Headlines News :
Home » » Mengenang Kepergian Uskup Darius: Lihatlah, Aku Telah Kau Panggil (1)

Mengenang Kepergian Uskup Darius: Lihatlah, Aku Telah Kau Panggil (1)

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, January 14, 2008 | 4:53 PM


Rencanamu bukanlah rencanaku. Biografi almarhum Tukang Periuk dan Tanah Liat. Ziarah Pembebasan Mgr. Darius W. Nggawa, SVD dalam tahap akhir penyelesaian ketika ia menghembuskan nafas terakhir. Buku ini ditulis oleh Pater Steph Tupeng Witin, SVD dan Pater Eman Joseph Embu, SVD. Saripatinya tertuang dalam tiga seri tulisan.

Duka kematian Uskup Emeritus, Mgr. Darius Wilhelmus Nggawa, SVD terasa menggenangi pigura Keuskupan Larantuka, Serikat Sabda Allah (SVD) dan siapa saja yang dikenal, mengenal, dicintai dan mencintai almarhum. Lembaran hidup yang ke-79 itu akhirnya terkatup tenang di RS Santa Elisabeth Lela, Sikka, Rabu (9/1) pukul 09.03 Wita. Sebenarnya, setahun lagi, putera pasangan Herman Joseph Raja dan Maria Rae ini akan menggenapi kata-kata Mazmur 90:10: “...Masa hidup kami 80 tahun jika kuat.” Tuhan ternyata jauh lebih kuat mencintai Dia. Ia akhirnya kehilangan kerinduan akan damai abadi. Sebuah penantian panjang yang meletihkan raga. Tunas yang mekar indah di Pora, Nggela, 1 Mei 1929 itu akhirnya harus jatuh ke tanah dan mati.

Beliau meninggal ketika biografinya, “Tukang Periuk dan Tanah Liat. Ziarah Pembebas Mgr. Darius W. Nggawa, SVD” sedang dalam tahap akhir penyelesaian. Penulis bersama Pater Eman Joseph Embu, SVD berupaya sejauh mampu mengumpulkan kepingan-kepingan hidup almarhum melalui penelusuran riwayat hidup, riwayat pendidikan, riwayat pengabdian, dan rekaman surat pribadi, kotbah, surat gembala dan kesaksian dari “orang-orang dalam” hidupnya yang mengenal, merasakan dan mencintai almarhum selama hidupnya. Kami berusaha dengan fasilitas terbatas mematrikan prasasti hidup almarhum sejak menghirup udara segar di balik rimbunan tanaman kelapa di Pora, Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende hingga tarikan nafas terakhir yang disaksikan oleh deretan perbukitan Lela Sikka. Seorang Darius Wilhelmus Nggawa, SVD. Sosok yang sederhana dengan sederet karya pengabdian yang luar biasa.

Penulis mengunjungi almarhum terakhir kali pada Jumat (28/12/2007) di paviliun Arnoldus RS Santa Elisabeth Lela. Seorang Darius Nggawa, SVD yang dulu begitu perkasa menjelajah wilayah Flores darat, Solor, Adonara dan Lembata itu tampak begitu kecil, kurus dan seakan kehilangan tenaga. Leher dan dagu yang dulu berjonjok karena tertimbun daging-lemak yang menghilangkan jarak antara dagu dan leher itu tak ada lagi. Tangannya tampak begitu kecil. Leher yang dulu begitu gemuk dengan kulit seakan tersusun, saat itu telah hilang. Beliau menghuni RS Lela sejak 21 Juni 2007. Beliau hanya terbaring di atas kasur yang dilapisi seprei putih. Kepalanya selalu ditutup dengan selembar handuk putih kecil yang dibawa dari Candraditya. Ia tak bisa lagi bangun kalau tak dibantu. Keindahan taman bunga sekitar Arnoldus Lela hanya mampu ia saksikan dari atas kursi roda yang didorong perawat. Tak terlihat lagi langkah-langkah pelan terukur menuju perpustakaan atau kapela seperti yang biasa dilakukannya di San Dominggo dan Candraditya.

Saat kami memasuki ruangannya, almarhum tampak kaget melihat Romo Benediktus Daghi, Pr, mantan Praeses Ritapiret yang saat ini menjadi Praeses Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko. “Hei, Bene, kau hitam sekali,” katanya saat berjabatan tangan. "Ya, Monsigneur, saya sekarang di Mataloko,” kata Romo Bene. Romo Bene heran karena dalam usia sekian dan didera sakit, daya ingatnya masih sangat tajam. Suaranya tidak pernah berubah. Matanya masih kuat membaca. Almarhum banyak bercerita tentang masa kecil di Pora, Nggela dan karyanya selama 30 tahun di Keuskupan Larantuka. Ia mengutarakan kerinduannya untuk mengikuti retret akhir tahun di pertapaan Trapis (OCSO) Lamanabi, Paroki Waiklibang. Bahkan ia meminta penulis untuk segera ke Lamanabi dan menulis tentang pertapaan itu.

“Jadi tentang Trapis itu begini, tahun 1980 saya merayakan pesta perak imamat. Saya rasa keuskupan berjalan baik. Ada alasan untuk bersyukur. Lalu mau buat apa? Saya undang Trapis datang dan bekerja di Keuskupan Larantuka. Mengapa? Karena mereka itu pekerja seperti petani. Itu baik bagi orang-orang kita yang adalah petani. Saya harapkan mereka bisa kasih contoh. Tahun 1980 saya tulis surat, saya bilang pada mereka jangan dulu balas, kita sembahyang dulu baru beri balasan apakah ini kehendak Allah atau tidak. Tahun 1982 baru mereka balas dan bilang bahwa mereka datang. Jadi, perlu waktu dua tahun. Tanah di Lamanabi itu keuskupan yang beri kepada mereka.”

Tahun 2004, saat melangkah keluar dari rumah keuskupan di bukit San Dominggo, Uskup Darius berkata yakin seperti penyair Robert Frost dalam puisinya The Road Not Taken: Aku telah mengambil jalan yang sedikit dilewati orang/Dan itu telah membuat segalanya berobah.

Hari-hari purnabhaktinya dilalui dalam keheningan syukur dinding Sa’o Darius Pusat Penelitian Agama dan Kebudayaan Candraditya, Maumere, Flores. Paviliun itu diberi nama Sa’o berasal dari bahasa Lio: rumah, ibu, sebagai suatu kenangan bahwa setelah menjalankan tugasnya sebagai imam dan misionaris di Keuskupan Larantuka, kini ia kembali ke pangkuan serikat religiusnya, SVD yang melahirkan dan menghidupinya. “Saya sudah pension, saya kembali ke SVD,” katanya di San Dominggo beberapa waktu sebelum datang ke Candraditya yang terletak kurang lebih 100 meter tepi jalan depan RS Hillers, Wairklau, Maumere.

"Saya berdoa, merayakan ekaristi, membaca buku, dan menulis dengan tangan renungan harian,” katanya. Sejak Juli 2004, ia selalu memimpin perayaan ekaristi hari Minggu di kapel pusat penelitian itu. Renungan-renungan disiapkan secara tertulis pada potongan-potongan kertas. Terkadang perlu usaha ekstra untuk membacanya kalau tulisan-tulisan itu kelewat kecil atau kabur. Kebiasaan itu baru berhenti ketika ia jatuh pada Minggu Palma tanggal 1 April 2007 ketika sedang memimpin misa. Badannya menjadi lemah. Ia sudah tak sanggup lagi berdiri lama.

Di kamarnya yang kecil tenang itu dua rak penuh buku asing tersusun rapih. Di atas meja kerja dari kayu, beberapa buku rohani, sastra dan lembaran-lembaran penuh catatan tergeletak. Dua buah kursi sofa berwarna coklat untuk tamu memenuhi ruangan itu. Segalanya tampak begitu sederhana. Kesederhanaan inilah yang telah membingkai alur hidupnya dalam seluruh karya pastoral. Kesederhanaan hidup adalah bahasa yang digunakannya agar lebih dekat dengan umat, para imam dan orang-orang dekat yang mengenalnya sepanjang ziarah. Melalui kebajikan dan bahasa itu ia telah berusaha maksimal agar hidupnya bermakna bagi orang lain.

“Lihatlah, aku telah kau panggil,” mengungkapkan ketegarannya saat berdiri di batas pengabdiannya yang tuntas. Ia menyerahkan diri dalam aneka pelayanan yang telah diselesaikannya. Bahkan selama sakit, ia memasrahkan deritanya sebagai partisipasi dalam salib Kristus. Ia ibarat tanah liat yang dipoles Tuhan, si tukang periuk dalam sejarah. Kini si tukang periuk telah mengambilnya kembali dari tengah-tengah dunia dan manusia. Tubuhnya kaku-pasrah di dalam peti indah. Doa-doa dan korban mendupai langkahnya menuju Surga. Air mata kesedihan umat yang diberkatinya selama 30 tahun di Flores darat, Solor, Adonara dan Lembata “melicinkan” ziarah menuju kerinduannya. Kerinduannya dalam doa dan ekaristi.

Di tapal batas akhir lembaran hidup ke-79, kita tersadar: almarhum telah melewati sekian tempat dan menulis sejarahnya. Ziarah itu dapat dirangkum sebagai berikut: Bermula dari Pora, menuju Nggela, lalu bergerak maju ke Ndona, Mataloko, Ledalero, Nita, Kisol, Manila, Syuradikara Ende, STFK Ledalero, Ritapiret, Ende, Larantuka dan berlabuh di Sa’o Darius, Candraditya, Maumere. Ia pernah memangku berbagai jabatan seperti Praeses Seminari Tinggi Ritapiret, Superior Regional SVD Ende, Direktur Pusat Penelitian Agama dan Kebudayaan Candraditya, Maumere, dan pelbagai jabatan lain pada level Konferensi Waligereja Nusa Tenggara, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Federasi Konferensi Uskup-Uskup Asia (FABC).

Sumber: www.svdende.org
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger