Headlines News :
Home » » Korem Flores: Tanah, Rakyat dan Tentara

Korem Flores: Tanah, Rakyat dan Tentara

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, February 14, 2008 | 4:56 PM

Oleh Eman Josef Embu 
Sekretaris Eksekutif Candraditya Research Centre;
MA Antropologi, Macquarie University, Sydney Australia

BUNYI tembakan senjata dari tangan TNI terdengar tidak hanya sekali. Keras dan beruntutan. Hari itu adalah Rabu, 30 Mei 2007. Dewi Khotijah (20), perempuan muda yang sedang hamil, Rohman (41), dan Mistin (27) mati mengenaskan ditembus peluru. Choirul bin Sutrisno (4) meninggal beberapa hari kemudian. Dada Choirul, bocah belia ini, ditembus peluru laras panjang SSI. Pekik tangis pecah.

Lalu, di tanah tempat orang-orang itu mencari nafkah sanak kerabat mereka menggali lubang-lubang kuburan. Di rumah-rumah dan di pinggiran kuburan orang-orang sujud berdoa, innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan akan kembali kepadaNya.

Doa tadi keluar dari mulut orang-orang kecil yang dikalahkan dalam kekerasan berdarah. Pengalaman kehilangan akan warga sekampung dan orang-orang sekeluarga menyesaki relung-relung rongga dada. Warna kepasrahan terkandung dalam doa itu. Tetapi tersirat juga pesan yang sangat jelas dalam doa tadi bahwa orang-orang yang terbunuh dalam konflik tanah pada Rabu, 30 Mei 2007 itu adalah milik Allah yang punya hak untuk diperlakukan secara benar dan adil.

Kisah kekerasan tadi tidak berasal dari khayalan orang yang kurang kerjaan. Ia nyata terjadi di Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Itu adalah ujung getir dari sengketa tanah antara 256 warga versus tentara. Dan tak sedikit orang waras yang geleng-geleng kepala dan bertanya karena peristiwa itu terjadi tatkala masa reformasi sudah melewati sejumlah tahun. Mengapa? Salah satu jawabannya ialah bahwa praktek kekerasan yang sudah berurat akar tak bisa dihapus dalam semalam. Ihwal kekerasan berdarah di Alas Tlogo tadi, versi penjelasan dari tentara yang kita dengar adalah warga menyerang dengan senjata tajam. Tentara dalam posisi terjepit. Tembakan tidak diarahkan langsung kepada warga. Itu adalah kalimat-kalimat yang lazim, sangat lazim kita dengar dalam banyak peristiwa. Apa pun penjelasannya, warga sudah terbunuh. Jika konflik tanah dengan warga itu adalah ujian tentang mengolah konflik dan keteguhan menapaki jalan tanpa kekerasan, maka jelaslah bahwa ini adalah ujian yang mendapat nilai merah. Yang diandalkan masih saja adalah kepalan otot dan senjata, bukan jalan dialog damai.

Berita-berita koran lokal di kawasan kita dalam dua tahun terakhir ini tentang rencana pembentukan Batalyon, Korem atau apa pun namanya, di Flores memperlihatkan isu pokok yang tidak hanya satu. Selain kehadiran Korem yang katanya untuk menjaga kedaulatan negeri, kehadiran Korem untuk meningkatkan ekonomi warga setempat, kehadiran Korem yang ditolak oleh aksi-aksi warga baik Kupang maupun di Ende, salah satu yang menonjol dari semuanya itu adalah sengketa tanah. Satu, warga melawan tentara. Tentu juga di sini tercakup aparat Pemkab yang mendukung tentara. Dua, warga melawan warga.

Di Nangapanda, Kabupaten Ende, warga dari Suku Paumere sepakat dan berikhtiar untuk tidak akan menyerahkan tanah seluas 2.000 hektar kepada tentara. Jangankan 2.000 hektar, sejengkal jari tangan pun tak akan mereka serahkan. Dan lebih dari soal tanah, warga desa menolak kehadiran Korem. Mengapa? "Tanah adalah nafas hidup kami. Kalau tanah itu diambil, kami kerja di mana lagi? Kami tidak akan serahkan tanah kepada tentara-tentara itu. Mereka datang untuk apa di sini? Kami selama ini sudah hidup aman," demikian Ibu Rosalia Rupa dari Paumere, Nangapanda (Flores Pos 26/01/08). Jelas, tanah itu adalah hidup warga. Tanah tak dapat ditukarkan dengan uang. Untuk orang-orang di desa itu, hidup tak dapat dibarter dengan kehadiran Korem.

Kita tak tahu persis, apa ujung dari konflik tanah di Paumere itu. Yang jelas, entah disengaja atau tidak, benih-benih konflik sudah ditanam. Lalu, yang paling akhir adalah soal tanah di Kuru, Moni. Juga di Kabupaten Ende. Yang dipersengketakan di sana adalah tanah seluas 22 hektarare yang diserahkan via Pemkab Ende untuk pembangunan Korem. Di sana ada ketegangan antara keluarga Yoseph Dao yang menyerahkan tanah itu kepada tentara dengan keluarga Fidelis Sudi yang memiliki tanah itu (Flores Pos 04/02/08). Tahun 2006 sudah terjadi penyerahan tanah di wilayah Kuru untuk TNI. Tetapi sekelompok rakyat menolaknya dengan tegas. Syukur bahwa kekerasan tak jadi meledak.

Koran-koran lokal menulis sangat jelas tentang keseriusan tentara untuk membangun Korem di Flores. Ini adalah suatu rencana lama yang tak pernah mati. Hilang muncul, hilang muncul. Maksud awal pembukaan Korem itu adalah memindahkan Korem Wiradharma 164 Dili ke Flores pada tahun 1999 lalu. Kemudian, rencana itu muncul lagi dalam dua tahun terakhir ini tidak hanya di satu tempat. Alasan kehadirannya juga aneh. Misalnya, Korem hadir untuk mengantisipasi terjadinya bencana alam. Malah, jika atap rumah warga bocor, tentara siap membetulkannya (Flores Pos 04/02/08). Rupanya nanti, di kampung-kampung, warga tak butuh lagi tukang kayu atau batu untuk membetulkan atap yang bocor atau kakus yang jebol.

Problemnya, walaupun ada maksud nan mulia yang tentu saja masih harus diperdebatkan, Korem itu, maaf, tidak dibuka di ruang kosong di langit tinggi atau di dasar laut tetapi di atas tanah yang telah dimiliki warga. Tanah pinjaman dari anak cucu itu sudah menjadi denyut nafas warga. Pada masa yang lalu, ketika rakyat berhadap-hadapan dengan tentara kita tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Kita tahu bahwa salah satu batu fondasi berdirinya negeri ini adalah 'Kemanusiaan yang adil dan beradab'. Tapi kita tahu juga bahwa di negeri ini nyawa warga dipatok dengan harga murah. Untuk menyebut sebagiannya, ada pembunuhan massal anggota PKI (1965). Penembakan di Tanjung Priok (1984). Pembunuhan dalam aksi atau operasi militer yang lama di Timor Timur, Aceh dan Papua. Penembakan misterius yang dilakukan di sejumlah kota terhadap mereka yang dianggap preman (1983). Penembakan mahasiswa Trisakti (1998). Itu dilakukan dengan suatu rasa dan keyakinan yang heroik. Siapa yang menjamin bahwa kekerasan berdarah seperti di Alas Tlogo yang belum lewat setahun itu tak terulang? Karena kekerasan yang sudah berurat akar dan sudah menjadi kultur tak bisa dihapus hanya dalam semalam maka rakyat di Pulau Bunga harus mulai bersiap siaga bahwa tak mustahil kalau sekali kelak, entah kapan, di atas tanah yang mereka pertahankan akan juga digali lubang-lubang kuburan. Dengan rasa pahit, orang-orang sekampung yang berdiri mengelilingi onggokan tanah kuburan itu sujud berseru, requiescant in pace, semoga mereka beristirahat dalam damai.

Harapan dan doa untuk hidup dan beristirahat dalam damai tersebut adalah juga harapan dan doa akan adanya keadilan. Tegasnya, keadilan adalah batu fondasi utama untuk hidup yang damai. Tak ada damai tanpa keadilan.

Tentu saja kalau kekerasan yang ditakutkan itu akhirnya terjadi, maka pada hari itu pemerintah daerah setempat, tak akan menaikkan bendera setengah tiang. Tuan-tuan itu juga tak akan menetapkan hari perkabungan. Siapa suruh berkepala batu dan melawan tentara? Siapa suruh saling bunuh di antara sesama warga? Pertanyaan yang akan terlontar kira-kira seperti itu. Pasti juga tak akan ada tembakan salvo tatkala jenazah-jenazah warga hendak dimasukkan ke dalam liang-liang kuburan karena mereka yang mati itu cuma dianggap sebagai rakyat, bukan penjaga dan pahlawan kedaulatan negeri. Di Alas Tlogo, belum setahun lewat, kisah tentang rakyat memang seperti itu. Belum kering, masih basah dalam ingatan.
Sumber: Pos Kupang, 14 Februari 2008
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger