Headlines News :
Home » » Markus Marin: 'Melarat' Demi Soga Naran Lewotana

Markus Marin: 'Melarat' Demi Soga Naran Lewotana

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, November 05, 2007 | 11:42 AM

Ia memutuskan melarat (merantau-pen) ke Tawau, Malaysia Timur karena ingin mengubah hidupnya kelak. Dalam usia muda, ia menyimpan cita-cita lain.“Soga naran lewotana, Adonara. Dalam bahasa kami artinya mengangkat nama kampung halaman, Adonara. Ya, tentu memulainya melalui keluarga,” kata Markus Marin.

Kehidupan ekonomi keluarga yang pas-pasan membuat Markus Marin memutuskan menuju Malaysia. Tahun 1960-an pria asal Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT itu melarat ke Batu Sebelas, Tawau, Malaysia Timur. Di Batu Sebelas, ia bekerja sebagai petani. Tugasnya adalah ikut membuka kebun baru milik seorang tauke Malaysia.

"Pekerjaan itu tak ubahnya di kampung halaman, Adonara. Tapi, apa mau dikata. Kita sudah memilih merantau. Susah dan senang harus kita jalani. Tapi, seiring waktu ada seorang teman asal Filipina yang baik hati. Saya diberi kesempatan untuk belajar menyetir alat-alat berat. Proses belajar saya jalani selama dua tahun,” kata Markus Marin kepada penulis dalam perjalanan dari Larantuka menuju Waiwerang belum lama ini.

Setelah itu, tahun 1972 ia dibawa tauke, seorang kontraktor Malaysia menuju Nunukan, Kalimantan Timur. Markus diminta bekerja di perusahaannya karena keahlian dia mengoperasikan alat berat. Di Nunukan ia bekerja selama dua tahun. Dari Nunukan, ia dan rekan-rekannya menuju Samarinda, Kalimantan Timur dan bekerja di PT Pordisa.

“Setelah masa kontrak tauke selesai, ia langsung memasukkan saya untuk bekerja di PT Pordisa dengan gaji sebulan Rp. 100 ribu. Jumlah itu sangat besar karena saya pun masih bujang. Setelah itu, pada tahun 1974 – 1975, saya dikirim perusahaan untuk bekerja di Aceh Barat, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,” ceritanya.

Menikah

Seiring bertambahnya usia, Markus memikirkan pulang kampung menemui Elisabeth Luga, gadis pilihannya. Karena itu, setelah setahun bekerja di Aceh Barat, tahun 1977 ia pulang kampung untuk menikah. Setelah menikah, pasangan pengantin baru ini bertolak ke Samarinda untuk bekerja sebagai sopir alat berat.

Tak lama berselang, sebuah proyek baru dibuka di Papua. Tahun 1977, Markus akhirnya bertolak ke Papua hingga tahun 1980. Setibanya di pulau Kepala Burung itu masih terjadi gejolak Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Apesnya, banyak teman dari Samarinda akhirnya ditangkap sebelum akhirnya dilepas karena tidak terbukti sebagai anggota OPM. Sedangkan ia memutuskan kembali ke Samarinda. Setiba di Samarinda, ia mendapat tawaran bekerja di Makassar tahun 1980 – 1988.

Pada tahun 1988, ia mengantar putri sulungnya, Margaretha ke kampung halaman. Maksudnya agar sang putri bisa menyelesaikan sekolahnya dengan lancar. Ini mengingat ia selalu bolak balik ke tempat-tempat baru sebagai sopir alat berat. Lagi pula, masa kontraknya sebagai sopir berakhir. Sang putri akhirnya berhasil menyelesaikan studinya di SMP Paladya Waiwerang, Adonara Timur.

“Ia kemudian masuk SPK Maumere, Sikka. Setelah menikah dengan pria pilihannya asal Adonara, kini mereka tinggal di Jayapura. Sedangkan anak kedua saya meninggal dunia. Anak ketiga, Yosefina, kini sedang kuliah Sosiologi di Universitas Katolik Atmajaya Yogyakarta (UAY). Anak keempat, Veronika Demon, baru masuk kuliah Bahasa dan Sastra di Undana. Kemudian yang bungsu, Frans Sanga, baru SMP kelas 3. Sejak awal saya sudah bertekad menyekolahkan mereka semua,” katanya.

Pentingnya Pendidikan

Markus Marin ternyata begitu ngotot menyekolahkan anak-anaknya. Ini bertolak dari pengalaman selama merantau. Di mana ia mengaku bisa membedakan bagaimana anak yang tidak sekolah dan anak yang sekolah. Anak yang sekolah semua, orangtuanya bisa tertolong dengan ilmu yang mereka peroleh.

“Jika mereka semua tidak sekolah dan hanya kerja kebun, ya, bisa saya pastikan bahwa orangtuanya tak akan bisa apa-apa. Kalau anak-anak kerja kebun berarti hidup kita pas-pasan. Selama di perantauan, aspek itu yang membuat saya berjuang untuk menyekolahkan anak-anak. Saya ngotot bekerja di perantauan hanya karena ingin anak-anak sekolah agar mereka punya masa depan yang baik. Tidak seperti kami yang pekerja kasar. Ya, hitung-hitung juga tite (kita) soga naran lewotana. Ya, kita bisa angkat nama kampung halaman,” katanya bangga.

Dalam keluarga besarnya, ada yang sudah membaktikan tenaga dan pikirannya untuk kampung halaman. Kakak perempuan sulung dan bungsu, misalnya, adalah guru. Dua adik sepupunya juga guru. Nah, belajar dari mereka saja malah membuat Markus tertantang untuk menyekolah-kan anak-anaknya.

“Dalam mendidik anak, tak apa pola khusus yang saya pake. Saya pribadi tak pernah keras dalam mendidik anak-anak. Yang bisa saya lakukan adalah memberikan contoh yang baik. Tapi, selalu saya ingatkan bahwa jika berbuat begini maka resikonya akan seperti ini. Misalnya, kalau ada anak saya tidak mau sekolah saya sampaikan bahwa kelak mereka akan mengalami banyak kesulitan dalam hidup. Karena itu, semua harus sekolah karena pendidikan formal menjadi sangat penting,” katanya.

Keluarga anak sulungnya selalu jadi rujukan. Di mana ia sekolah sekalipun hanya SPK tetapi sudah bekerja dan keluarganya cukup baik sekalipun dengan gaji pas-pasan. Mereka juga masih bisa membantu adik-adik yang masih sekolah. Kadang, orangtuanya juga dikirim uang jika mereka memiliki kelebihan uang.

“Jadi, saya yakinkan anak-anak saya agar sekolah karena sekolah bisa mengatasi sebagian besar biaya hidup. Saya ingatkan anak-anak saya. Bahwa mana ada anak yang mau bekerja di kebun lagi? Sekarang bukan jamannya orang berjemur di terik matahari seharian penuh. Ya, anak-anak sekarang juga tidak boleh dididik yang keras. Mereka mestinya diperlakukan sebagai teman diskusi yang baik sehingga mereka juga bisa tumbuh dan berkembang yang sehat,” ujarnya. (Ansel Deri)
Sumber: Mingguan Flores Pos edisi 31 Oktober – 7 November 2007
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger