Headlines News :
Home » » Seputar jurnalisme sastrawi (Ruang diskusi untuk GH Netti)

Seputar jurnalisme sastrawi (Ruang diskusi untuk GH Netti)

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, January 31, 2008 | 12:40 PM

"AKHIRNYA, kepada pembaca kami persembahkan buku ini. Segala kritik, koreksi dan saran akan kami terima dengan tangan terbuka. Selamat membaca!"

Itulah kalimat terakhir catatan editor pada buku 15 Tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur, yang menandai ulang tahun ke-15 Pos Kupang dan diluncurkan serta dibedah 1 Desember 2007 lalu. Para editor, Tony Kleden, Maria Matildis Banda dan Dion DB Putra, merasa yakin bahwa buku yang mereka edit itu belumlah sempurna dan paripurna. Karena itulah, para pembaca yang menjadi tujuan penulisan buku itu mempunyai tugas mengkritisi, mengoreksi, meralat, merevisi, merepurifikasi, memverifikasi bentuk, sistematika, substansi, gaya bahasa dan penggunaan terminus yang dipakai oleh para penulis dalam buku itu.

Syukurlah, bahwa walau sempat benar-benar dikungkung oleh penasaran yang mendera sejak tanggal 3 sampai tanggal 18 Desember, AG Hadzarmawit Netti (selanjutnya disapa HN), memburu buku itu ke Toko Buku Gramedia, menemukannya dan memuaskan dahaga penasarannya secara tuntas pada tanggal 20 Desember malam (bdk. Opini PK 16/1). Bukan cuma itu. Setelah tuntas menyalurkan penasaran, HN pun mengirimkan tulisan tentang "Marginalia atas opini Maria Matildis Banda - Seputar 'imajinasi, fantasi, dan khayalan", yang dimuat di kolom opini Pos Kupang edisi 16 Januari.

Luar biasa. Ini sungguh merupakan sikap seorang pembaca yang bertanggung jawab dan mencintai Pos Kupang. HN merasa bertanggung jawab untuk mengkritisi dan mengoreksi apa yang tertulis dalam buku 15 tahun Pos Kupang itu agar tidak terjebak dalam kebiasaan pembaca yang 'taken for granted' (yang menerima begitu saja informasi dan tulisan yang disajikan tanpa mempersoalkan kebenarannya), tetapi sekaligus membuktikan bahwa kebenaran tidak selalu tunggal dan dimonopoli oleh pihak tertentu, dalam hal ini para penulis buku itu.

Bahkan HN menunjukkan hal positif bahwa pertemanan tidak mesti mengorbankan sikap kritis. HN pernah menjadi seorang pembicara dalam acara bedah novel Surat-Surat Dari Dili karya Maria Matildis Banda (selanjutnya disapa MB) pada 1 Desember 2005 lalu. Pos Kupang dan tentu saja para pembaca setia Pos Kupang di mana saja patut mengapresiasi dan menaruh respek pada seorang HN atas sikap kritisnya itu.

Tidak mengurangi rasa hormat saya pada HN, ada beberapa hal dari opini HN yang perlu disoroti agar kebenaran yang lain tidak turut termarginalisasi. Pada buku 15 tahun Pos Kupang halaman 167-181, MB menulis artikel dengan judul "Imajinasi dan Hasrat Seorang Jurnalis - Catatan tentang Jurnalisme Sastra". MB mulai dengan "Catatan Kenangan" yang ditulis Arief Budiman sebagai salah satu pengantar pada buku Catatan Seorang Demonstran, karya Soe Hok Gie. Selanjutnya, diulas relasi feature dan jurnalisme sastra, aspek imajinasi dalam jurnalisme sastra; imajinasi, hasrat, dan jurnalisme sastra.

Hemat saya, substansi dan orientasi penulisan MB adalah untuk para jurnalis, bukan sastrawan. Mungkin saja HN terjebak dengan penggunaan kata 'sastra' pada jurnalisme sastra. Padahal jurnalisme sastra jelas berbeda dari sastra. Sayang jika HN mengeliminir aspek imajinasi dari jurnalisme sastra karena itu bukan sastra. Mungkin baik jika HN membaca lagi artikel Silvester Ule berjudul "Perlukah 'trenyuh' itu?" (PK, 19/1) pada poin ketiga.

Karena substansi penulisan MB adalah untuk para jurnalis, maka MB sangat yakin bahwa imajinasi adalah aspek yang sangat penting dalam jurnalisme sastra. Penulis yang kehilangan imajinasi adalah penulis 'paceklik' yang menjadi kering kerontang dan layu sebelum berkembang. Hal ini saya alami sebagai seorang wartawan Flores Pos/Dian (2006-2007). Imajinasi itulah yang membuat tulisan menjadi hidup, bergairah, bergelombang, bergetar, apalagi saat menulis feature. Selama kurang lebih setahun menulis feature di Flores Pos, saya tidak dapat lagi menyangkal bahwa imaginasi itu sangat penting dalam jurnalisme sastra. Saya tidak mempersoalkan kerancuan kata-kata ini: imajinasi, fantasi, khayalan, yang sudah diulas secara begitu panjang lebar oleh HN atas artikel MB. Sekali lagi tentang itu, mari kita baca lagi artikel Silvester Ule "Perlukah 'trenyuh' itu (PK, 19/1). Saya masih yakin bahwa imajinasi adalah energy drink dan supplement food bagi seorang jurnalis, sebagaimana keyakinan MB. Bukan fantasi.

Artikel MB, menurut saya sangat berguna bagi bagi para jurnalis untuk bagaimana mengaktifkan tombol imajinasi saat menjalankan tugas jurnalistik. Uraiannya lugas dan terarah. Sayang, hal itu tidak dicermati oleh HN, yang justru tidak melihatnya secara holistik. Berbahaya sekali, jika kita hanya fokus pada satu penggalan dan mengkritisi habis-habisan penggalan itu dengan upaya menghilangkan benang merah yang merangkai satu bagian dengan bagian yang lain. Apalagi jika sampai "memarginalkan" orang lain. HN benar karena sikap kritisnya, tetapi sayang kekritisan itu dibangun di atas pola pikir yang fragmentaris, melihat penggalan-penggalan kecil secara terpisah. Itu baik, tetapi harus melihat juga benang merah dari penggalan demi penggalan yang membentuk keutuhan tulisan.

Berpikir fragmentaris kadang kala melahirkan pemonopolian kebenaran seperti HN yang dalam artikelnya merasa benar dengan argumentasinya, lantas mengeksekusi MB sebagai pihak yang salah karena itu perlu dimarginalkan. Saya memang tidak trenyuh, tetapi saya gelisah jika ada pihak yang menjadikan media sebagai ruang penghakiman atas pribadi lain, ruang marginalia, ruang pembunuhan karakter, hingga monopoli kebenaran (dengan argumentasi dan tumpukan referensi-referensi pendukung) sampai-sampai tidak sanggup lagi membedakan argumentatum ad hominem (argumentasi yang menyerang pribadi seseorang) dan argumentatum ad rem (argumentas berdasarkan fakta).
New journalism

"Kalau di Amerika Serikat mereka punya majalah Time, Newsweek, dan sejenisnya, kita juga punya Tempo, Gatra, dan lain-lain. Kalau Amerika punya harian The New York Times, The Washington Post, kita juga punya harian sejenis. Tapi mengapa kita ompong di jurnalisme sastrawi?" Demikian pertanyaan Andreas Harsono dalam buku Jurnalisme Sastrawi, terbitan Yayasan Pantau (2005), yang disuntingnya bersama Budi Setiyono.
 
Andreas Harsono dan Budi Setiyono adalah dua punggawa Majalah Pantau Jakarta, yang selama beberapa tahun terakhir bekerja sama dengan harian Flores Pos dalam mewujudkan impian jurnalisme sastrawi, jurnalisme bermartabat dan jurnalisme damai. Selama setahun Andreas membimbing awak Flores Pos untuk menulis feature (kekhasan Pantau adalah penulisan feature yang mendalam dan berbobot) di Flores Pos. Hal yang selalu ditekankan adalah pentingnya mengaktifkan imajinasi.

Dalam buku Jurnalisme Sastrawi (dirumuskan bahwa jurnalisme sastrawi adalah satu dari setidaknya tiga nama buat genre tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat, di mana reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe, wartawan dan novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama "new journalism" (jurnalisme baru). Pada 1973, Wolfe dan EW Johnson menerbitkan antologi dengan judul The New Journalism. Mereka jadi editor. Menurut mereka genre ini berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail.

Wawancara bisa dilakukan dengan puluhan, bahkan lebih sering ratusan narasumber. Risetnya tidak main-main.Waktu bekerjanya juga tidak seminggu atau dua. Ceritanya juga kebanyakan tentang orang biasa. Bukan orang terkenal. Genre ini menukik sangat dalam. Lebih dalam dari apa yang disebut sebagai in- depth reporting. Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Tetapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu. Ada karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik. Laporannya panjang dan utuh-tidak dipecah ke dalam berbagai laporan. Jurnalisme sastra adalah satu langkah lebih maju dari penulisan feature. Saya mengalami bagaimana feature saya tentang Taman Bacaan di Ende diberi catatan untuk riset lagi oleh Budi Setiyono karena kurang detail atau feature tentang Tukang Gamping mendapat catatan Andreas karena kurang menonjolnya unsur konflik. Padahal konflik adalah unsur yang menjadikan tulisan lebih hidup dan bergairah. Melalui latihan penulisan feature inilah para jurnalis sedang diarahkan untuk menggeluti jurnalisme sastrawi secara perlahan-lahan namun terarah.

Roy Pater Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida, mengembangkan pedoman standar 5W 1H menjadi pendekatan baru yang naratif. 5W 1H adalah singkatan dari who (siapa), what (apa), where (di mana), when (kapan), why (mengapa) dan how (bagaimana). Pada narasi, menurut Clark, who berubah menjadi karakter, what berubah menjadi plot atau alur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motif, dan how menjadi narasi.

Selanjutnya, Robert Vare, yang pernah bekerja pada majalah The New Yorker dan The Rolling Stones mengemukakan tujuh (7) pertimbangan jika kita hendak menulis narasi: pertama, fakta. Jurnalisme menyucikan fakta. Walau memakai kata dasar "sastra" ia tetap jurnalisme. Setiap detail harus berupa fakta. Nama-nama orang adalah nama sebenarnya. Tempat juga nyata. Kejadian benar-benar kejadian. Merah disebut merah. Hitam hitam. Verifikasi adalah esensi dari jurnalisme. Maka apa yang disebut sebagai jurnalisme sastrawi juga mendasarkan diri pada verifikasi.

Kedua, konflik. Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik. Konflik bisa pertikaian dengan orang lain, pertentangan dengan hati nurani atau nilai-nilai di masyarakat. Ketiga, karakter. Narasi butuh karakter untuk mengikat cerita. Keempat, akses. Kita mesti mempunyai akses kepada para karakter. Akses bisa berupa wawancara, dokumen, koresponden, foto. Kelima, emosi. Ia bisa berupa cinta. Bisa pengkhianatan. Kesetiaan, dll. Emosi menjadikan cerita itu hidup. Keenam, perjalanan waktu; dan ketujuh, unsur kebaruan.

Dari penjelasan mengenai jurnalisme sastrawi di atas, hemat saya apa yang ditulis oleh MB dalam artikelnya yang dipersoalkan HN merupakan penjelasan yang akurat mengenai jurnalisme sastra. MB berdasarkan kisah Soe Hok Gie dalam "Catatan Kenangan" yang ditulis Arief Budiman berusaha menjelaskan bagian demi bagian yang memudahkan para jurnalis mencerna model penulisan jurnalisme sastrawi. Dengan mengemukakan alur, karakter, dan latar, MB sedang mewartakan bahwa menulis jurnalisme sastrawi sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang ada dalam narasi, yang semuanya sangat dimungkinkan oleh imajinasi seorang jurnalis.

MB dengan kualifikasinya sebagai seorang dosen sastra, redaktur khusus Pos Kupang dan salah seorang editor buku 15 tahun Pos Kupang tentu tidak sedang mencederai dirinya sendiri sebagaimana dikatakan HN dalam catatan akhir opininya. Dalam kaca mata saya sebagai jurnalis, artikel itu merupakan karya MB yang berbobot, yang bisa menjadi alternatif penyembuhan berbagai 'cedera jurnalistik' yang dialami para jurnalis saat ini. Artikel itu hemat saya adalah sebuah arus balik melawan kecenderungan jurnalis yang kadang betah menulis berita hanya dengan pola straight news atau berita lempang.

Padahal dalam zaman di mana media elektronik menguasai masyarakat, kita tidak lagi mendapat breaking news dari surat kabar. Surat kabar tak bisa bersaing cepat dengan media elektronik. Namun media elektronik sulit bersaing kedalaman dengan surat kabar. Jurnalisme sastrawi yang dalam varian penamaannya bisa disebut narrative reporting, passionate journalism, explorative journalism, menjawabi kebutuhan pembaca dengan melibatkan emosi mereka dan melihat realitas konkrit melalui pergumulan imajinasi jurnalis yang obyektif dan rasional.

Tugas utama seorang jurnalis adalah melaporkan (to report a reporter) suatu kejadian atau peristiwa bagi pembaca medianya dalam sebuah bentuk berita. Hal itu dilakukannya setiap hari sampai-sampai semuanya berjalan secara mekanik dan otomatis. Kondisi seperti ini bisa membuat jurnalis jenuh dan pembaca pun jenuh karena berhadapan dengan pola penulisan berita yang itu-itu saja. Jurnalis tidak boleh merasa puas karena bisa menjejali pembaca dengan straight news berpola 5W 1H. Jurnalis harus bisa menyuguhkan kepada pembaca tulisan yang memenuhi hasrat manusia secara utuh, yaitu hasrat ingin tahu (faktor kognitif) dan hasrat akan keindahan (faktor estetis).

Dalam jurnalisme sastra, hasrat pembaca bisa terpenuhi melalui pengisahan berita yang imajinatif namun obyektif, naratif dengan alur, karakter, konflik, latar, namun tetap rasional (non fiksi), menyentuh emosi, namun tetap menegakkan verifikasi. Inilah aliran jurnalisme yang tidak harus menjadi baru lagi bagi para jurnalis. Menulis feature adalah awal yang baik untuk bisa menulis jurnalisme sastra. Syukurlah, bahwa para jurnalis kita saat ini sudah mulai peduli dengan model penulisan yang seperti ini. Pada aras inilah, kehadiran artikel MB sangat penting untuk sekali lagi mengingatkan para jurnalis (bukan hanya jurnalis Pos Kupang) bahwa dengan kekuatan imajinasi, seorang jurnalis akan mengakhiri perjalanan jurnalistiknya secara mengesankan dan tidak menjadi jurnalis yang 'paceklik', yang menjadi kering kerontang, yang layu sebelum berkembang.

Terima kasih buat HN yang telah menjadi inspirasi untuk diskusi ini. Terima kasih juga buat Silvester Ule yang telah mencerahkan HN dan juga pembaca setia Pos Kupang. Ke'trenyuh'an HN adalah pembelajaran yang positif bagi para pembaca agar tidak bersikap "taken for granted" atas berbagai informasi, dan argumentasi yang disampaikan lisan maupun tulisan. Namun, upaya HN mempersoalkan artikel MB yang berujung pada marginalia pribadi MB melalui argumentum ad hominem adalah hal yang tidak perlu diulangi lagi oleh siapa pun yang berusaha mencari kebenaran dan menawarkan kebenaran melalui media massa. Dan dengan itu saya yakin bahwa buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur tidak mengalami cedera serius karena berbagai gelombang 'trenyuh'. Toh buku itu memang belum sempurna dan paripurna. Namun daripadanya kita bisa belajar banyak hal, khususnya bagi para jurnalis agar senantiasa mengaktifkan imajinasi dan mulailah mencintai jurnalisme sastra sebagai cara mewartakan kebenaran dengan sentuhan-sentuhan cita rasa manusiawi.
Isidorus Lilijawa
warga Oebufu, anggota Forum Akademia NTT.
Sumber: Pos Kupang 31 Januari 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger