Headlines News :
Home » » Pertemuan KBL dengan Bupati Lembata Berakhir Ricuh

Pertemuan KBL dengan Bupati Lembata Berakhir Ricuh

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, September 10, 2007 | 11:29 AM

Sebagian kecil masyarakat Lembata di Jakarta yang tergabung Keluarga Besar Lembata (KBL) menggelar pertemuan dengan Bupati Lembata, Drs Andreas Duli Manuk. Pertemuan berlangsung di Ruang Kasuari Hotel Aston Atrium, Senen, Jakarta, Rabu 22/8.

Pertemuan bertujuan mendengar klarifikasi dan penjelasan dari Andreas Duli Manuk mengenai tindakannya menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) tentang rencana pertambangan emas dan tembaga di Lembata dengan PT Merukh Lembata Copper. Sejak awal, pertemuan yang berlangsung kurang lebih empat jam itu terasa kaku dan agak panas. Nuansa pertemuan seolah-olah mempertemukan dua kubu yang saling berlawanan, yakni Andreas Duli Manuk dan para pendukungnya berhadapan dengan kelompok masyarakat Lembata di Jakarta yang menghendaki dihentikannya seluruh proses rencana pertambangan.

Moderator pertemuan berusaha mencairkan suasana dengan menyanyikan lagu Himne Lembata pada awal pertemuan. Tetapi nuansa kaku dan panas tetap terasa. Ketegangan semakin meninggi saat Andreas Duli Manuk secara tiba-tiba merasa tersinggung hanya karena kekeliruan teknis pada sound system pengeras suara. Ketika Andreas Duli Manuk sedang menjawab pertanyaan dari peserta pertemuan dengan suara tinggi dan agak emosional, volume sound system tiba-tiba mengeras, sehingga suara Bupati seperti sedang berteriak dengan amarah. “Saya tersinggung dengan cara seperti ini saat saya sedang menekankan jawaban. Saya tersinggung!” katanya spontan seraya melepaskan microphone dan menunduk.

Seketika juga, moderator dan beberapa peserta berusaha menenangkan Bupati yang tampak emosional dan gemetar. Setelah suasana agak tenang, dialog pun dilanjutkan. Suasana dialog semakin tegang.

Sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa Lembata di Jakarta (KBMLJ) mulai menuntut dan mendesak Bupati menghentikan seluruh proses rencana tambang saat itu juga. Tuntutan itu memuncak pada akhir dialog.

Para mahasiswa menunjukkan sikap tegas dengan membentangkan poster yang bernada protes kepada Bupati. Poster itu berbunyi antara lain, Ande Manuk dan Ande Liliweri Gagal Total. Turun Sekarang Juga, Cabut MoU Tambang Sekarang Juga, dan Bupati Lembata Membodohi, Menipu, dan Mengkianati Rakyat. Para mahasiswa juga membentangkan poster yang seolah-olah bergambar boneka bupati Manuk.

Seorang peserta dialog, Willem Lodjor, merasa tersinggung dengan aksi mahasiswa dan menilai mahasiswa telah melecehkan Bupati Manuk selaku pimpinan tertinggi Lembata. Peserta lain, Yoseph Batafor juga angkat bicara dan meminta agar Pieter Tedu Bataona sebagai moderator agar tidak menimbulkan keributan. Pieter Tedu Bataona dengan nada tinggi meminta agar menghargai pimpinan rapat. “KBL mengundang Bupati ke sini (Jakarta) bukan untuk gagah-gagahan tetapi untuk memecahkan masalah di lewotana,” tegasnya.

Sebelum menggelar aksinya, perwakilan KBMLJ Fransiskus Xaverius Namang mengatakan bahwa KBMLJ menolak secara tegas rencana eksplorasi tambang Lembata yang sudah disetujui Bupati Manuk melalui penandatanganan nota kesepahaman dengan PT Merukh Lembata Coopers (MLC), anak perusahaan Merukh Enterprises milik pengusaha Yusuf Merukh. “Kami minta jawaban Bupati malam ini juga. Apakah mendukung atau menolak,” tegas Namang.

Belum apa-apa

Menjawab pernyataan KBMLJ agar rencana tambang di Lembata dibatalkan, Bupati Manuk mengatakan, rencana tambang belum apa-apa, belum proses (eksploitasi) tetapi baru pada tahapan eksplorasi. “Jadi, mau tolak apanya? Apa saya sudah kasih ijin supaya dia mulai tambang? Belum ka. Belum. Kan saya sudah jelaskan tadi. Apa tidak paham? Jadi engko punya tuntutan itu sama dengan orang tuntut waktu demo (di Lewoleba). Sama saja,” kata Manuk dengan logat Lembata.

Sementara itu, salah satu peserta pertemuan Agustinus Dawarja mengatakan, jika tambang di Lembata benar-benar ada maka pertanyaannnya adalah apakah menguntungkan masyarakat? Dan jika ada maka masyarakat harus menjadi pemegang saham sehingga hanya dengan kemungkinan itu mereka ditingkatkan kemampuannya. Dikatakan Gusti Dawarja, kalau luas daratan dan lautan yakni satu berbanding tiga sebagaimana disampaikan Bupati Manuk maka apakah kita berani mengambil resiko dengan pertambangan? Apalagi, pertambangan ini berada di daratan. “Apakah kalau ada emas di seluruh pulau (Lembata) itu kita berani mengambilnya dan akhirnya pulau itu habis (musnah) atau ada pilihan lain yang harus kita pikirkan?. Nah, Pak Bupati juga harus memikirkan. Apalagi sudah disebutkan tadi ada potensi perikanan dan rumput,” ujarnya.

Sedangkan Boni Hargens menegaskan, di mana-mana tambang tidak pernah mensejahterakan masyarakat lokal dan hal itu tidak bisa diperdebatkan lagi. Namun, yang terlihat langsung adalah gubernur dan bupati ganti jas dan terus kemana-mana. “Makan pagi di kampong, makan siang di Jakarta, dan masuk toilet di Singapura. Nah, itu dampak langsung dari tambang,” kata Boni Hargens.

Ia menambahkan, masyarakat setempat (lokasi tambang) memiliki theritory right, hak atas wilayah tinggal. Theritory right, lanjut Boni, setara dengan hak-hak azasi manusia (HAM). Artinya, protes terhadap tambang merupakan sesuatu yang hakiki dan harus dihargai. Dalam konteks ini, demonstrasi merupakan sebuah bentuk partisipasi politik dan kita tidak menolak hal (demonstrasi) itu. “Di mana-mana, demonstrasi itu sah hukumnya. Kalau dia tidak sah maka ilmu politik, negara tidak perlu ada. Dan saya kira yang menjadi sumber masalah adalah Negara, pemerintah,” katanya.

Boni juga menegaskan, demonstrasi yang diikuti oleh pastor merupakan perwujudan sebagai warga negara. Jadi, demonstrasi yang dilakukan pastor itu jangan dilihat karena ia adalah imam tetapi warga negara yang mempunyai hak yang sama. Sebagai pastor, ia juga punya peran sosial di masyarakat. “Flores atau NTT adalah wilayah yang mayoritas penduduknya Kristen. Maka penguatan masyarakat lokal hanya mengandaikan gereja. Kita tidak punya yang lain,” tegas Boni.

Ia melanjutkan, kalau Gereja tinggal diam maka justru ia berdosa. Jadi, ia harus bicara. Dia harus berdiri di depan. Maka apa yang dilakukan Pastor Vande (Marselinus Vande Raring SVD-Red), itulah kenabian. Bukan imam kalau hanya berdiri di mimbar berkotbah setiap hari minggu dan kumpul kolekte. Pastor, jelasnya, harus terlibat dalam realitas yang menindas. Maka dalam konteks ini, butuh kebesaran jiwa Pak Bupati untuk menerima kenyataan. Pun kalau tambang harus ditolak, maka butuh kebesaran jiwa.

Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesimpulan apapun. Beberapa orang peserta berusaha mendekati Bupati Manuk untuk memberikan beberapa solusi terkait masalah pro dan kontra rencana pertambangan.

Tampak hadir dalam pertemuan tersebut sejumlah tokoh tua dan muda Lembata yang bermukim di Jakarta dan beberapa pastor. Di antaranya Ketua KBL Pieter Tedu Bataona, Anton Enga Tifaona, Petrus Boli Warat, Drs Yoseph Pattyona, dan Albert Oleona, Petrus Bala Pattyona, SH, MH, Benyamin Amuntoda, Muhammad Kota, Pastor Mikael Peruhe OFM dari JPIC-OFM, Pastor Marselinus Vande Raring, SVD, dan Pastor Gabriel Maing OFM. (Ansel Deri/Alex Aur)
Sumber: Flores Pos edisi No. 27 Tanggal 26 Agustus 2007
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger