekolah ini.

Spiritualitas Muder Ignasia

Sr Maria Watun mengakui, kehadiran TK dan SDK Rosa Mystica untuk kaum kecil ini juga merupakan spiritualitas konggregasi. Semangat pelayanan konggregasi adalah melayani dalam semangat hamba hina. Itu juga menjadi kharisma kongregasi. “Melalui lembaga pendidikan ini, kami berusaha untuk menerjemahkan pelayanan kami dalam semangat pelayanan hamba hina. Kami juga berusaha melayani dalam semangat kesederhanaan dan berusaha menyentuh orang kecil secara langsung,” jelasnya. Pelayanan di bidang pendidikan juga merupakan spiritualitas dan kharisma Muder Ignasia, RVM, pendiri Kongregasi RVM yang selalu memperhatikan dan membantu orang-orang tak mampu di Filipina.

Pada masa penjajahan, kaum perempuan Filipinan tidak diperhitungkan bangsa Spanyol yang saat itu menjajah negeri itu. Bahkan kaum wanita Flipina pun tidak diperhitungkan. Sebagai warga pribumi, Muder Ignasia berusaha mengangkat derajat kaumnya dengan mendidik mereka. Termasuk anak-anak yang tidak diterima di sekolah-sekolah saat itu. Bahkan anak-anak orang asing yang saat itu tidak diterima masuk di sekolah-sekolah di Filipina, ditampung Muder Ignasia.

Karena itu, kehadiran Yayasan Ansila Domini juga ingin mewujudkan cita-cita pendirinya kongregasi yang bertujuan membantu kaum kecil di Kota Kupang dan sekitarnya. Padahal, jauh sebelumnya memang sudah terpikirkan. Selama ini, ujar Sr Maria Watun, pihaknya hanya membiarkan suster-suster RVM untuk melayani di bidang pendidikan namun bukan milik kongregasi. Apalagi, pihak konggregasi juga belum memiliki tenaga SDM siap pakai dan masih harus dikembangkan lagi. “Suster-suster kami juga masih muda semua dan hanya berijazah SMA. Oleh karena itu, kami harus menyekolahkan mereka terlebih dahulu sehingga mereka juga siap pakai. Setelah mereka disekolahkan dan sudah layak mengajar maka mereka kami tempatkan di sini untuk mengabdi di lembaga pendidikan milik kongregasi,” ujarnya.

Awal KBM

Kegiatan belajar dan mengajar (KBM) baik di TK maupun SDK Rosa Mystica efektif dimulai pada tahun 2003. Hingga kini jumlah murid TK sebanyak 56 siswa. Sedangkan jumlah murid SD baik kelas 1 dan 2 sebanyak 60 orang. Meski mengalami penambahan murid, toh awal memulai KBM sedikit mengalami kendala terutama soal tenaga pengajar. Selain itu, gedung disiapkan diperuntukkan bagi anak-anak TK. Sedangkan saat itu belum terpikirkan untuk memiliki gedung SD. Meski demikian, sudah dibayangkan bahwa jika sudah ada TK berarti dengan sendirinya pasti ada SD. Karena itu, kendala yang bakal dihadapi adalah kesediaan tenaga guru. Apalagi, saat itu pihak konggregasi sedang mengirim para suster untuk studi di Manila, Filipina.

Untuk mengatasi kesulitan guru maka salah satu anggotanya, Sr Maria Martha, RVM yang saat itu sedang bertugas di Keuskupan Denpasar, Bali ditarik membantu di sekolah ini. Pertimbangannya, Suster Maria Martha sudah menyelesaikan pendidikan sarjananya di Manila. Padahal, saat itu beliau harus menyiapkan diri untuk kaul kekal di Manila. Ternyata setahun kemudian, dua suster yang lain berhasil merampungkan studi dari Manila. Salah satu kemudian menjadi kepala sekolah TK dan SD. Sedangkan yang lain memimpin panti asuhan.

Mereka semua bertekad menjadikan sekolah miliknya itu sebagai sebuah sekolah yang benar-benar berkualitas. Sekolah itu juga tak hanya mampu mendidik anak-anak menjadi pintar secara intelektual tetapi juga memiliki ketrampilan kecil sejak awal. “Saat pimpinan kami dari Filipina mengunjungi kami, beliau berpesan kepada kami untuk meningkatkan kualitasnya agar semakin dicintai semua orang. Dengan demikian, kelak anak-anak juga menjadi kebanggaan masyarakat,” kata Sr Maria Watun.

Nah, guna membimbing dan mendidik anak-anak agar semakin memiliki kualitas yang diharapkan, para guru juga menerapkan berbagai pendekatan. Dengan demikian, mereka juga tumbuh dan berkembang dalam suasana tanpa beban. “Setiap hari saya menggunakan pendekatan berbeda-beda agar anak merasa senang dan tak terbebani. Tapi, kadang harus butuh kesabaran ekstra untuk mengarahkan dan membimbing mereka,” ujar Sr Maria Fransiska Hoar, RVM, Kepala Sekolah TK dan SDK Rosa Mystica. Saat ini, menurut lulusan Sint Rito’s College of Balingasag, Northern Mindanao, Philipines, selain berasal dari Kupang dan sekitarnya, ada juga siswa dari luar Timor bahkan dari negeri tetangga, Australia.

Menurut Sr Maria Fransiska, oleh karena saat ini masih kekurangan guru maka ia harus membagi waktu untuk TK dan SD karena ia mengajar semua mata pelajaran. Setelah mengajar kelas 1 pada pagi hari, setelah itu dilanjutkan untuk kelas 2. “Sekali-kali ada rekan suster datang untuk memberi pelajaran Agama Katolik. Kita sudah mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Kupang untuk memberi bantuan guru. Mudah-mudahan tidak lama lagi sudah realisasinya,” kata biarawati yang pasif Bahasa Tagalog ini. (Ansel Deri)
Sumber: HIDUP edisi Minggu ke-3 Oktober 2007
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger