Headlines News :
Home » » Mengenang Kepergian Uskup Darius Nggawa: Mengabdi dalam Kasih (3)

Mengenang Kepergian Uskup Darius Nggawa: Mengabdi dalam Kasih (3)

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, January 14, 2008 | 5:04 PM


Uskup Darius mengabdi dan melayani umat Keuskupan Larantuka selama 30 tahun. Jejak kaki kegembalaannya terekam dalam rentang waktu ziarah pelayanannya di atas tanah Flores daratan yang meliuk bagai ular, Solor yang mewangi dalam sisa aroma cendana, Adonara yang tegar dalam “pedang” perjuangan hidup dan Lembata yang mendayu, timbul tenggelam bagai ikan paus yang diburu nelayan tradisional Lamalera.

Apa yang paling membahagiakan selama 30 tahun menjadi Uskup Larantuka? “Patroli. Kunjung umat. Bertemu dan berbicara dengan umat.” Menurutnya, kenangan yang tidak terlupakan adalah ketika jadwal penerimaan sakramen Krisma tiba. Umat memiliki kerinduan yang menyala untuk bertemu dengan gembalanya. Mereka berhasrat memegang dan mencium tangan uskup. Sebuah ungkapan cinta kepada sang gembala. Sekaligus ajakan yang sering tidak terungkapkan yaitu agar gembala terlibat dalam seluruh sejarah dan perjuangan hidup umat yang keras. Sebuah harapan sekaligus kerinduan agar jarak dan dinding pemisah antara umat dan gembala diruntuhkan. Sebuah mimpi indah agar gembala menanggalkan “kursi keagungannya” dan turun, berziarah, berkeringat dalam hempasan gelombang tantangan dan ketandusan alam wilayah keuskupan.

“Sesudah ditahbiskan jadi uskup tahun 1974, saya jalan keliling untuk kunjungi umat. Lalu secara tetap saya mengunjungi umat di paroki-paroki tiap tiga tahun. Tahun pertama wilayah Lembata, kedua di Adonara, tahun ketiga Solor dan Flores Timur. Di beberapa tempat, saya berkuda mengunjungi paroki-paroki itu. Itu kewajiban saya. Bukan hanya untuk memberikan sakramen krisma tetapi mendengarkan mereka. Dalam kesempatan itu kami juga bicara tentang program-program keuskupan yang tertuang dalam Repelita (rencana pembangunan lima tahun) keuskupan. Saya tanya pada umat apa yang terjadi di paroki-paroki dengan rencana-rencana keuskupan. Mereka sangat antusias. Mereka menantikan, itu jelas. Itu kesempatan istimewa untuk saya dan juga untuk umat,” katanya.

Kehadiran gembala di tengah umat memang tak tergantikan dengan surat-surat gembala, juga tak tergantikan dengan segala proyek bantuan dari gereja. Berada bersama umat, menjabat tangan mereka, memanggil mereka dengan nama mereka masing-masing, mendengar kisah-kisah mereka dan kembali lagi kepada mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari tugas seorang gembala. Intinya, umat secara pribadi menjadi subyek. Rasa sebagai subyek itu hidup dalam pengalaman perjumpaan dengan mereka. Dalam wajah mereka, gembala menemukan wajah Allah, bukan hanya sebaliknya. John Sobrino dalam Spirituality of Liberation menekankan keteguhan, the virtue of fortitude ini yang tak lain adalah suatu penolakan untuk mengabaikan orang miskin dan penderitaan mereka. Orang-orang miskin yang sama melalui apa yang mereka berikan dan apa yang mereka minta mengilhami kita dengan “fortitude” itu ialah kekuatan untuk tetap bertahan dalam penganiayaan.

Penilaian yang selalu kita dengar dan baca adalah bahwa wajah gereja yang dominan di wilayah kita adalah gereja kultis, gereja upacara-upacara. Juga ada kritikan tentang gereja yang lambat menanggapi desakan perubahan dan tuntutan konteks. Tugas utama para pemimpi umat sebatas berada di sekitar gereja dan pastoran, mengurus perkara rohani, doa, ibadah dan nyanyian pujian-pujian. Titik. Celakanya, batasan tentang perkara-perkara rohani sekian sering dispiritualisir kelewat tinggi menembus loteng. Jadinya, perkara-perkara rohani itu terasa kering bahkan asing dari keseharian yang keras dan penuh peluh.

Gagasan tersebut tidaklah pernah luput dari perhatian Uskup Darius. Pada suatu kesempatan beliau menulis dalam kerangka menegakkan keadilan dalam masyarakat sebagai berikut: “Kita semua sadari bahwa kekatolikan kita tidak terdiri melulu dari ibadat dan doa. Namun suatu persentase besar orang yang berdoa, misa dan berkomuni dengan sendirinya tak membuat suatu masyarakat menjadi Katolik. Suatu tembok yang harus dirobohkan ialah tembok pemisah antara agama dan masyarakat, tembok yang memojokkan agama pada hari minggu dan pesta. Kita harus membawa agama itu ke dalam masyarakat, ke dalam hidup kita sehari-hari, di kebun, di kampung, kantor dan tempat-tempat lain. Hanya dengan beginilah kita memberikan kepada Allah, hak-Nya, tempat-Nya yang semestinya. Kita tidak memberikan kepada Allah hak-Nya, tempat-Nya yang wajar apabila kita tidak memberikan kepada sesama kita tempat yang sebenarnya karena dia adalah ciptaan Allah menurut citra-Nya. Memberikan Allah hak-Nya berarti memberikan kepada setiap orang haknya, khususnya orang lemah, sakit dan miskin karena Allah adalah pelindung-Nya.”

Dalam konteks ini, seorang pemimpin atau gembala mestinya juga terbuka dan rendah hati untuk “ditobatkan” oleh pengalaman rohaniah umat sederhana yang kesehariannya ditetesi keringat perjuangan yang keras dan dihempas dengan aneka gelombang kecemasan, ketakutan dan kegelisahan, baik oleh tekanan alam yang terkesan kikir, kekuasaan yang hanya menganonimkan rakyat sebatas nama yang mengisi lembaran ruang proposal dan kuasa agama yang banyak kali berkolusi dengan kekuasaan politik birokratif untuk menindas rakyat. Pengalaman pertemuan dengan mayoritas umat yang kecil dan sederhana di jalan, di kebun, di pastoran dan gereja mestinya senantiasa menggerakkan siapa pun terutama gembala untuk lebih mendekati nurani umat dan meresapkan denyut suara rintihan dan desahan nafas kegelisahan harian mereka. Umat terkadang mengembara dalam padang belantara kehausan untuk menyaksikan kenyataan bahwa gembalanya ada bersama, hidup dan mengambil derita, kecemasan, ketakutan dan kegelisahan mereka menjadi derita, ketakutan, kecemasan dan kegelisahannya.

Sentuhan pengabdian Uskup Darius telah berjasa menghantar gereja lokal Keuskupan Larantuka memasuki gerbang kedewasaan. Selama rentang waktu 30 tahun kegembalaan dalam rajutan jejaring kerja sama dengan berbagai komponen religius dan awam, kelompok-kelompok umat basis dikembangkan. Kini, umat Keuskupan Larantuka akan menyaksikan saat-saat indah ketika mereka memimpin ibadah hari minggu tanpa imam, menjadi lektor dan pembawa renungan sederhana kepada umat di stasi-stasi.

Akhirnya ziarah itu menepi dengan dialihkannya tongkat kegembalaan kepada Uskup Frans Kopong Kung, Pr pada Juni 2004. “Inilah uskup kita,” begitu ia menunjuk uskup baru Larantuka kepada seluruh umat yang memadati gereja dan halaman Kathedral Reinha Rozari Larantuka saat itu. Penunjukkan ini menggambarkan keikhlasan dan kebahagiaan Uskup Darius yang telah menyiapkan kader pemimpin gereja lokal yang siap melanjutkan karya kegembalaan. Tongkat kegembalaan perlahan beralih dari kepada uskup baru yang lahir dari rahim keuskupan sendiri, dipilih dari tengah-tengah umat. “Inilah uskup kita” adalah pengumuman dari Uskup Darius bahwa tugasnya telah selesai. Manusia, tanah liat dalam tangan tukang periuk itu telah menjalankan tugasnya. Era baru telah mulai.

Sumber: www.svdende.org
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger